Sunday, October 03, 2010

Bersiap Kecewa, Berserah Tanpa Kata

-- Putu Fajar Arcana

DUA orang tua yang sudah hidup 200 tahun pada akhir pengembaraan pikirannya serempak berkata, ”Bersiap kecewa, berserah tanpa kata-kata.” Itulah kata kunci dari 60 menit pementasan lakon ”Kereta Kencana”, yang dimainkan Putu Wijaya dan Lisa Ristargi.

Dalam naskah karya WS Rendra yang diadaptasi dari drama The Chairs karya Ionesco, dan dipentaskan 25-26 September 2010 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dua orang tua itu mendengar ”sabda” bahwa akan datang kereta kencana yang menjemput mereka. Putu, sebagaimana ciri khas Teater Mandiri selama ini, membuka pertunjukan dengan geletar layar putih yang disiram cahaya merah dan biru. Saat bagian tengah kain ditarik dan diempaskan, muncul gerakan berombak, yang pada titik tengahnya berasosiasi pada goa. Seolah dari lubang goa itulah ”sabda” itu mengaum.

Ketika lampu menyala pelan, sebuah kursi tampak membelakangi penonton. Dan, dalam keremangan, seorang perempuan tua tertatih-tertatih membawa sebuah lampu teplok. Itulah gambaran suram rumah mereka yang terletak di Kota Paris, Perancis: lengkap dengan perasaan-perasaan lelaki tua, sebagai profesor yang tidak lagi mendapatkan tempat di universitas. Bahkan, ia menganggap dirinya sebagai tikus tua yang hidup di rumah bobrok.

The Chair Ionesco sering kali dikategorikan sebagai lakon absurd, yang dianggap meneruskan karya-karya Albert Camus. Absurditas didorong oleh obsesi-obsesi pikiran melantur dua orang tua, yang hidup di sebuah rumah dekat pantai. Dalam karya Ionesco cerita diawali dua orang tua yang memandang laut dari jendela. Kakek menyatakan niatnya bunuh diri dengan meloncat lewat jendela. Cerita kemudian diakhiri dengan pemandangan mengerikan Kakek dan Nenek terjun lewat jendela berbeda dan mati.

Absurditas hidup manusia pada Ionesco adalah obsesi-obsesi yang mengharu-biru dan memunculkan perasaan sia-sia, menjadi tua, terlempar, dan tidak berguna. Bukankah sering kali perasaan-perasaan itu yang menjadi hantu hidup kita di masa tua?


Optimistik

Rendra, sebagaimana pula diungkapkan oleh Ikranegara, tidak setragis Ionesco. Akhir dari lakon ini memang kedua orang tua itu mati, tetapi kematian mereka membawa harapan akan hadirnya kereta kencana. Hidup akan berpindah ke suatu tempat yang akan dibawa oleh kereta kencana. Dan, hidup akan dibawa ke suatu tempat penuh cahaya terang dan kebenaran. Bahkan, dalam hidup sebelum kematian pun selalu ada tempat bagi patriotisme serta perjuangan menegakkan segala sesuatu yang baik.

Di tangan sutradara dan aktor kawakan seperti Putu Wijaya, lahir varian penyelesaian lakon yang bisa saja berbeda. Kedua tokoh orang tua, yang tadinya hidup dalam kesuraman dan dikepung rasa pesimistis yang luar biasa, tidak harus berakhir dengan kematian. Keduanya malah mengungkapkan kalimat ”Bersiap kecewa, berserah tanpa kata-kata.” Putu sama sekali tidak memberi isyarat bahwa drama kehidupan dua orang tua berakhir dengan kematian, sebagaimana Ionesco berancang-ancang bahwa hidup sesudah kematian adalah riwayat absurditas tanpa akhir. Siapa yang tahu ke mana perginya roh (kalau dipercaya) setelah manusia mati.

Jika Rendra menjadikan kehadiran kereta kencana sebagai simbol dari ”janji surga” yang penuh keabadian, Putu justru berada di antara kedua pandangan itu. Ia tidak membunuh tokohnya, tetapi hidup adalah persiapan menghadapi situasi terburuk, untuk kemudian pada akhirnya tulus dan ikhlas melepas segala sesuatunya.

Putu tidak mau berspekulasi tentang janji surga, sebagaimana yang dilakukan Rendra, tetapi ia pun tidak menganggap hidup ini sebagai absurditas yang ekstrem seperti diisyaratkan Ionesco.

Ia hanya menghendaki kehidupan berjalan wajar, menjadi tua karena usia adalah takdir hidup manusia, kalau toh pada akhirnya harus menyerah pada usia juga, tidak perlu ditangisi apalagi dilawan. Jika seorang tua menjadi cerewet terus-menerus itu hanya akan semakin memerosokkannya pada gugatan-gugatan yang mengecewakan dirinya. Hidup memang tidak untuk digugat, tetapi sebaiknya bersiap saja menghadapi hal terburuk sehingga tidak perlu banyak cakap jika akhirnya nasib buruk itu melindas kita.

Pada pementasan dalam rangka Festival Schouwburg IX yang diselenggarakan GKJ itu, patut dipuji permainan menawan dari Lisa Ristargi. Pemain yang menjadi Pemeran Utama Wanita Terbaik pada Festival Teater Jakarta 2009 ini menjadi lawan main yang tangguh untuk mengimbangi improvisasi yang setiap saat diletupkan Putu Wijaya. Sebagai sastrawan, Putu terkadang melantur menuruti imajinasinya yang tiba-tiba berkembang saat-saat di atas pentas. Di situ Lisa memberi kontribusi penting untuk mengembalikan Putu pada rel cerita.

Improvisasi ada kalanya penting dalam satu pementasan, tetapi jika berlebihan ia akan mengganggu rajutan cerita yang dibangun dengan susah payah dari awal. Kendati tidak sampai jatuh, improvisasi yang dilakukan Putu terkadang membawa setting cerita saling tumpuk sehingga bisa melahirkan cerita berbeda bila diteruskan. Akan tetapi, apa pun itu, tetaplah bersiap untuk menerima segala sesuatunya, untuk kemudian berserah tanpa berkata-kata.…

Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010

No comments: