SALAH satu galeri yang diam-diam secara tekun mewacanakan filsafat dalam pameran-pamerannya adalah Philo Art Space yang beralamat di kawasan Kemang, Jakarta. Tak terasa, galeri ini telah berusia lima tahun. Ulang tahun kelimanya diperingati dalam pameran bertajuk ”Tramendum” di Galeri Nasional Indonesia, 24 September sampai 3 Oktober ini.
Maklumlah, Philo dirintis oleh Tommy F Awuy yang menyukai filsafat dan menjadi pengajar filsafat di Universitas Indonesia. Dari perkawinannya dengan Amalia, ia punya putri kembar, diberi nama Philo dan Sofie. Jadi, semuanya memang filosofi.
Bagaimana sebuah galeri membangun diri dan hidupnya dengan pewacanaan filsafat tadi di tengah ingar-bingar pasar? Sampai orang bilang, di Indonesia yang ada adalah ”wacana pasar”, bukan ”pasar wacana”? Pasar wacana sebenarnya ada juga, antara lain di Philo ini. Tommy sering mengadakan diskusi filsafat di galerinya.
Pameran untuk ulang tahunnya kelima ini—seperti pameran-pamerannya yang lain, sebagian besar dikuratorinya sendiri—bertajuk ”Tramendum”. Menurut Tommy, tramendum adalah sebuah konsep filosofis yang bisa kita terjemahkan sebagai sesuatu ”yang menggetarkan”. Konsep tramendum merupakan dasar dari bangkitnya eksistensi (manusia) atau awal dari perjalanan makna hidup.
Paparan yang dikemukakan Tommy sekaligus undangan terhadap sejumlah pelukis untuk ambil bagian dalam pameran ini menyebutkan, tramendum dapat saja disebut sebagai pengalaman estetik yang merupakan keputusan persepsi kita tentang sesuatu yang menyangkut keindahan. Pengalaman estetik bagi seorang seniman adalah ketika dia mengalami ”yang menggetarkan” dan menciptakannya sebagai sebuah makna yang mewujud apakah secara visual, audio, ataupun audio-visual.
Dengan konsep tramendum itulah dia mengundang sejumlah perupa untuk berkarya dalam pameran. Persiapan, katanya, memakan waktu sekitar satu tahun. Di sini ia hadirkan 32 perupa, untuk menyebut beberapa di antaranya adalah Abdi Setiawan, Agus Suwage, Agus ’Baqul’, Cubung Wasono Putra, Davy Linggar, Dedy Sufriadi, Dolorosa Sinaga, Entang Wiharso, Hanafi, Made Wianta, Melodia, Noor Ibrahim, Nyoman Erawan, Nurkholis (berkolaborasi dengan anaknya, Sandya), Tisna Sanjaya, dan Yani Mariani.
Ini termasuk usaha luar biasa bagi Tommy, yang di samping mengajar masih punya waktu untuk mengurusi kegiatan seperti ini. ”Tetap harus mendatangi seniman-seniman, yang beberapa di antaranya di luar kota,” kata Tommy.
Dengan pendekatan galerinya, baik ke seniman maupun ke publik, nyatanya galeri ini bisa berjalan, bahkan dengan frekuensi pameran yang terhitung tinggi. Dalam setahun, dia bisa melangsungkan sekitar 10 kali pameran. Artinya, hampir setiap bulan pasti ada pameran.
Menurut Tommy, galerinya menjaring peminat-peminat baru dalam seni rupa. ”Umumnya kalangan profesional muda,” kata Tommy. Para peminat baru ini, katanya, berbeda karakter dengan para kolektor lama. Kolektor lama biasanya bermain dengan nama-nama perupa yang sudah terkenal, sangat memperhitungkan bagaimana kelanjutan harga dari karya yang mereka beli, dan seterusnya. ”Itu bikin pusing,” katanya. Mengurusi mereka, bagi Tommy, barangkali lebih memusingkan dibandingkan dengan memikirkan Nietzsche.
Para peminat baru umumnya memilih berdasarkan kesukaan. Meski tak terlalu banyak, dalam pengalamannya kalangan ini mulai tumbuh.
Sekadar informasi, dalam pameran kali ini terdapat beberapa karya menarik. Misalnya Abdi Setiawan dengan patung ”Ultraman”, Nurkholis berkolaborasi dengan anaknya dengan ”Kidnapped OK”, ataupun Dedy Sufriadi dengan ”Theory No 1”. Sangat spesial karya Davy Linggar yang lebih dikenal sebagai fotografer. Dengan sejumlah karyanya belakangan, seperti ”Beautiful Stillness”, dalam pameran ini, Davy adalah perupa yang sangat menjanjikan. (BRE REDANA)
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment