Wednesday, August 11, 2010

[65 Tahun Indonesia] Diskriminasi Pendidikan Semakin Lebar...

-- Try Hariyono

PERTANYAANNYA sangat sederhana, tetapi tidak mudah menjawabnya. Mengapa saat Orde Lama dan Orde Baru anggaran pendidikan tak sampai 20 persen dari APBN, tetapi masyarakat bisa menikmati pendidikan murah?

Siswa Sekolah Dasar Negeri Tambiluk III, Petir, Kabupaten Serang, Banten, duduk di atas meja yang rusak pada hari pertama sekolah di tahun ajaran baru, Senin (12/7). (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)


Semua lapisan masyarakat, asalkan ada kemauan, bisa sekolah di mana pun sesuai keinginan. Uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan atau SPP sangat murah, suasana pendidikan menyenangkan, dan berbagai buku paket pelajaran tersedia.

Di jenjang pendidikan tinggi, seleksi sangat adil (fair) dan tak ada diskriminasi, uang kuliah terjangkau, beasiswa melimpah, dan asrama putra-putri tersedia. Dosen pun disediakan perumahan yang cukup layak.

Kini, setelah anggaran pendidikan dipatok 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), keadaannya justru serba terbalik. Uang sekolah sangat besar dan berbagai buku mahal harus dibeli. Ironisnya, keadaan ini justru direstui negara dengan mengizinkan sekolah negeri berlomba-lomba memungut dana dari masyarakat tanpa batas. Untuk ”mengelabui” masyarakat, dibentuklah rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

Secara tak langsung, terjadilah diskriminasi pendidikan. Hanya keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan bermutu karena sangat mahalnya biaya pendidikan. Pemerintah pun secara sadar dan terencana menciptakan diskriminasi pendidikan ini, antara lain dengan mengucurkan dana Rp 300 juta per sekolah berstatus RSBI pada tahun 2008 dan naik menjadi Rp 500 juta per sekolah RSBI pada 2009.

Kucuran dana ini alasannya, untuk meningkatkan mutu pendidikan agar siswa mampu bersaing secara global. Alasan yang terkesan dicari-cari karena mutu pendidikan cuma diukur dari tersedianya fasilitas pendingin ruangan, layar proyektor, dan berbagai fasilitas fisik lainnya. Bukan dari aspek pembentukan karakter siswa.

Menjadi pertanyaan pula, jika dana itu untuk meningkatkan mutu pendidikan, mengapa justru bukan sekolah ”tertinggal” yang dibantu dari segi finansial? Jika sudah diizinkan memungut dana dari masyarakat, mengapa pula dana itu tidak dialihkan untuk sekolah yang kualitasnya tertinggal?

Keprihatinan Unesco

Rendahnya mutu pendidikan Indonesia menjadi keprihatinan mendalam Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, Unesco. Dalam laporan Unesco soal pencapaian target Education for All 2015, misalnya, posisi Indonesia berada jauh di bawah Malaysia. Ironisnya, sejak akhir tahun 1960-an, Malaysia justru belajar mengelola pendidikan dari Indonesia.

Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia juga tidak terlepas dari rendahnnya kualitas tenaga pendidik. Dari sekitar 2,7 juta guru di berbagai jenjang pendidikan, hanya sekitar 900.000 guru yang bependidikan D-4 atau S-1. Sisanya lulusan D-3, bahkan banyak yang lulusan SMA.

Di sisi kesejahteraan, persoalan kesejahteraan guru tetap tak beranjak dari puluhan tahun lalu. Meski sudah ada program sertifikasi guru dengan konsekuensi pemberian tambahan tunjangan untuk guru, jumlahnya baru sekitar 350.000 orang. Bagian terbesar guru, gajinya sangat minim, bahkan banyak yang honornya lebih rendah dari buruh pabrik.

Kondisi ini diperparah lagi dengan infrastruktur yang belum memadai. Ruang kelas SD yang rusak, misalnya, masih sekitar 200.000 ruang kelas, sedangkan untuk SMP masih sekitar 12.000 ruang kelas yang rusak. Ini masih ditambah lagi dengan kenyataan sekitar 34,3 persen SMP/madrasah tsanawiyah (MTs) tidak mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen sekolah tidak memiliki laboratorium.

Tantangan di bidang pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Angka putus sekolah untuk berbagai jenjang pendidikan masih cukup tinggi. Setiap tahun, misalnya, 211.643 siswa SMP dan MTs putus sekolah karena sejumlah faktor. Selain itu, sekitar 452.000 tamatan SD dan madrasah ibtidaiyah (MI) tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sampai akhir 2007, angka partisipasi murni SD/MI sederajat sebesar 94,90 persen. Angka partisipasi murni adalah rasio murid SD berusia 7-12 tahun terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun.

Adapun angka partisipasi kasar SMP/MTs sederajat sebesar 92,52 persen. Angka partisipasi kasar adalah rasio jumlah siswa yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia tersebut.

Jadi, di satu sisi berbagai persoalan mendasar pendidikan masih membelit, di sisi lain pemerintah mengucurkan dana jorjoran untuk RSBI.

Diskriminasi pendidikan tingi

Jika di jenjang pendidikan dasar dan menengah diskriminasi terjadi dalam bentuk RSBI, di jenjang pendidikan tinggi, diskriminasi itu juga kini terjadi. Kuota kursi yang diperebutkan secara adil dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN ), misalnya, hanya 10-20 persen dari kapasitas yang ada.

Sebagian besar kursi itu justru ”dilelang” dengan beragam nama yang sasaran utamanya mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa. Membayar uang masuk resmi Rp 200 juta-Rp 600 juta per mahasiswa ke perguruan tinggi negeri (PTN) sudah lazim sekarang ini.

Pungutan dana ini, lagi-lagi dalihnya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Kenyataannya, kebijakan ini melahirkan diskriminasi. Hanya mahasiswa dari keluarga kaya yang peluangnya terbuka lebar masuk perguruan tinggi negeri. Adapun mahasiswa miskin hanya bisa gigit jari.

Kondisi inilah yang antara lain dicemaskan para guru besar dan dokter-dokter senior lulusan tahun 1960-an Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), saat mengunjungi Kompas, Senin (9/8). ”Kami bisa menjadi guru besar juga karena banyak mendapat beasiswa dari negara,” kata Prof Iskandar Wahidiyat, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI. Karena merasa banyak dibantu negara, para guru besar pun dengan sepenuh hati ingin membaktikan ilmunya bagi kemajuan negara.

”Ditempatkan di mana pun, asal bisa membaktikan hidup buat bangsa dan kemanusiaan, tidak masalah,” kata Dr Boedihartono MHA yang lama bertugas di Papua.

Namun, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi, termasuk kedokteran, mereka khawatir, jiwa nasionalisme, kemanusiaan, dan pengabdian dokter-dokter muda lulusan perguruan tinggi negeri akan luntur. ”Kami khawatir, nasionalisme dan semangat pengabdian itu luntur oleh kalkulasi kapitalistik,” kata Dr Abdoel Djalal AR, dokter senior FKUI.

Tampaknya, persoalan pendidikan harus segera dibenahi mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tidak semestinya di usia 65 tahun kemerdekaan RI, masyarakat masih kesulitan mendapatkan pendidikan berkualitas. Bukan cuma pendidikan berkualitas, masyarakat bahkan menghadapi persoalan yang lebih menyakitkan, yakni diskriminasi pendidikan yang makin lebar....

Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010

1 comment:

Unknown said...

Persoalannya penyelenggara pendidikan dari tingkat Menteri sampai pada lapisan Guru secara umum tidak ada rasa pengabdian kepada bangsa. Mereka hanyalah sekelompok pencari duit untuk keperluan pribadi guru dan keluarganya. Walaupun gaji guru dinaikkan selangit merekapun tak segan-segan mencari peluang keuntungan dalam kerjanya yang berupa material. Komentar ini berdasarkan yang saya tahu / yang saya lihat