-- Budi Suwarna dan Lusiana Indriasari
SETIAP tahun, satu juta lebih anak muda lulus SMA dan SMK. Ke mana mereka selanjutnya? Kebanyakan masuk ke dunia kerja sebagai buruh kasar bergaji pas-pasan. Ya, hanya itulah posisi yang kini disisakan industri untuk mereka.
Sirene panjang meraung-raung di udara tepat pukul 11.30. Sejurus kemudian, ratusan buruh bergerombol keluar dari sebuah pabrik garmen. Wajah mereka tampak lelah dan berkeringat.
Tepat di depan pintu gerbang pabrik, belasan pedagang makanan dan minuman menyongsong para buruh. Mereka menawarkan nasi bungkus, tempe goreng, ikan balado, telur dadar, pecel, hingga sambal yang ditata di atas tampah-tampah tanpa penutup. Harganya standar. Sebungkus nasi putih dijual Rp 1.500, seplastik kecil sayur bening Rp 1.000, sepotong tempe Rp 500.
Areal di depan pintu gerbang pabrik itu pun dalam sekejap berubah menjadi pasar kaget. Buruh dan pedagang menyemut di tengah udara panas, debu, dan jalan yang sebagian becek berlumpur. Buruh yang telah selesai membeli makanan segera menyingkir dan makan di halaman pabrik sambil lesehan atau berjongkok. Sebagian lagi memilih makan siang di warteg, di warung soto, atau di samping gerobak bakso.
Begitulah suasana makan siang buruh di sebuah pabrik di kawasan Pondokungu, Bekasi, Jawa Barat. Waktu istirahat makan siang—meski di pinggir jalan—jadi saat yang menyenangkan. ”Selain makan, kami bisa sekadar merenggangkan badan,” kata Dian, seorang buruh.
Bekerja di pabrik garmen itu, menurut Dian, cukup berat. Buruh bekerja mulai pukul 07.00 hingga 11.30, tanpa henti. Selama mesin hidup, mereka terus bergerak. Ada yang memotong bahan, menjahit, melipat, dan lain-lain. Seusai istirahat satu jam, mereka kembali bekerja mulai pukul 12.30 hingga pukul 17.00. Jika order pabrik meningkat, buruh harus bekerja lembur sampai pukul 19.00.
”Pulang ke rumah badan capai sekali. Kalau boleh memilih, saya tidak mau jadi buruh. Jadi direktur saja deh,” kata Dian berseloroh.
Meski bekerja keras, hasilnya hanya pas-pasan untuk hidup. Sebulan, gaji yang mereka terima sekitar Rp 1,2 juta. Di tambah lembur setiap hari, penghasilan bisa mencapai Rp 2,5 juta. ”Pas untuk bayar uang sekolah anak, cicilan rumah, cicilan sepeda motor, dan makan-minum keluarga,” timpal seorang buruh perempuan beranak tiga.
Pelajaran menyeterika
Siapakah para buruh itu? Kebanyakan mereka adalah lulusan SMA dan SMK. Apa mau dikata, ijazah sekolah menengah sekarang ini hanya cukup untuk melamar pekerjaan seperti buruh pabrik, office boy, atau kurir, atau juga pembantu rumah tangga. Padahal, dulu, orang berijazah SMA bisa jadi juru tulis, misalnya, bahkan ada yang bisa menjadi guru.
Sukino, Wakil DPC Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan SPSI Kabupaten Tangerang, mengatakan, sejak krisis ekonomi 1998, sebanyak 90 persen pabrik di wilayah itu hanya mau menerima buruh berpendidikan minimal SMA atau SMK. ”Pihak pabrik lebih memilih tenaga kerja berpendidikan lebih tinggi,” katanya.
Lulusan SMA atau SMK itu, lanjut Sukino, umumnya ditempatkan sebagai operator mesin produksi. Posisi staf manajemen menjadi jatah para sarjana. Tamatan SD atau SMP hanya bisa jadi office attendant dan juru bersih atau cleaning service.
Kenyataan itu jauh dari bayangan Bekhi Febrianto (30). Dia mengira, setelah lulus STM, bisa bekerja di pabrik otomotif sesuai dengan keterampilannya. Nyatanya, dia diterima di pabrik sabun. Kini, pekerjaannya sehari-hari mengolah sabun.
Nisa (21), yang dulu mati-matian belajar pembukuan dan bahasa Inggris di SMK, berharap bisa jadi pegawai tata usaha. Nyatanya, dia bekerja di pabrik garmen dan kebagian tugas melipat pakaian. ”Pelajaran di sekolah jadi tidak berguna.”
Kenyataan ini membuat gundah Sofwan Maezar, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Industri SMK Perbankan Nasional Jakarta yang siswanya banyak terserap ke pabrik dan supermarket di Jabodetabek.
”Saya bingung, pabrik yang harus ikut kurikulum sekolah atau sebaliknya. Kalau industri menuntut lulusan SMK sekadar pandai menyeterika pakaian, apa perlu ada pelajaran menyeterika di sekolah?”
Angka pengangguran
Persoalannya, angka pengangguran sekarang begitu tinggi. Pengangguran terbuka usia 15 tahun di kota dan desa dengan pendidikan SMA atau sederajat pada Agustus 2009 jumlahnya nyaris 3,9 juta orang (data Kementerian Pendidikan Nasional). Mereka harus bersaing untuk mendapatkan sejumput pekerjaan kasar. Persaingan kian ketat karena lulusan SD, SMP, bahkan sarjana juga banyak yang menganggur.
Itu sebabnya Nisa punya kesempatan memilih-milih pekerjaan yang harus direbut dengan susah payah. Pertama-tama, dia menghubungi yayasan pengerah tenaga kerja. Setelah melamar, dia dites matematika dasar, bahasa Inggris, serta pengetahuan umum.
”Tesnya macam-macam meski pekerjaan yang disediakan cuma tukang melipat pakaian, ha-ha-ha,” katanya.
Setelah diterima, Nisa mesti membayar Rp 600.000 kepada yayasan. Kejadian itu berulang ketika dia melamar kerja di sebuah pabrik di Cikarang, Bekasi. Dia mesti membayar Rp 1,9 juta kepada ”orang dalam” pabrik sebelum resmi bekerja.
”Hampir semua pabrik seperti itu. Tanpa melalui yayasan atau ’orang dalam’ pabrik, jangan harap bisa dapat pekerjaan,” tuturnya.
Kalaupun dapat pekerjaan, nasib tidak langsung membaik. Pasalnya, hampir semua buruh pabrik sekarang dipekerjakan dengan sistem kontrak. Biasanya, kata Nisa, buruh diikat kontrak kerja selama satu tahun. Setelah itu, kontraknya bisa diperpanjang atau dihentikan.
Jika sudah begitu, Nisa pun harus kembali ke barisan para penganggur yang memimpikan pekerjaan di negeri yang, katanya, gemah ripah loh jinawi ini.
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment