Tuesday, October 05, 2010

[Sosok] Bernard Rudolf Bot: Membayar Utang kepada Tanah Kelahiran

-- Ahmad Arif

CUACA di Belanda pada penghujung September lalu tak menentu. Suhu berubah cepat. Terkadang cerah, tapi bisa segera berubah mendung, bahkan hujan deras. Tak hanya cuaca, suhu politik di Belanda juga tak menentu pasca-kemenangan Geert Wilders dalam pemilu lokal.

Bernard Rudolf Bot (KOMPAS/AHMAD ARIF)

Wilders adalah politikus sayap kanan dari Partai Kebebasan PVV, yang populer dengan program anti-Islam dan cita-citanya untuk mengusir imigran dari negeri Belanda.

Bernard Rudolf Bot atau yang populer dengan Ben Bot seperti tak terpengaruh cuaca dan suasana politik yang memanas. Mantan Menteri Luar Negeri Belanda periode 2003-2007 ini terlihat segar di usianya yang ke-73 tahun. Ditemui di kantornya yang nyaman di pusat Kota Den Haag, Belanda, lelaki kelahiran Menteng, Batavia (nama lama Jakarta), ini kukuh dengan aliran politik yang berpijak pada dasar-dasar kesetaraan dan keterbukaan.

”Popularitas Wilders tak akan bertahan lama. Pada dasarnya kita negara yang terbuka yang terbentuk dari berbagai bangsa. Semua pemeluk agama harus bisa bebas beribadah di negeri ini,” kata Ben.

Lelaki bermata tajam ini adalah pejabat tinggi Belanda yang pertama kali datang pada acara Peringatan 60 Tahun Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2005 di Istana Presiden RI. Kedatangannya mencairkan kebekuan hubungan dua negara. Pemerintah RI pun memberikan anugerah Bintang Mahaputra.

Di awal masa jabatan Bot sebagai Menteri Luar Negeri, perbedaan pandangan hari kemerdekaan RI menjadi masalah yang belum terselesaikan. ”Pemerintah dan masyarakat kami hanya mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949,” kata dia. Bagi pihak Belanda, kemerdekaan RI adalah setelah penyerahan kedaulatan di Istana Dam di Amsterdam seusai Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949.

Bagi Bot, ini jelas bukan masalah sederhana dan isu yang sensitif. Banyak orang Belanda yang tidak bisa menerima kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, terutama para veteran perang dan keluarga mereka. ”Ini masalah sensitif. Puluhan ribu orang meninggal dalam periode itu, termasuk dari Belanda juga. Ada memori di sana. Para veteran memiliki kenangan yang sulit dilupakan selama masa itu,” kata dia.

Bot kemudian berdiskusi dengan teman-temannya dari pihak Indonesia dan juga para veteran perang Belanda. ”Jelas, 17 Agustus 1945 itu sangat penting bagi Indonesia sebagai hari kemerdekaan. Proklamasi adalah bukti nyata kemerdekaan, begitu argumen teman-teman Indonesia,” kata Bot.

Setelah setahun lebih bertukar pandangan dengan berbagai kalangan tentang masalah ini, Bot kemudian berusaha meyakinkan parlemen di Belanda. Hingga mayoritas anggota parlemen akhirnya mengamini keyakinan Bot. ”Karena itu, saya pun hadir dalam upacara perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2005 lalu di Istana Presiden,” kata dia.

Konsekuensi penerimaan Bot ini ternyata juga tak mudah. ”Ini memberikan konsekuensi yang besar bagi Pemerintah Belanda dan juga Indonesia. Buku ajar sejarah, misalnya, setidaknya mengalami sedikit perubahan tentang kolonialisme Belanda di masa lalu, khususnya di Indonesia,” kata dia.

Tanah kelahiran

Dengan menerima kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Bot telah menerobos sesuatu yang menjadi ganjalan diplomatik dua negara selama bertahun-tahun. Secara de facto, Belanda telah mengakui Proklamasi Indonesia.

