[JAKARTA] Mahalnya biaya pendidikan di sekolah negeri yang berstandar internasional di mana biaya masuknya sampai puluhan juta rupiah, adalah sebuah praktik liberalisasi dan komersialisasi pendidikan nasional. Langkah ini merupakan cerminan konsep pendidikan nasional yang tidak percaya diri dan ketidakmampuan bersaing dengan bangsa lain.
Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Pembina The Centre for the Betterment of Education (CBE) Ahmad Rizali kepada SP di Jakarta belum lama ini terkait dengan SBI. Dikatakan, meskipun SBI diamanatkan oleh UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mewajibkan setiap kabupaten/kota mengembangkan sedikitnya satu SBI, di setiap jenjang pendidikan, di tataran kebijakan tidak jelas arahnya.
"Penggunaan standar negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada SBI menunjukkan indikasi kebenaran dugaan bahwa impor pendidikan semakin memantapkan kecurigaan terjadinya liberalisasi pendidikan dan pendidikan sudah menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan," katanya.
Seharusnya kata Rizali, pemerintah mendorong sekolah yang berpotensi untuk mengembangkan diri menjadi SBI dengan acuan mutu pembelajarannya sendiri, dimulai dari pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dengan sebaik mungkin, yaitu pembelajaran yang lebih mengutamakan proses daripada hasil akhir yang disampaikan oleh guru yang inspiratif dan terampil dalam mengajar.
Jika yang diharap dari SBI adalah murid yang mengerti isi mata pelajaran sekaligus terampil menggunakan bahasa Inggris, SBI harus mencari guru yang selain mampu menguasai materi, juga mampu berbahasa Inggris. "Inilah bagian yang tersulit. Guru bahasa Inggris saja masih banyak yang mengajar dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. SBI diduga merupakan program gagal yang hanya menghamburkan uang," katanya.
Kesenjangan Pengamat pendidikan Unifah Rosyidi secara terpisah mengatakan, seharusnya pemerintah mendorong sekolah-sekolah umum untuk mengejar target pendidikan nasional. "SBI menciptakan kesenjangan antarsekolah dan antarsiswa," katanya.
Tentang mahalnya biaya masuk SBI, Wali Kota Malang, Jawa Timur, Suparto MAP yang juga dikenal mantan dosen IKIP Negeri Malang (sekarang Universitas Negeri Malang atau UM) dalam percakapan dengan wartawan, Rabu (1/7) pagi menyatakan, tidak bisa mungkiri, karena memang biaya operasionalnya jauh lebih tinggi dari biaya pendidikan nasional yang biasa kita sebut reguler.
Namun, dia mengingatkan seluruh kepala sekolah SBI di daerahnya agar tiap-tiap sekolah yang membuka program SBI tidak menaikkan uang masuk lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang di Malang berkisar Rp 5- Rp 7,5 juta untuk SMA dan sekitar Rp 3-5 juta untuk SBI SMP."Terpenting intinya adalah, jangan ada uang masuk penerimaan siswa baru (PSB) tahun ini yang naik. ," ujarnya.
Sementara itu Kepala SMA Negeri 1 Kota Malang, Drs H Sulthon MPd, sebagai salah satu
dari tiga SMAN perintis program RSBI di Kota Malang secara terpisah membenarkan, bagi orangtua yang mampu menyumbang berapa pun besarnya (di atas ketentuan tidak tertulis Wali Kota) tidak menjadi masalah, karena hal itu dapat diartikan sebagai subsidi silang bagi orangtua siswa yang pandai, namun kurang memiliki kemampuan finansial.
"Untuk RSBI SMAN I Malang (SMA Tugu) ini sedang kita bangun ruang kelas belajar siswa RSBI bertingkat dan laboratorium yang memadai," ujar Sulthon.
Para orangtua siswa RSBI dalam dua tahun terakhir, menurutnya, berperan sangat mendukung guna peningkatan kualitas belajar-mengajar para siswa yang benar-benar bertaraf internasional. [W-12/070]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 1 Juli 2009
No comments:
Post a Comment