-- Asarpin*
BERITA meninggalnya Michael Jackson saya dengar kali pertama dari seorang khatib salat Jumat. Mungkin terdengar aneh. Seorang khatib dalam khotbahnya menyinggung kematian seorang seprofan Jacko demikian ia dipanggil penggemarnya. Bahkan tak cuma menyinggung, tapi si khatib tampak bersemangat memprotes orang-orang yang berkabung atas kepergian sang maestro musik pop dunia itu.
Kematian penyanyi dan penari legendaris Afro-Amerika itu dengan cepat menyebar ke pelosok dunia berkat mass media. Harian Lampung Post bahkan menaruh berita seputar kematian bintang pop ini pada bagian headline. Demikian pula beberapa media cetak nasional. Jangan tanya bagaimana televisi memproduksi citra dan popularitas sang virtuoso.
Memang harus kita akui, penampilan Jacko di pentas musik pop memberikan pencitraan yang unik dan menghebohkan. Sentakan lagu-lagunya, kelincahan kaki dan liukan tumitnya, serta gayanya yang eksentrik dan sejumlah akting yang memesona lainnya, mampu menghipnotis jutaan anak muda di dunia. Beberapa lagunya bahkan sangat terkenal di Indonesia.
Tampilannya di panggung hiburan yang memukau sering dikaitkan dengan kemunculan generasi baru yang mematahkan sekian banyak kritik tentang gaya hidup dan budaya massa. Beberapa pengamat bahkan menghubungkan tarian mundur-maju Jacko dengan tarian memutar Jalaluddin Rumi.
Mungkin saja ada yang berlebihan di situ. Bahkan pemberitaan tentang kematiannya pun sering dianggap berlebihan. Bahkan ada yang berseloroh: seolah tidak ada berita lain. Tudingan ini sah-sah saja. Namun, hampir tak mungkin sebuah media massa mengabaikan sosok Jacko yang telah menyihir jutaan manusia di dunia, dan kehadirannya dalam belantika musik dunia sering dihubungkan dengan fenomena Maradona dan Demi Moore. Jangan salah, menurut salah satu edisi Newsweek tahun 1999, sebagaimana dikutip Hikmat Budiman (2002: 24), para penyanyi ini ternyata terpesona pada syair-syair cinta sufistik Rumi. Dan bisa jadi, ada jejak tarian Jalaluddin Rumi pada tarian Jacko. Gerakan tubuhnya, liukan bahu dan kedua tangannya, sentakan kakinya, tampak mengandung aura mistik.
Menghubungkan tarian Jacko dengan orgia mistik mungkin berlebihan. Siapa pun tahu jika Jacko sangat dekat dengan budaya massa yang oleh Idi Subandy Ibrahim disebut sebagai "ecstasy gaya hidup" itu. Dari beberapa kritik yang berkembang belakangan ini, seperti pernah dibahas dengan baik oleh Hikmat Budiman, antusiasme masyarakat Indonesia pada produk dan praktek-praktek budaya baru seperti tampak dalam gaya hidup, kebiasaan mengonsumsi produk baru, musik pop Jacko, bisa menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai kultural dan etik
tradisional. Akibatnya, mereka dianggap hidup dalam kondisi hampa makna dan nilai.
Hal itu biasanya hanya dilihat sebagai bagian dari krisis besar yang berlangsung di seluruh dunia yang terutama diakibatkan hegemoni kapitalisme. Idi Subandy Ibrahim dalam pengantar buku Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (1997: 13-14), mengaitkan krisis moralitas dengan budaya massa, terutama yang secara menonjol tampil dalam sosok Madonna dan Jacko.
Idi mempertentangkan gaya hidup dan moralitas, estetika dan etika, dan menempatkan yang pertama sebagai yang tertuduh dan yang kedua sebagai yang mulia. Akibatnya, Hikmat Budiman dengan keras menuding gagasan Idi tak lebih sebagai impresi pribadi dan sangat rapuh dalam kenyataan. Hikmat mempersoalkan beberapa pertanyaan Idi tentang moralitas dan etika. Perhatikan pertanyaan Idi yang digugat Budiman ini: "Moralitas, etika, di manakah ia saat ini? Di balik kemilau konstruksi warna kulit Michael Jackson yang melengking meneriakkan kebebasan di panggung kegandrungan masyarakat akan aerobik, kebugaran, fitness, operasi plastik, budaya kosmetika yang memoles basis material industri budaya kapitalisme?"
Tak puas dengan itu, Idi kembali melontarkan pertanyaan: "Di manakah moralitas dan etika saat ini? Di balik gemerlap gaya hidup subkultur generasi yang tidak represi dan diintimidasi lewat semprotan gas air mata pasukan antihuru-hara tapi lewat semprotan aroma parfum Paris?"
Identifikasi dan kesimpulan Idi tentang generasi muda yang dianggapnya sebagai "pemeluk budaya hura-hura yang tanpa rasa haru" dan generasi yang berlumuran "parfum Paris" ketimbang "semprotan gas air mata" itu, ternyata terbukti keliru. Belum genap setahun sejak Idi melontarkan idenya, kenyataan yang terjadi justru berbalik. Generasi muda yang justru lekat dengan "parfum Paris" itulah yang di Amerika dan di Indonesia menjadi penggerak perubahan, antikemapanan, generasi yang menurut Hikmat Budiman merupakan bagian terbesar anak muda yang bertubi-tubi menjadi korban, bukan hanya semprotan gas air mata,
bahkan peluru-peluru tajam di jalan-jalan kota besar.
Di sini kita bisa memetik pelajaran terpenting untuk berhati-hati dalam menganalisis fenomena budaya massa. Generasi Jacko memang hedonis, skizofrenis; generasi yang di dalamnya terdapat "lubang hitam kebudayaan", kata Budiman. Tapi mempertentangkan hedonisme dengan moralitas tidak lagi relevan karena generasi kini dengan lincah bisa menjelma sosok hedonis tapi pada kali lain bisa menjadi herois dan aktivis anarkis yang berdiskusi di kafe-kafe terkenal sambil mengikuti world social forum.
Apalagi ketika kini kita bahkan tak pernah lagi punya teladan yang baik tentang satu sosok polisi moral. Jacko yang dituduh amoral bisa jadi justru sangat moralis. Dan kaum moralis tentu saja sangat diperlukan pada masanya, yakni ketika kita masih hidup dengan satu obsesi pada sosok moralis yang hidup di kawasan batas antara fiksi dan kenyataan. Para moralis kita sangat mengagumkan, memang, tapi tidak cukup kuat untuk mengajak orang banyak ikut terlibat melakukan perubahan.
Kegagalan para moralis kita dalam menganalisis perkembangan budaya massa, terutama karena terlampau banyak yang dinajiskannya dalam hidup sehari-hari. Sementara mereka sendiri tidak peka melihat perubahan dan perkembangan serta dinamika hidup. Rigiditas masih begitu tebal, ketidakpekaan merespons tantangan masih begitu kuat. Sementara sosok-sosok hedonis generasi Jacko justru berhasil merangkul simpati dan solidaritas untuk melakukan kritik sosial dan menyerukan perdamaian sambil berteriak seperti Iwan Fals berteriak: "Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau!"
* Asarpin, Peminat masalah seni-budaya
Sumber: Lampung Post, Rabu, 1 Juli 2009
No comments:
Post a Comment