Memang masalah ini belum sepenuhnya selesai karena Pemerintah Belanda belum secara resmi (de jure) mengakuinya. Upaya menuntut Pemerintah Belanda secara de jure mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 ini pula yang menjadi salah satu agenda kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda pada 5 Oktober 2010 ini sebagaimana disebut Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah.

Bot berharap, kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda semakin mempererat hubungan dua negara. ”Kunjungan ini semakin membuktikan hubungan kedua negara menjadi sangat strategis dan penting, termasuk dalam kerangka regional dan internasional,” kata dia.

Keinginan Bot untuk mempererat hubungan dua bangsa ini berangkat dari ikatan sejarah pribadi yang tak bisa diingkarinya. ”Indonesia adalah tanah kelahiran saya. Saya memiliki hubungan yang spesial dengan Indonesia. Saya masih punya kenangan yang tak terlupakan terhadap Indonesia,” kata Ben, yang meninggalkan Indonesia pada usia sembilan tahun.

Di sisi lain, dia berdarah Belanda tulen. Ayah Bot ke Indonesia untuk bekerja di proyek pembangunan jembatan dan rel kereta api di Jawa. ”Maka pada waktu saya punya kekuasaan (sebagai Menteri Luar Negeri), saya mencoba untuk mengubah hubungan dua negara menjadi lebih baik,” kata dia.

Selain alasan yang bersifat emosional, Ben memiliki perspektif global. Menurut dia, globalisasi mendorong negara-negara untuk memperbaiki hubungan dengan negara lain yang pernah bermasalah di masa lalu. Misalnya, antara Amerika Serikat dan Vietnam, bahkan juga antara Belanda dan Jerman. ”Negara-negara yang dulu berperang berusaha melupakan sejarah gelap masa lalu dan berpikir ke depan. Kenapa kita (Belanda dan Indonesia) tidak?” kata dia.

Globalisasi memang telah mendorong bangsa-bangsa menjadi lebih terbuka dan berhubungan dengan negara lain dengan lebih setara. Dia berharap, ke depan, antardua bangsa memiliki hubungan erat di bidang perdagangan dan investasi. ”Sekarang negara di Eropa tertuju ke China atau Singapura di Asia. Kenapa tidak ke Indonesia? Padahal, Indonesia punya sumber daya alam yang sangat besar dan juga pendidikan. Indonesia memiliki masa depan yang menjanjikan,” kata dia.

Karena itu, Bot berharap, kedua negara bisa menormalisasi hubungan ke arah yang lebih baik, di banyak bidang dan sektor, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik. ”Belanda mengundang ribuan mahasiswa Indonesia untuk sekolah di kampus-kampus Belanda. Kita melakukan pertukaran pelajar yang intensitasnya naik dari tahun ke tahun. Di bidang ekonomi, saya ingin Indonesia jadi gerbang ekonomi Belanda di Asia, demikian sebaliknya Belanda menjadi gerbang ekonomi bagi Indonesia ke dunia Eropa,” kata dia.

Bagi Bot, upaya mempererat hubungan Indonesia-Belanda secara lebih setara dan saling menguntungkan, ibarat membayar uang kepada tanah kelahirannya.

Bernard Rudolf Bot alias Ben Bot

• Lahir: Jakarta, 21 November 1937
• Pendidikan: - Fakultas Hukum, Universitas - Leiden, Belanda- Master bidang hukum, - Universitas Harvard, Cam-- bridge, Massachusetts, AS- Doktor bidang hukum dari - Universitas Leiden
• Karier: - Bekerja di Kementerian Luar - Negeri Belanda, 1963-2002 - Perwakilan Belanda di - Organisasi Pakta Pertahanan - Atlantik Utara (NATO), - Brussels, Belgia, 1982-1986 - Duta Besar Belanda di Turki, - 1986-1989- Menteri Luar Negeri Kabinet - Balkenende, 2003-2007

Sumber: Kompas, Selasa, 5 Oktober 2010

No comments: