Friday, October 31, 2008

Kita Tak Pernah Hargai Budaya Sendiri

Solo, Kompas - Budayawan Endo Suanda mengemukakan bahwa kita sering kali tidak mau menghargai kebudayaan kita sendiri. Bahkan, sebagian besar dari kita cenderung merendahkan tradisi-tradisi yang hidup di setiap suku bangsa di Nusan- tara, dan selama ini menganggapnya sebagai bukan kebudayaan.

”Kita selama ini seperti mengigau memaknai tentang kebudayaan. Kesenian yang diakui adalah kesenian yang bisa dijual. Tradisi-tradisi etnik seperti yang dimiliki suku Dayak, ataupun tradisi pedesaan seperti Bersih Desa, Hajad Gunung, Sedekah Laut, dan sebagainya itu tidak pernah kita anggap sebagai kebudayaan,” papar Endo Suanda dalam diskusi mengiringi penyelenggaraan Solo International Ethnic Music (SIEM) 2008 di Prangwedanan Istana Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Kamis (30/10).

Ia menanggapi panelis Brigitta Isworo Laksmi sebelumnya yang menguraikan tentang pemanasan global yang mengancam hilangnya dialog dan komunikasi antara manusia dan alam lingkungan. Menurut Isworo, peran seniman musik dalam upaya pelestarian lingkungan alam cukup besar. Ia menyebut contoh lagu-lagu dolanan anak di Jawa masa lalu yang melukiskan hubungan mesra antara manusia dan alam, tetapi idiom-idiom alam itu hanya akan tinggal dongengan dan terancam punah.

Diskusi juga menampilkan penyanyi jazz Syaharani dan Shin Nakagawa yang keduanya tampil dalam pertunjukan SIEM 2008, Rabu (29/10) malam.

Endo Suanda, Direktur Lembaga Pendidikan Seni Nusantara di Jakarta, menyebutkan, negara- negara adidaya—yang hasil kebudayaannya menjadi kiblat kita sekarang—pada masa lalu telah melakukan perusakan alam secara semena-mena atas nama modernisasi.

”Dampak perusakan alam oleh negara-negara maju yang menimbulkan pemanasan global itu, sekarang ini hendak ditimpakan kepada kita, seluruh umat manusia,” ungkapnya.

Pada tataran berkesenian, Endo menyampaikan penghargaan kepada penyanyi Syaharani yang menyatakan obsesi dirinya untuk terus ”mencari”—di tengah gebyar dunia musik hiburan—untuk menemukan keseimbangan hidup. Seperti tercermin dari dua lagunya yang dia bawakan di panggung SIEM, Sunyaruri dan Teater, yang liriknya dia tulis sendiri memperlihatkan idealisme dalam bermusik.

Endo menunjuk integritas hidup dan berkesenian yang dilakoni Shin Nakagawa, yang berbeda dari kecenderungan segregasi dalam kesenian teater, musik, tari seperti yang terjadi di Tanah Air.

Shin Nakagawa (57), seniman musik asal Osaka, Jepang, yang menekuni musik gamelan Jawa, menekankan agar kita berpegang pada koeksistensi hidup dengan seluruh makhluk di Bumi ini. Nakagawa yang tampil berbicara dengan Shin Sakuma (penari) menuturkan tentang motivasi mereka berkolaborasi dengan kalangan orang cacat serta gelandangan untuk berkesenian.(asa/son/mdn)

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008

Media Kerap Merusak Bahasa

* Kongres IX Bahasa Soroti Ketidakseragaman Istilah

JAKARTA, KOMPAS - Tidak semua media cetak mempunyai acuan dalam pembakuan kosakata dan istilah. Ketidakseragaman istilah dapat merusak bahasa Indonesia. Padahal, dalam fungsinya sebagai media pendidikan, media massa berkewajiban memasyarakatkan bahasa Indonesia yang benar.

Demikian benang merah diskusi kelompok tentang Bahasa Media Massa dalam Kongres IX Bahasa Indonesia, Kamis (30/10) di Jakarta. Topik ini menjadi pembahasan paling diminati peserta dibanding pembahasan topik lainnya. Tampil sebagai narasumber Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Hendry CH Bangun, Sastrawan dan Redaktur Harian Republika Ahmadun Yosi Herfanda, dan pakar teknologi informasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Roy Suryo.

Hendry mengatakan, di dalam organisasi media massa tidak selalu ada fungsi atau peran penyelaras bahasa. Apalagi setelah euforia reformasi, kedudukan penyelaras bahasa tidak lagi menjadi semacam kewajiban. Akibatnya, bahasa media massa sekarang ini boleh dikatakan memprihatinkan.

Menurut Hendry, mencermati data Biro Pusat Statistik (2005), penduduk usia 15-24 tahun sebanyak 40,2 juta jiwa, membuat pengelola media massa menjadikan remaja atau pemuda sebagai target pembaca dan konsumen iklan. Oleh karena itu, untuk memikat mereka, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan dunia mereka. Cenderung menjauh dari bahasa Indonesia yang baku. ”Misalnya istilah, ungkapan, kata yang digunakan pasti yang sedang ngetren,” katanya. ”Jadi, ada kesengajaan untuk menggunakan bahasa yang tidak baku agar sesuai dengan target pembaca muda,” tuturnya.

Hendry mengatakan, mengutip data Dewan Pers, pada tahun 2006, sekitar 70 persen dari 851 media massa yang ada, kondisinya kurang sehat dan tidak sehat. ”Karena itu, tantangan yang berat jika mengharapkan media massa untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” ujarnya.

”Guru bahasa”

Senada dengan Hendry, Ahmadun mengatakan, bahasa jurnalistik sebenarnya hanya dipakai pada tulisan-tulisan yang masuk dalam kategori fakta. Akan tetapi, sistem pengejaannya juga diberlakukan pada kelompok opini dan fiksi melalui editing yang dilakukan oleh redakturnya.

”Posisi bahasa pers harus berinduk dan merujuk pada bahasa Indonesia standar atau baku. Media massa juga menjadi ’guru bahasa’ bagi masyarakat. Namun, bahasa pers juga bisa sebagai perusak bahasa Indonesia, karena keliaran pengingkarannya terhadap sistem pembakuan bahasa Indonesia,” katanya.

Ahmadun sempat menampilkan penelitiannya tentang sejumlah kata, yang di media masih belum seragam memakainya. Bahkan, kesalahan yang terjadi jumlahnya jutaan. Seperti kata ”salat” dipakai 270.000 kali, ”shalat” (1.380.000), ”sholat” (1.139.000). ”Ustaz” (2.470.000), ”ustad” (3.110.000), dan kata ”ustadz” (681.000). ”Wudu” (9.340), ”wudlu” (59.300), ”wudhu” (151.000). Ada juga kata ”gender” dan ”jender”, ”obyek” dan ”objek”, serta ”iven” (290.000), ”even” (6.650.000), dan ”event” digunakan 6.650.000 kali.

Menurut Ahmadun, terjadinya perbedaan penggunaan kata itu karena perbedaan pedoman pembentukan istilah atau penyerapan bahasa asing antara Pusat Bahasa dan kalangan pers. Perbedaan cita rasa yang hendak dilekatkan pada istilah asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Anggapan dari kalangan pers, Pusat Bahasa lamban dalam menyerap dan membakukan bahasa asing ke bahasa Indonesia sehingga kalangan pers melakukan pembakuan secepatnya dengan cara masing-masing.

Roy Suryo lebih mengkhawatirkan bahasa tulis di telepon seluler (SMS, EMS, MMN, 3G), yang penggunaannya di Indonesia jutaan orang. ”Telepon seluler luar biasa merusak bahasa Indonesia. Begitu juga pengguna internet, juga banyak yang merusak bahasa,” katanya.

Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono mengatakan, sebenarnya pembakuan istilah dan pengindonesiaan kata serta ungkapan asing sudah lama dilakukan oleh Pusat Bahasa, tetapi kalangan pers jarang menggunakannya. ”Ada 405.000 kata dan ungkapan asing dalam berbagai bidang ilmu yang sudah dibakukan dan ada 182.000 dalam proses penyelarasan,” ujarnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008

Thursday, October 30, 2008

Tinggi, Minat Asing Belajar Bahasa Indonesia

JAKARTA, KOMPAS - Tingginya minat orang asing belajar bahasa dan budaya Indonesia harus disambut positif. Kalau perlu Indonesia menambah Pusat Kebudayaan Indonesia di sejumlah negara guna membangun saling pengertian dan memperbaiki citra Indonesia di mata dunia.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri Andri Hadi mengemukakan hal itu ketika tampil pada pleno Kongres IX Bahasa Indonesia, yang membahas Bahasa Indonesia sebagai Media Diplomasi dalam Membangun Citra Indonesia di Dunia Internasional, Rabu (29/10) di Jakarta. ”Saat ini pengajaran bahasa Indonesia ada 45 negara, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan banyak negara lainnya,” katanya.

Mengambil contoh Australia, Andri Hadi menjelaskan, di Australia bahasa Indonesia menjadi bahasa keempat populer. Ada sekitar 500 sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Dalam sesi pleno sebelumnya, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono yang berbicara tentang Politik Kebahasaan di Indonesia mengatakan, tuntutan dunia kerja masa depan memerlukan insan yang cerdas, kreatif/inovatif, dan berdaya saing, baik lokal, nasional, maupun global.

”Untuk memenuhi keperluan itu, sangat diperlukan keseimbangan penguasaan bahasa ibu (bahasa daerah), bahasa Indonesia, dan bahasa asing agar mereka bisa berdaya saing global,” ujarnya.

Deputi Bidang Pengembangan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga M Budi Setiawan, narasumber pleno yang membahas Pemantapan Kemampuan Berbahasa Generasi Muda, mengata- kan, kalangan generasi muda telah melanggar sumpahnya, sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 80 tahun lalu.

”Dalam sumpahnya menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, namun dalam keseharian mereka menggunakan bahasa yang sulit dimengerti, kecuali oleh komunitas tertentu, seperti bahasa gaul, bahasa prokem, atau bahasa tulis melalui pesan singkat (sms) di telepon seluler, yang bisa dikategorikan sebagai bahasa sms,” katanya. (NAL)

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Oktober 2008

Tak Setiap Barang Budaya Bisa Dikomodifikasi

Solo, Kompas - Pemaknaan terhadap ekonomi kreatif bukan dengan melakukan komodifikasi terhadap produk yang dihasilkan dari ranah seni budaya, melainkan bagaimana meninggikan posisi tawar produk budaya.

Demikian benang merah dari Sarasehan ”Solo ke Depan” (Solo toward Future) yang diadakan di pendapa Istana Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, dalam kaitan penyelenggaraan Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia (WHCCE), Rabu (29/10). Tampil sebagai pembicara adalah Prof Timbul Haryono, Marco Kusumawijaya, Radhar Pancadahana, Dyah Pitaloka, dan moderator Yayah Khisbiyah.

Marco Kusumawijaya, ahli tata kota, menyatakan, kebijakan pemerintah melalui Menteri Perdagangan yang mengampanyekan tentang ekonomi kreatif tidak harus dimaknai bahwa semua produk seni-budaya diperlakukan sebagai barang pasar.

”Ekonomi kreatif didasarkan pada kreativitas yang masuk dunia industri, tetapi sebenarnya bukan hanya menyangkut seni- budaya, melainkan juga ilmu pengetahuan. Di dalam ilmu pengetahuan terkandung pula kreativitas. Kita harus menyikapi secara proporsional,” kata Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini.

Budayawan Radhar Pancadahana menyatakan, di tengah kecenderungan komodifikasi terhadap produk seni-budaya, seakan setiap produk bisa diproduksi secara masif. ”Seharusnya, yang masif itu harganya,” katanya.

Radhar menambahkan, para seniman dan pencipta seharusnya tidak larut dalam arus pasar, sebaliknya harus menguasai pasar. Menurut Marco, produk seni- budaya tak harus dipasarkan lewat jalur khusus, yang penting memberdayakan seniman dan memelihara nilai-nilai filosofis dan spiritualitas di dalam karya budaya.

Marco mengibaratkan Kota Solo sebagai ”sumur” kreativitas tradisi yang airnya tak pernah kering. ”Sejumlah seniman berbakat lahir dari kota ini. Yang diperlukan adalah mengolah sumber daya yang ada secara kreatif,” katanya.

Kota Solo yang memiliki moto ”Solo in the Past is Solo in the Future”, dalam pandangan guru besar arkeologi UGM, Timbul Haryono, memiliki identitas yang jelas. Solo sebagai kota pusaka memiliki warisan budaya yang bersifat nonbendawi (intangible) hasil karya nenek moyang di masa lalu. Hal itu, termasuk karya sastra dan spiritual, harus diselamatkan dan dilindungi.

Ia juga menyinggung soal konflik kepentingan dalam pengelolaan warisan budaya. ”Dalam setiap warisan budaya selalu terkandung kepentingan akademis, ekonomis, dan ideologis. Karena itu, dibutuhkan manajemen sumber daya budaya untuk mengurangi konflik,” ujarnya.

Dalam pandangan Radhar, Solo yang mengklaim sebagai ”The Spirit of Java” secara historis, kultural, dan demografis memiliki peran strategis ke depan. Ia mengingatkan nilai-nilai budaya Jawa hingga hari ini terbukti tidak terkikis oleh zaman.

”Budaya Jawa yang merupakan representasi dari budaya-budaya masyarakat sekitar tidak dimaknai sebagai budaya yang beku, melainkan mampu beradaptasi dan mengadopsi budaya baru. Jadi merupakan budaya tradisi yang berproses terus,” ujarnya.(ASA)

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Oktober 2008

Ulrich Kratz: Bahasa Indonesia Sulit Dipahami

[JAKARTA] Memahami bahasa Indonesia secara benar dianggap lebih sulit daripada memahami bahasa asing. Sebab, bahasa Indonesia lebih banyak mengandung nuansa dan intepretasi.

Kepala Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, memberikan penghargaan kepada Redaktur Pelaksana Harian "Suara Pembaruan" Aditya L Djono pada Kongres IX Bahasa, di Jakarta, Rabu (29/10) malam. Harian "Suara Pembaruan" adalah salah satu media massa pengguna bahasa Indonesia terbaik 2008. (Zainuri)

"Dalam menggunakan bahasa Indonesia, orang lebih mudah mengucapkannya daripada memahaminya. Karena itu, sering kali maksud yang disampaikan belum tentu bisa benar-benar dipahami oleh lawan bicara," kata pakar bahasa Indonesia dan sastra melayu dari University of London, Ulrich Kratz, kepada SP, di sela-sela "Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional, Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa," di Jakarta, Rabu (29/10).

Ulrich menuturkan, dalam terjemahan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia pun lebih sulit. "Karena setiap kalimat bisa memiliki arti yang mendalam. Pantun misalnya, sangat sulit diterjemahkan, karena intepretasi dan nuansa yang terkandung di dalamnya. Kalau kalimat dalam bahasa Inggris, kita bisa langsung terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi, ketika pantun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kita harus benar-benar memahaminya," katanya.

Pengajar dan peneliti bahasa Indonesia di School of Oriental and African Studies (SOAS) yang baru saja menerima penghargaan sebagai tokoh pengajaran bahasa Indonesia di luar negeri ini melanjutkan, seseorang akan mampu menguasai bahasa asing jika dia sudah mampu memahami dengan benar bahasa ibu. Dikatakan, bahasa Indonesia memang memiliki struktur yang bagus.

Sayangnya, dalam berkomunikasi, masyarakat pengguna bahasa Indonesia kurang memperhatikan struktur bahasa. Akibatnya, sering kali terjadi mispersepsi.

Dikatakan, jumlah mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia di luar negeri sangat bergantung pada situasi dan kondisi negara pengguna bahasa tersebut. "Sewaktu peristiwa bom Bali, mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia sangat sedikit. Namun, lambat laun mulai meningkat karena mulai tumbuh kepercayaan lagi terhadap Indonesia," kata dia yang sudah mengajar bahasa Indonesia selama 31 tahun.

Ulrich melanjutkan, mahasiswa asing yang berminat belajar bahasa Indonesia umumnya ingin mengetahui budaya dan kearifan bangsa Indonesia. "Ada juga untuk pertemanan. Sebagian ada lagi untuk bisnis. Mereka umumnya pandai berkomunikasi, namun sulit dalam pemahaman bahasa," kata mantan dosen di UI pada tahun 1973-1976 ini.

Ditanyakan penggunaan bahasa Indonesia yang mulai tercampur-aduk bahasa asing oleh sebagian masyarakat, Ulrich berpendapat, penggunaan bahasa "campur-aduk" itu sebagai sesuatu yang wajar. "Di negara mana pun kecenderungan itu ada. Namun, jika jati diri bangsa kuat maka hal itu sepertinya tidak perlu dikhawatirkan. Saya kira, masyarakat Indonesia tidak kehilangan jati diri itu," katanya.

Fanatik

Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Rajasa mengatakan, bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan bangsa yang fanatik dalam penggunaan bahasanya. Hal ini terlihat bahwa sampai saat ini, bangsa Indonesia hanya mengenal satu bahasa resmi, yakni bahasa Indonesia.

"Bandingkan dengan Singapura yang memiliki empat bahasa resmi yakni Inggris, Mandarin, Tamil, dan Melayu. Sementara Malaysia memiliki dua bahasa resmi, yakni Inggris dan Melayu. Filipina memiliki dua bahasa resmi, bahasa Inggris dan Tagalog. Swiss juga demikian, memiliki tiga bahasa resmi, yakni Prancis, Jerman, dan Italia," katanya. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 30 Oktober 2008

Opini: Merawat Bahasa, Meruwat Bangsa

-- Damanhuri*

SEBUAH bangsa sesungguhnya "sebuah komunitas yang diangankan, sebuah komunitas yang dianggit". Itu kata-kata Benedict Anderson dalam bukunya yang telah menjadi klasik: Imagined Communities (1983) atau dalam terjemahan Indonesia, Komunitas-Komunitas Imajiner (Insist, 2001).

Dalam perjalanan sejarah Indonesia--seperti dalam semua sejarah kelahiran bangsa yang lain, tentunya--ikhtiar mewujudkan gagasan yang dianggit bersama itu tentu saja ditempuh lewat pelbagai perhelatan dan gerakan politik. Dan, tanpa melupakan beragam peristiwa politik lain yang tidak kurang gemuruhnya, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak diragukan lagi merupakan tonggaknya yang terpenting. Sebuah ikrar persatuan (tanah air, bangsa, dan bahasa) yang ditunjuk Ignas Kleden dalam Bersumpah untuk Bahasa (Tempo, 27 Oktober 2008) sebagai remote preparation bagi Proklamasi 17 tahun kemudian.

***

Apa yang barangkali juga sangat menarik dalam peristiwa politik yang memekikkan deklarasi persatuan seluruh bangsa itu adalah pilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia dengan tanpa perdebatan kelewat panjang dan ruwet. Sebuah pilihan yang, kata Kleden lagi, merupakan peristiwa politik paling khas karena tidak banyak presedennya dalam sejarah kelahiran bangsa-bangsa lain.

Dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan tentu saja bukan tanpa disertai argumen penopang. Sifat egaliter yang menyatu dalam bahasa Melayu adalah salah satu alasannya.

Maka, seraya memuji sekaligus merujuk Ajip Rosidi sebagai sastrawan-budayawan Sunda yang tidak pernah lekang kecintaannya kepada bahasa dan kebudayaan Sunda, dalam esai pengantar untuk analekta tulisan Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan (2004), Kleden pun menyebut penggagas Penghargaan Rancage untuk sastra daerah itu sebagai eksemplar ideal seorang budayawan-sastrawan yang tidak kehilangan sikap kritis atas warisan budayanya. Sikap yang, sayangnya, kerap raib dari para penganjur dan penggiat budaya lokal di sini!

Watak feodal dan diskriminatif bahasa dan budaya Sunda yang dikecam seorang pewarisnya yang kritis di atas tentu saja bukan entitas yang unik. Pada bahasa dan budaya Jawa, feodalisme dan diskriminasi itu malah boleh jadi mencapai puncaknya. Dalam sebuah tulisannya yang terbit hampir 20 tahun lampau, Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia (Prisma 1, 1989: 3--16), dengan setengah berolok-olok Ariel Heryanto juga menunjuk gelar raja-raja Jawa sebagai wujud paling benderang dari watak ekslusif, elitis, dan tertutup itu.

Bersandar pada pendapat Raymond Willians yang menempatkan bahasa sebagai "gambaran tata-dunia penuturnya", sembari memanfaatkan studi Benedict Anderson tentang raja-raja Jawa abad XVIII--XIX, gelar-gelar seperti Paku Buwono ("Paku Jagat Raya") atau Hamengkubuwono ("Pemangku Jagat Raya") dinilai Ariel Heryanto sebagai sejenis "keluguan" para raja Jawa yang sekaligus menunjukkan ketertutupan dan eksklusivisme. Padahal siapa pun tahu, kata Ariel Heryanto, ilusi tentang wilayah kekuasaan yang "seluas jagat raya" itu terpatahkan dengan sendirinya jika melihat "ibu kota penguasa jagat" yang satu (Surakarta) hanya terpisah sekitar 70 kilometer dari "penguasa jagat" lain yang menjadi saingannya (Yogyakarta).

Sampai di sini, pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan oleh para pemuda 80 tahun yang lampau itu tidak diragukan lagi sebagai sebuah pilihan cerdas dan visioner. Pilihan tepat atas sebuah bahasa berwatak egaliter yang selanjutnya menjadi bahasa Indonesia dengan paradigmanya yang secara sosiologis, dalam kata-katanya Mochtar Pabottingi (Prisma 2, 1991: 23), "ditentukan oleh ciri laut, pantai, dan pasar yang selama berabad-abad hingga kini selamanya ditandai dengan internasionalitas".

Begitulah, laut, pantai, dan pasar telah menjadi ranah di mana bahasa Melayu menjadi sebuah lingua franca yang bertemu dengan pelbagai bahasa dan bangsa lain sebelum kolonialisme Belanda mulai menancapkan kuku-kuku monopolinya. Sebab itu, sungguh sangat masuk akal penolakan Sultan Hasanuddin saat ia dipaksa menyetujui nafsu busuk Belanda menjadi satu-satunya bangsa yang diperkenankan berdagang di perairan Makassar. Karena di mata Sang Sultan, demikian kesimpulan Anthony Reid yang juga dirujuk Mochtar Pabottingi, laut adalah internasionalitas itu sendiri.

Ringkasnya, dengan egaliterisme yang dikandung bahasa Melayu dan secara sosiologis ditopang empat watak lingkungannya yang barusan disebut itulah bahasa Indonesia kemudian tumbuh menjadi bahasa yang terbuka. Sifat egaliter dan terbuka (dalam proses "menjadi") bahasa Indonesia yang ditopang gerakan kebangsaan yang juga berwatak egaliter sekaligus terbuka. Di titik ini pula tepatlah mengatakan "bahasa" dan "bangsa" merupakan sebuah "proyek yang belum selesai", sebuah "proyek yang terus menjadi".

Sayang, raison d'etre yang mendasari pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan maupun watak egalitarianisme yang membalut semangat kebangsaan-awal itu hari-hari ini layak dicurigai keberadaannya. Gejala eufemisme (seperti dilansir Ignas Kleden, 1987: 248--258) atau kramanisasi bahasa Indonesia (seperti dibeberkan Ben Anderson, James Siegel, dan Savitri Scherer dalam Mochtar Pabottingi, 1991), di satu sisi; dan (mulai) melapuknya bangunan kebangsaan seperti kerap disebut-sebut dalam hampir semua perhelatan politik nasional akhir-akhir ini, di sisi lain; tentu saja merupakan kabar buruk yang membuat tidak nyenyaknya tidur siapa pun yang masih merasa belum kehilangan semangat Sumpah Pemuda 1928 itu.

Untuk "nasib" bahasa Indonesia hari ini, selain bisa menengok bahasa yang digunakan para pesohor di televisi, kita pun dengan sangat mudah memergoki pelbagai eufemisme, "penghalusan" (pengaburan makna?) dalam kata-kata "diamankan" (untuk ditahan, ditangkap) atau "disesuaikan" (untuk "dinaikkan"), serta gejala kramanisasi bahasa Indonesia di tangan para penutur bahasa Jawa yang hasilnya, kata Ben Anderson, bahasa kebangsaan itu telah masuk dalam perangkap "imaji orang Jawa tentang politik" (Mochtar Pabottingi, 1991).

Sedangkan untuk proses pelapukan ruh kebangsaan yang diwariskan para pendiri Republik ini, konflik politik beraroma etnik pasca-Reformasi di banyak daerah, terancamnya kepelbagaian budaya (multikulturalisme yang cenderung tidak menjadi berkah lagi), pembajakan demokrasi oleh segelintir elite politik, pengabaian dan kian lenyapnya hak-hak dasar setiap warga negara ditelan gemuruh retorika politik kosong, hingga impase kepemimpinan yang tengah jadi isu hangat adalah puncak gunung es belaka dari layunya semangat kebangsaan itu.

***

Akhirnya, di tengah kepungan kabar buruk yang datang bertubi-tubi seputar perjalanan negara-bangsa yang menunjukkan betapa buramnya paras kebangsaan kita akhir-akhir ini jika kita taruh di hadapan beningnya cermin kebangsaan yang dianggit dan digagas para pemuda 80 tahun lalu itu, barangkali ada baiknya kita selalu menyelipkan ikhtiar untuk--betapapun kecilnya upaya itu--selalu membeliakan semangat kebangsaan yang dirangkum dalam pekik "satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa" itu.

Ya, kita memang harus selalu meruwat semangat kebangsaan kita. Dengan, antara lain, merawat sepenuh hati bahasa kebangsaan kita, tentunya. Bukan merusaknya. n

* Damanhuri, Penulis tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Kamis, 30 Oktober 2008

Wednesday, October 29, 2008

Sastra Melayu Tionghoa Hampir Punah

SEMARANG, KOMPAS - Semakin sedikitnya masyarakat yang tidak membutuhkan sastra Melayu-Tionghoa atau yang juga dikenal dengan sastra Melayu Pasar membuat sastra ini ditinggalkan. Untuk itu, kalangan akademisi diharapkan melakukan penelitian untuk kembali menggeliatkan sastra yang berusia lebih dari 70 tahun itu.

Demikian diungkapkan sastrawan Ajip Rosidi seusai diskusi tentang dialek Melayu-Tionghoa di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, Selasa (28/10). Ajip mengatakan, lebih dari 30 tahun, yakni sejak 1960-an, sastra Melayu Tionghoa mulai ditinggalkan. Baru setelah tahun 1998 sastra ini kembali diperhatikan.

”Sebenarnya tidak ada larangan dari pemerintah atau dari siapa pun untuk menggunakan sastra ini. Hanya, seiring dengan berkembangnya kebudayaan, masyarakat penggunanya juga semakin berkurang,” kata Ajip.

Hingga tahun 1960, Ajip menyebutkan ada sekitar 3.005 judul karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu Tionghoa. Namun, setelah itu, bahasa tersebut kemudian tergerus dengan kebudayaan baru yang semakin lama semakin berkembang. ”Tetapi, sekarang, minat masyarakat mulai tumbuh kembali. Beberapa universitas mulai memasukkan sastra ini ke dalam mata kuliah meski hanya mata kuliah pilihan,” katanya.

Esais Jakob Sumardjo mengatakan, untuk menghidupkan kembali sastra ini, kebutuhan masyarakat sangat berperan. ”Artinya, kalau masyarakat tidak butuh, mereka tidak akan menggunakannya. Masalahnya, kebutuhan masyarakat sudah dipenuhi dengan sastra lain yang lebih kontemporer,” ujar Jakob.

Dalam hal ini, dunia pendidikan memiliki peran penting untuk melestarikan sastra Melayu Tionghoa. Ajip mengatakan, perguruan tinggi seharusnya melakukan penelitian terhadap 3.005 karya sastra yang ada pada masa lalu. ”Kalau bukan dari kalangan akademisi, sastra yang sudah hampir punah ini akan sulit untuk dihidupkan kembali,” tutur Ajip. (UTI)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008

Opini: Ideologi Bahasa Indonesia

-- P Ari Subagyo

SETIAP penggunaan bahasa bersifat ideologis. Bahkan, bahasa adalah ideologi. Itulah pandangan para linguis kritis, seperti Volosinov, Bakhtin, Foucault, Fairclough, Wodak, Kress, Hodge, dan Van Dijk.

Dalam hal ini, ideologi adalah gagasan atau keyakinan yang commonsensical (sesuai akal sehat) dan tampak normal. Gagasan atau keyakinan itu telah menjadi bawah sadar masyarakat. Maka, jika masyarakat tidak menyadari ideologi (dalam) bahasa yang dipakainya, itu membuktikan ideologi sedang efektif bekerja.

Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu mengenai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) dan bahasa negara (UUD 1945 Pasal 36). Saat para tokoh pemuda mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda, mereka digerakkan ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Maka, pilihan jatuh pada bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa atau Sunda, yang penutur aslinya lebih banyak. Bahasa Melayu—bahan dasar bahasa Indonesia— hanya berpenutur asli sekitar 4,5 persen populasi. Namun, meski belum jelas benar sosoknya, bahasa Indonesia diyakini lebih demokratis dan egaliter sebab tidak mengenal speech level (tingkat tutur).

Dalam pandangan sosiolinguistik, penentuan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan dan bahasa negara didasari ideologi vernacularization (vernakularisasi, pribumisasi). Menurut Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983), vernakularisasi adalah penentuan sebuah indigenous language (bahasa pribumi) menjadi bahasa resmi. Segi-segi sosiologis-politis-kultural pasti dipertimbangkan, termasuk kehendak memartabatkan jati diri.

Demikianlah, bahasa Indonesia mengada karena ideologi kebangsaan demokratis-egaliter dan pemartabatan jati diri. Bahkan, bahasa Indonesia pada gilirannya adalah ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Tak ayal dalam literatur-literatur utama sosiolinguistik, bahasa Indonesia menjadi contoh klasik vernakularisasi, selain Tok Pisin (Papua Niugini), Yahudi (Israel), Tagalog (Filipina), dan Quechua (Peru).

Jika bahasa Indonesia dan situasi kebahasaan mutakhir dicermati, masih adakah jejak ideologi itu? Apa tantangan bagi ideologi bahasa Indonesia? Apa kaitannya dengan Kongres IX Bahasa Indonesia, 28 Oktober-1 November 2008?

Beragam ideologi bahasa

Tiga ideologi selain vernakularisasi, yaitu linguistic assimilation, linguistic pluralism, dan internationalism. Linguistic assimilation menempatkan bahasa terdominan sebagai bahasa resmi. Semua warga—pribumi atau pendatang—wajib mempelajari dan menggunakan bahasa itu. Contohnya bahasa Perancis di Perancis, bahasa Inggris di Inggris dan Amerika Serikat serta wilayah koloninya, serta bahasa Jerman di Jerman. Ideologi ini diterapkan dengan berbagai bentuk, termasuk pemaksaan, seperti kebijakan Hellenization di Yunani dan Russification di Uni Soviet masa lampau.

Linguistic pluralism memberikan kesempatan sama kepada bahasa-bahasa yang ada. Kesempatan itu dapat berbasis wilayah atau ikatan warga. Paham ini diberlakukan antara lain di Belgia, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, dan Swiss.

Adapun internationalism (internasionalisme) justru mengangkat non-indigenous language (bahasa nonpribumi). Karena bahasa nonpribumi telah digunakan dalam komunikasi luas, lalu dijadikan bahasa resmi bidang tertentu. Ideologi ini, misalnya, berwujud penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pendidikan dan perdagangan di Singapura, India, Filipina, dan Papua Niugini.

Tantangan internasionalisme

Bahasa Indonesia masih relatif muda. Namanya baru mulai disebut saat Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926. Setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia mengalami promosi dan kodifikasi besar-besaran. Dalam usia 80 (atau 82) tahun, secara korpus bahasa Indonesia makin sempurna. Berbagai kamus dan pedoman tata bahasa, ejaan, dan peristilahan kian lengkap. Jumlah penuturnya makin meningkat. Bahasa Indonesia telah melampaui masa lampaunya sebagai bahasa ”kecil” dan kini menjadi bahasa ”besar”. Namun, bagaimana ideologinya? Bahasa Indonesia masih menjadi ideologi kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan?

Sebagaimana teritori mana pun, Indonesia adalah arena perang ideologi, termasuk ideologi bahasa. Dalam arena itu ideologi bahasa Indonesia harus bertarung menegakkan eksistensinya. Benar pernyataan St Sunardi (Kompas, 27/10/2008) dimensi nasionalisme menjadi lebih rumit daripada sekadar kesamaan sejarah, suku, bangsa, atau budaya. Menyangkut ideologi bahasa Indonesia, kerumitan itu berwujud hadirnya ideologi internasionalisme yang menyatu dengan globalisasi. Padahal, internasionalisme serba bertentangan dengan vernakularisasi.

Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai ideologi berpotensi terpinggirkan, terutama sebagai ideologi kebangsaan dan jati diri.

Kongres IX Bahasa Indonesia

Pada 28 Oktober—1 November 2008 digelar Kongres IX Bahasa Indonesia, bertema ”Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa”.

Tampak, tema itu digerakkan ideologi bahasa Indonesia, yakni kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Upaya penyelenggara kongres, Pusat Bahasa, patut diapresiasi. Bukan hanya karena setia memelihara ideologi bahasa Indonesia, tetapi juga membuka diri atas situasi terkini. Secara tersirat, kata ”kompetitif” menyadari hadirnya ideologi internasionalisme yang tidak harus dihadapi frontal.

Apalagi kaidah-kaidah yang amat kaku tidak ”membakukan”, tetapi ”membekukan” bahasa Indonesia. Sikap normatif berlebihan menjadi kendala bagi pengembangan kreativitas. Martabat bahasa Indonesia pun terlecehkan. ”Bangsa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja”. Itulah tanggapan surat kabar Kebangoenan pimpinan Sanoesi Pane (22/6/1938) atas rencana Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25-28 Juni 1938.

Semoga Kongres IX Bahasa Indonesia juga melahirkan tanggapan senada.

* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008

Pertemuan Kota-kota Pusaka Lahirkan Deklarasi Solo

Peserta Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia (WHCCE) berjoget dengan penari tayub di The Sunan Hotel, Solo, Jawa Tengah, seusai penutupan konferensi, Selasa (28/10). Konferensi tersebut menghasilkan sembilan hal yang dinyatakan dalam Deklarasi Solo untuk Penjagaan dan Perlindungan Warisan Budaya. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images)

Solo, Kompas - Kota-kota yang tergabung dalam Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia (Organization of World Heritage Cities/ OWHC) mendukung pembangunan kota berkelanjutan yang dilaksanakan seimbang dengan pelestarian budaya sehingga mampu membentuk citra kota yang khas.

Demikian rangkuman dari sembilan poin dalam Deklarasi Solo yang dibacakan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo pada akhir Konferensi Kota-kota Pusaka Dunia (World Heritage Cities Conference/WHCC) wilayah Eropa-Asia, Selasa (28/10) di The Sunan Hotel, Solo, Jawa Tengah.

Deklarasi Solo merupakan pernyataan dan seruan dari para delegasi peserta WHCC yang sejak 25 Oktober 2008 berkonferensi di Kota Solo membahas warisan budaya tingkat dunia.

Draf deklarasi disusun oleh tim yang antara lain perwakilan Kota Solo, Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. ”Draf ini hanya untuk pegangan karena draf akhir dibahas di forum,” kata anggota tim perumus, Putu Agustiananda, seusai deklarasi.

Sembilan poin draf dibahas dalam forum yang beranggotakan delegasi negara-negara peserta konferensi. Poin kedelapan yang sebelumnya mencantumkan perlunya mempercepat proses pencatatan batik, gamelan, dan pusaka nonbendawi dari negara-negara lain akhirnya dihapus.

Mantan Sekretaris I Konvensi UNESCO untuk Perlindungan Pusaka Budaya Nonbendawi Rieks Smeets meminta agar narasi draf poin kedelapan diganti dengan narasi ”Pentingnya negara- negara segera meratifikasi Konvensi UNESCO untuk Perlindungan Pusaka Budaya agar elemen-elemen intangible heritage (pusaka nonbendawi) yang dimiliki suatu kota dan negara dapat diusulkan masuk daftar konvensi”.

”Pemerintah sedang mengusulkan batik dicatatkan pada UNESCO seperti halnya wayang dan keris. Pencantuman batik dan gamelan dalam deklarasi ini dianggap akan mendahului keputusan UNESCO dan dikhawatirkan menimbulkan iri pihak lain,” ungkap Suhadi Hadiwinoto dari Dewan Direksi BPPI yang juga anggota tim perumus.

Instrumen internasional

Deklarasi juga mendorong segera dibuatnya instrumen internasional di bawah perlindungan Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) guna mendukung upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan aset budaya.

Sekretaris Jenderal OWHC Denis Ricard mengatakan, Deklarasi Solo lebih dari sekadar kertas berisi naskah. Deklarasi ini hendaknya segera diikuti dengan program konkret dalam bingkai kerja sama antarkota. ”Ini satu tahapan yang baru saja kita capai dari apa yang sedang kita bangun saat ini untuk perlindungan intangible heritage,” katanya.

Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi menyatakan sangat puas dengan kegiatan yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat Solo. Sebagai tuan rumah, menurut Jokowi, pihaknya berupaya memberikan pelayanan seoptimal mungkin. ”Sampai penutupan, tidak ada keberatan dari para peserta dari luar dan dalam negeri, kecuali dari China yang sedikit mengeluhkan hambatan bahasa. Seharusnya dipakai Inggris, Indonesia, Rusia, dan Mandarin. Namun, Mandarin tidak ada,” ujarnya. (EKI/SON)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008

Kebanggaan pada Bahasa Indonesia Menurun

* Kongres IX Bahasa Indonesia Bahas 105 Makalah

JAKARTA, KOMPAS - Perilaku berbahasa masyarakat selama ini kurang menempatkan bahasa nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Rasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang telah menempatkan bahasa itu sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia telah menurun.

Duta bahasa Indonesia dari berbagai provinsi di Indonesia berkumpul pada pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi Karsa, Kompleks Bidakara, Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (28/10). Kongres IX, yang berlangsung hingga 1 November 2008 itu, akan mengulas berbagai hal yang menyangkut masalah kebahasaan dan kesastraan tingkat nasional dan internasional. (KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images)

”Masyarakat memilih penggunaan bahasa asing atau bahasa daerah yang tidak pada tempatnya,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di hadapan sekitar 1.100 peserta Kongres IX Bahasa Indonesia, Selasa (28/10) di Jakarta.

”Negara-negara maju, seperti Jerman dan Jepang, membangun bangsanya melalui politik identitas walau negaranya hancur lebur akibat perang. Jepang membangun jati dirinya melalui pengutamaan penggunaan bahasa Jepang, seperti penerjemahan semua literatur asing dalam bahasa Jepang. Semangat dan sikap nasionalisme Jerman ditunjukkan dengan kecintaan pada bahasanya,” kata Mendiknas.

Kongres IX Bahasa Indonesia merupakan forum pertemuan pakar bahasa dan sastra, budayawan, tokoh, pejabat negara, guru dan dosen, mahasiswa, serta pencinta bahasa Indonesia.

Libatkan para pakar

Kongres yang akan menampilkan 105 makalah hingga 31 Oktober 2008 ini juga melibatkan pakar berbagai bidang ilmu dan para penyelenggara pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing dari seluruh dunia. Forum ini mengangkat persoalan peran bahasa dan sastra dalam membangun insan Indonesia yang cerdas, bermutu, dan berdaya saing, baik lokal, nasional, maupun global.

Dalam acara pembukaan kongres, sastrawan Rendra membacakan puisi Kesaksian Akhir Abad. Pada upacara pembukaan juga diberikan penghargaan kepada sejumlah tokoh masyarakat, media, birokrat, dan sastrawan yang mengembangkan atau menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.

Kongres Bahasa Indonesia diharapkan Mendiknas dapat membahas berbagai masalah kebahasaan dan kesastraan terkait dengan berbagai perubahan yang terjadi. Kongres juga diharapkan dapat merumuskan berbagai langkah untuk mengembangkan bahasa Indonesia, termasuk melahirkan padanan kata untuk istilah ilmu pengetahuan dan teknologi. (NAL/THY)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008

Presiden: Primordialisme Tantangan Persatuan

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, semangat kedaerahan dan ikatan primordial yang berlebihan menjadi tantangan baru bagi persatuan seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa. Tantangan baru itu dikemukakan Presiden saat menghadiri puncak peringatan Hari Sumpah Pemuda di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa (28/10).

”Sistem desentralisasi dan otonomi daerah adalah pilihan kita, cara terbaik untuk menjalankan roda pemerintahan. Kalau tidak ditangani dengan baik, masalah persatuan dan kesatuan mendapat tantangan dari semangat kedaerahan dan ikatan primordialisme yang berlebihan,” ujar Presiden menyebut tantangan internal untuk persatuan.

Adapun tantangan eksternal yang menurut Presiden mengancam persatuan adalah globalisasi. Selain membuka peluang dan kebaikan, globalisasi juga mendatangkan ancaman dan keburukan. ”Mari cerdas sikapi globalisasi. Yang baik-baik kita terima, yang jelek-jelek kita tinggalkan dan lawan,” ujarnya.

Lanjutkan reformasi

Dalam rangka 80 tahun Sumpah Pemuda, Presiden mengajak para pemuda melanjutkan transformasi dan reformasi untuk membangun ekonomi pascakrisis 10 tahun lalu. ”Tugas belum selesai. Kita harus punya semangat dan tekad yang tinggi untuk membangun hari esok yang lebih baik,” ujarnya.

Presiden memuji dan mengagumi peran pemuda dalam sejarah panjang Indonesia bahkan sebelum Indonesia terbentuk dan diproklamasikan. Pemuda disebut Presiden sebagai yang tidak pernah absen untuk menyelamatkan negara.

Dalam puncak peringatan itu, Presiden menganugerahkan Satya Lencana Wira Karya kepada almarhum Sophan Sophiaan yang diterima istrinya, Widyawati. Dalam kesempatan itu, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault memberikan penghargaan kepada 22 pemuda, di antaranya Rektor Paramadina Anies Baswedan dan Andy F Noya.

Harus unggul

Secara terpisah, Selasa, digelar seminar nasional untuk memperingati 80 Tahun Sumpah Pemuda di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan bersama oleh tiga universitas, yakni Universitas Indonesia, Universitas Katolik Atma Jaya, dan Universitas Al Azhar Indonesia.

Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Zuhal menyebutkan, sebagai bagian utama triple helix (yang terdiri dari dunia akademik, pemerintah, dan bisnis), perguruan tinggi dapat mengaktualisasikan semangat Sumpah Pemuda dengan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul guna menghadapi tantangan zaman

SDM unggul yang dimaksud adalah yang berbasis pengetahuan dan memiliki aset nirwujud (intangible), baik yang bersifat sosial maupun intelektual.

Sayangnya, kata Zuhal, sistem pendidikan Indonesia belum mampu menciptakan daya saing untuk bertahan dan berkompetisi dalam persaingan global. Sebab, pendidikan yang dijalankan belumlah merupakan sinergi antara akademisi, pemerintah, dan industri untuk mengelola dan menyatukan semua potensi bangsa.

”Penguatan pendidikan kepada generasi muda dalam persaingan ekonomi yang berbasis pengetahuan dan teknologi perlu mengutamakan pembentukan karakter moral dan etika serta penguatan kemampuan intelektual dan soft skill,” ujar Zuhal.

Untuk itu, kebijakan pendidikan tidak bisa sekadar menurut selera pemerintah, tetapi harus disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan bangsa.

Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri menggarisbawahi mengapa SDM Indonesia harus unggul. Menurut dia, karena yang sekarang terjadi, termasuk dalam perekonomian, adalah perang kemampuan global.

Dalam dunia seperti itu dan agar insan Indonesia bisa berkontribusi pada peradaban, maka kualitasnya harus berlian. Namun, untuk mencapai tingkat seperti itu, SDM Indonesia harus berada di garis depan (frontier) atau di ujung (cutting-edge).

”Namun, dalam riset kita jangan mengambil topik seperti universitas negara maju, seperti Cambridge, tetapi topik yang cocok dan dibutuhkan oleh bangsa kita,” kata Gumilar.

Rektor UI menyebutkan, untuk kedokteran, bidang yang cocok, misalnya yang terkait dengan penyakit infeksi, sementara untuk bidang sosial, misalnya topik penanggulangan kemiskinan, dan untuk bidang rekayasa yang terkait dengan upaya penanggulangan kelangkaan energi dan pangan.

Pada sisi lain Rektor Universitas Atma Jaya FG Winarno mengingatkan kembali perlunya manusia kembali ke alam. Bangsa Indonesia harus merasa beruntung karena mendapat curahan energi surya jauh lebih besar dibandingkan bangsa lain (yang hidup di lintang tinggi), seperti Norwegia. Kini teknologi pelat surya nano telah berhasil meningkatkan penyimpanan energi surya yang ditangkap pada siang hari.

Dalam sesi kedua, sejarawan Taufik Abdullah mengatakan, bila Sumpah Pemuda melahirkan kesadaran komunitas baru yang kemudian disebut bangsa Indonesia, kini ada beberapa hal untuk menyegarkan kembali nasionalisme yang telah dibangun. Hal itu, antara lain, adalah toleransi, tanggung jawab terhadap masa depan bangsa, dan kesediaan kaum intelektual/akademik menghadapi tantangan global.(INU/NIN/ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008

Jadikan Bahasa Indonesia Tuan Rumah di Negeri Sendiri

[JAKARTA] Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, mengatakan, tanpa kompetensi bahasa, pendidikan akan gagal. Sayangnya, bangsa ini kurang serius menjadikan bahasa Indonesia sebagai identitas, seolah terjadi kekurangyakinan pada identitas keindonesiaan yang telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda.

"Salah satunya adalah pada perilaku berbahasa masyarakat yang kurang menempatkan bahasa nasional. Karena itu, dalam diri setiap insan masyarakat Indonesia, harus menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri," kata Mendiknas ketika membuka Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional, Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Pondasi Peradaban Bangsa, di Jakarta, Selasa (28/10).

Mendiknas prihatin, karena ada kecenderungan kebanggaan terhadap bahasa itu sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia di masyarakat telah menurun. Sikap sebagian masyarakat itu tampak pada penggunaan bahasa di ruang publik kota-kota besar di wilayah Indonesia yang tidak menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Sementara itu, Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono mengatakan, penyelenggaraan kongres ini sekaligus merupakan peringatan 70 tahun kongres I Bahasa Indonesia di Solo pada tahun 1938. Kongres yang diadakan 5 tahun sekali merupakan forum pembahasan komprehensif masalah kebahasaan dan kesusastraan di Indonesia.

Di tempat terpisah, Dosen Program Studi Bahasa Indonesia, Universitas Indonesia, Asep Sambodja, Selasa, mengatakan, kalau dalam Kongres Bahasa 2008 ini tidak dihasilkan sebuah keputusan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, sebaiknya tidak perlu ada kongres-kongresan lagi. Pusat Bahasa yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional memiliki tanggung jawab moral untuk merealisasikannya.

Terkait dengan itu, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam himpunan mahasiswa bahasa dan sastra, menggelar aksi unjuk rasa di Bundaran Universitas Tanjungpura, Pontianak, Selasa (28/10). Aksi yang dipimpin Syahroni, sekaligus memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda, karena mereka prihatin dengan perilaku sebagian besar pejabat yang belum berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Penghargaan

Dalam kongres bahasa 2008 kali ini, dilakukan pemberian penghargaan untuk berbagai kategori. Misalnya, penghargaan untuk tokoh pengajaran bahasa Indonesia di luar negeri diberikan kepada Ulrich Kratz, tokoh pelestarian bahasa dan sastra daerah kepada Suryatati A Manan (Wali Kota Tanjung Pinang), penghargaan Kesastraan Pusat Bahasa adalah Hamsad Rangkuti, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Arthur S Nalan.

Untuk penghargaan Adibahasa diberikan kepada Gubernur Provinsi Jawa Timur, Gubernur Provinsi Sumatera Barat, dan Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk penilaian penggunaan bahasa di media massa cetak diberikan kepada Koran Tempo, Kompas, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia dan sejumlah media massa cetak lainnya. Sementara, penghargaan sebagai tokoh masyarakat berbahasa Indonesia lisan terbaik, diberikan kepada Din Samsudin, Marie Elka Pangestu Meutia Farida Hatta, Anas Urbaningrum, dan Maudy Kusnaedy. [146/W-12/M-15]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 29 Oktober 2008

Politik Bahasa dan Kita

-- Oyos Saroso H.N.*

SETIAP peringatan Bulan Bahasa, saya selalu teringat saat-saat masih menjadi pelajar sekolah lanjutan tahun 1980-an di Jawa Tengah. Ketika itu, sekolah kami selalu mengadakan peringatan dengan mempraktekkan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik, artinya sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Benar berarti tepat pemakaiannya sesuai dengan keadaan atau situasi.

Pada pekan pertama semua siswa dan guru diharuskan menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan sekolah. Pekan kedua semua harus memakai bahasa Jawa, pekan ketiga harus menggunakan bahasa Inggris, dan pekan keempat kembali bebas. Artinya, pada pekan keempat bahasa Jawa juga bisa digunakan jika sedang ngobrol di kantin atau di luar kelas.

Ada juga lomba pidato berbahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jawa. Meski lebih menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, ketika itu saya justru menjuarai lomba pidato bahasa Jawa. Ya, mungkin bukan karena saya yang pintar berbahasa Jawa (kromo inggil), melainkan karena pesaing saya tidak biasa berbahasa Jawa halus.

Di rubrik ini, saya tidak ingin pamer kemahiran saya berbahasa Jawa. Saya hanya ingin mengajak Anda semua, pembaca budiman, tentang perlunya komitmen bersama seluruh elemen bangsa untuk kembali peduli dengan nasib bahasa Indonesia. Cerita tentang sekolah saya yang para gurunya sudah menyadari pentingnya praktek berbahasa Indonesia yang baik kini terasa menjadi hal mewah. Ya, kini saya sangat merindukan ada seorang presiden Indonesia, gubernur, wali kota/bupati yang mengajak warganya mengembangkan bahasa Indonesia sembari mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seratus tahun lalu, ketika mengikrarkan Sumpah Pemuda, para pemuda pejuang kita menyadari betul bahwa bahasa harus diletakkan pada bingkai politik. Itulah sebabnya, para pemuda pejuang mengikrarkan "Bertanah air satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Kalau kita hendak membesarkan bangsa dan negara Indonesia, dengan begitu, Tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia harus dipahami sebagai sebuah kesatuan. Tidaklah mungkin kita disebut sebagai pembela Tanah Air tercinta jika bahasa nasional dibiarkan dijajah atau dirusak orang lain.

Pemerintah sudah menggariskan politik bahasa nasional yang juga menghargai keragaman bahasa daerah. Artinya, bahasa Inggris silakan menjadi bahasa pergaulan internasional dan bahasa-bahasa daerah di Nusantara terus dilestarikan para pemiliknya. Namun, pengembangan bahasa Indonesia harus menjadi agenda bersama bangsa Indonesia. Dengan begitu, bahasa Indonesia kelak bisa menjadi bahasa modern yang menjadi jiwa bangsa yang menggerakkan seluruh kehidupan kebangsaan.

Banyak kalangan menyadari, bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru akan meluruh pula politik bahasa yang banyak dipengaruhi perpolitikan Orde Baru. Memang, pada beberapa kasus hal itu menjadi kenyataan. Istilah-istilah lokal yang dahulu diseragamkan mulai diganti ke bentuk awal sehingga hidupkan kembali istilah pekon (Lampung) dan nagari (Sumatera Barat) yang selama Orde Baru disebut desa.

Pada sisi lain, bersamaan hilangnya politik penyeragaman dan penunggalan, lahirlah banyak kerancuan bahasa. Jika kita perhatikan papan-papan nama toko di sepanjang jalan utama di Bandar Lampung, kita akan mendapatkan ratusan istilah yang membuat jidat berkernyit. Istilah asing dan Indonesia bertumpuk jadi satu.

Sepuluh tahun lalu kita tidak mendengar kata "Moka". Kini, orang Lampung yang sepuluh tahun tidak pulang kampung akan bingung dijejali kata "Moka". Kata orang (entah siapa orangnya), "Moka" adalah sebutan untuk Mal (Mol) Kartini (kalau diiinggriskan menjadi Kartini Mall. Kata "Moka" secara struktur sudah betul (diterangkan-menerangkan, DM). Namun, dengan diucapkan "Mol Kartini" dan disingkat "Moka" justru menjadi salah. Ah, mungkin, yang penting enak terdengar di telinga dan terasa keren.

Sampai hari ini pun masih banyak di antara kita bingung menentukan mana yang benar: "rumah dikontrakan" atau "rumah dikontrakkan". Banyak juga yang masih keseleo mengucapkan "mempersilahkan", bukan "mempersilakan". Ada pula teman wartawan media cetak yang dibaca orang Lampung sering menulis kata "Walkot Beri Warning" ketimbang "Wali Kota Beri Peringatan".

Ya, pada akhirnya pemertahanan bahasa Indonesia dan penerapan politik bahasa nasional bergantung pada masyarakat pemakai bahasa. Bagi penutur bahasa yang menghargai arti pentingnya nasionalisme, bahasa Indonesia akan dibuat tetap hidup, segar, dan menjadi citra diri yang membanggakan.

* Oyos Saroso H.N, Jurnalis

Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Oktober 2008

Tuesday, October 28, 2008

Jejak "The Jakarta Post" dalam Buku "Reporting Indonesia"

Jakarta, Kompas - Setelah melewati dinamika kehidupan masyarakat yang sangat beragam selama 25 tahun, surat kabar berbahasa Inggris, The Jakarta Post, hingga saat ini semakin diminati masyarakat. Perjalanan yang cukup panjang dari surat kabar tersebut dituangkan dalam buku berjudul Reporting Indonesia-The Jakarta Post Story 1983-2008.


Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama menerima buku Reporting Indonesia-The Jakarta Post Story 1983-2008 dari CEO The Jakarta Post Daniel Rembeth pada peluncuran buku tersebut di Jakarta, Senin (27/10). (THE JAKARTA POST/RICKY YUDHISTIRA / Kompas Images)

Buku yang ditulis Bill Tarrant, wartawan senior Reuters yang pernah menjadi editor di tahun pertama penerbitan The Jakarta Post, itu diluncurkan di Jakarta, Senin (27/10) malam. Hadir dalam peluncuran buku terbitan Equinox tersebut antara lain Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Presiden Direktur The Jakarta Post Jusuf Wanandi, Dewan Komisaris The Jakarta Post Fikri Jufri, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy M Bayuni, dan sejumlah tokoh pers nasional lainnya.

Buku setebal 282 halaman itu menguraikan secara cukup rinci sejarah kelahiran, perkembangan, dan tantangan surat kabar The Jakarta Post. Surat kabar yang pertama kali terbit pada masa Menteri Penerangan Ali Moertopo tahun 1983 tersebut kelahirannya didukung lima media, yakni Kompas, Tempo, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan Pos Kota.

Kehadiran The Jakarta Post saat itu untuk melayani ekspatriat yang banyak bekerja di Indonesia, staf kedutaan besar negara-negara sahabat, pengusaha, kalangan pendidik, dan kalangan menengah atas lainnya yang membutuhkan informasi dalam bahasa Inggris. Dari tahun ke tahun, tiras The Jakarta Post juga terus mengalami kenaikan.

Dalam buku itu juga diuraikan sikap media tersebut dalam menyikapi berbagai persoalan politik, ekonomi, lingkungan, budaya, dan sosial secara lembut, santun, dan menyejukkan.

Buku tersebut juga menampilkan sejumlah foto yang merekam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Selain peristiwa Tanjung Priok, juga ditampilkan foto kerusuhan Mei 1998, peristiwa di Timor Timur, tsunami Aceh, serta kantor The Jakarta Post pada awal penerbitannya. (ELN)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Oktober 2008

Kekayaan Budaya, Nilai Jual dalam Diplomasi

* Belum Ada Instrumen untuk Lindungi Pusaka Nonbendawi

SOLO, KOMPAS - Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa besar. Hal itu bisa menjadi aset bangsa dan nilai jual untuk kepentingan diplomasi Indonesia dengan negara luar. Oleh karena itu, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah harus berperan dalam menampilkan kekayaan budaya ke mancanegara.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda (depan ketiga dari kiri) menyaksikan proses pembuatan gamelan di arena ekspo dalam rangkaian Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Senin (27/10). Pameran kekayaan dan warisan budaya ini diharapkan bisa menjadi sarana promosi bagi budaya Indonesia. Diharapkan kunjungan wisatawan mancanegara meningkat dengan makin banyaknya masyarakat dunia mengenal dan menghargai budaya Indonesia. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images)

Hal ini dinyatakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda setelah membuka kegiatan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia (World Heritage Cities Conference and Expo/WHCCE), Senin (27/10) di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah.

Acara ini dihadiri perwakilan dari 37 negara Asia dan Eropa. Acara ini berlangsung pada 25-30 Oktober 2008 di Solo.

Menurut Menlu, kegiatan WHCCE di Solo merupakan kesempatan besar bagi Indonesia untuk memperkenalkan budaya. Melalui acara ini, negara-negara luar diminta hadir dan melihat sendiri proses dan latar belakang budaya Indonesia sehingga mereka bisa menghargai produk Indonesia dengan lebih baik dan memahami nilai-nilai budaya Indonesia.

”Melalui aktivitas diplomasi, kita bisa ikut berjuang bagi perdamaian dunia. Kita mempunyai potensi besar,” ujarnya.

Dalam sambutan di WHCCE, Menlu menyatakan, kreativitas para wali kota sangat dibutuhkan untuk melestarikan peninggalan sejarah kota tanpa menghambat program pembangunan perkotaan. Ia memberi contoh Wali Kota Solo Joko Widodo sebagai salah satu wali kota di Indonesia yang bisa menata kota tanpa mengabaikan budaya masyarakat setempat.

Kegiatan WHCCE juga bisa menjadi wadah bagi para wali kota dari berbagai negara untuk saling berbagi pengalaman dan informasi terkait pembangunan perkotaan tanpa mengabaikan budaya masyarakat setempat. ”Dari konferensi ini diharapkan tumbuh saling pengertian antarnegara terkait dengan peradaban, budaya, dan agama,” katanya.

Belum ada instrumen

Dalam konferensi, penasihat dalam Kreativitas Tradisional, Kebudayaan dan Warisan Budaya Nonbendawi pada United Nations-World Intellectual Property Organization (UN-WIPO), Simon Legrand, menyatakan, hingga kini belum ada instrumen internasional untuk melindungi pusaka nonbendawi (intangible heritage). UN-WIPO adalah organisasi yang menangani hak kekayaan intelektual di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Intangible heritage dalam Konvensi UNESCO 2003 meliputi praktik dan ekspresi serta pengetahuan dan keterampilan, antara lain tradisi dan ekspresi lisan, pertunjukan seni, praktik sosial, ritual, serta kerajinan tradisional.

”Negara-negara hingga kini belum bersepakat dalam proses penyusunan instrumen perlindungan intangible heritage. Akan tetapi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai upaya perlindungan, antara lain dengan memanfaatkan Konvensi Berne dan perlindungan foklor, merek dagang, indikasi geografis, kompetisi yang seimbang, serta traktat fonogram dan pertunjukan WIPO,” kata Legrand.

Sekretaris I UNESCO untuk Konvensi Perlindungan Pusaka Budaya Nonbendawi Rieks Smeets berharap, WIPO dapat segera mengadopsi instrumen berstandar internasional yang akan mengatur kepemilikan pengetahuan tradisi, sumber daya genetik, dan ekspresi budaya tradisional.

Simon Legrand menambahkan, beberapa negara, termasuk Indonesia, membuat aturan dalam negeri masing-masing sebagai upaya perlindungan intangible heritage. Upaya ini dinilai cukup baik, tetapi tetap tidak mampu menyamai kekuatan instrumen internasional. (MDN/EKI/SON/ASA)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Oktober 2008

Monday, October 27, 2008

Sejarah: Membaca "Dongeng" Nusantara

-- Achmad Sunjayadi*

BEBERAPA waktu lalu ada yang mengusulkan untuk mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Alasannya, nama Nusantara lebih sesuai dibandingkan Indonesia. Jauh sebelumnya, tahun 1920-an, Dr Setiabudi yang memiliki nama asli Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950) memopulerkan nama untuk tanah air negeri kita adalah Nusantara. Satu kata yang tak memiliki unsur kata ”Hindia” (dari kata bahasa Belanda = Nederlands Indië, Hindia Belanda). Nama yang digunakan pemerintah kolonial untuk menyebut negeri kita.

KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images

Setiabudi mengambil nama ini dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit. Naskah ini ditemukan akhir abad ke-19 di Bali yang lalu diterjemahkan JLA Brandes dan diterbitkan Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Hal menarik adalah pengertian Nusantara usulan Setiabudi sangat berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit.

Pada masa Majapahit, kata Nusantara dipakai untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (dalam bahasa Sansekerta ”antara” berarti luar atau seberang) untuk dioposisikan dengan Jawadwipa (Pulau Jawa). Adalah Patih Gajah Mada yang mengucapkan Sumpah Palapa Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (Jika pulau-pulau seberang telah kalah, saya baru menikmati istirahat). Setiabudi lalu mengotak-atik kata nusantara zaman Majapahit yang bermakna kolonialis dan memodifikasinya sehingga memiliki pengertian nasionalis.

Setiabudi menggunakan makna kata Melayu asli ”antara” sehingga Nusantara akhirnya memiliki makna baru, yaitu ”nusa di antara dua benua dan dua samudra”. Dengan demikian, Jawa pun masuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah baru Dr Setiabudi ini segera menjadi populer yang digunakan sebagai alternatif nama Hindia Belanda.

Ada pula yang menyatakan bahwa istilah Nusantara diperkenalkan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa. Dewantara sendiri menjadi anggota partai Douwes Dekker, Indische Partij. Bersama Dr Cipto Mangunkusumo, mereka dikenal sebagai ”tiga serangkai”. Kemungkinan besar, Nusantara adalah ide Dewantara dan Douwes Dekker yang sejalan.

Nama Nusantara ini pula yang digunakan oleh Bernard HM Vlekke untuk judul bukunya Nusantara. A History of the East Indian Archipelago (1943). Sedangkan buku yang diterjemahkan ini berasal dari edisi kelima tahun 1961 dengan judul Nusantara: A History of Indonesia.

Perbedaannya sangat jelas. Pada edisi 1961 ini ada perubahan sudut pandang. Dari Eropa sentris menjadi Indonesia sentris. Jika pada edisi 1943, khususnya Bab 6, lebih memusatkan pada Jan Pieterszoon Coen sebagai peletak dasar perekonomian Belanda di Hindia, maka pada edisi 1963, bab tersebut lebih memusatkan pada Indonesia di masa Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen. Suatu perubahan sudut pandang dari masa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Hal tersebut cukup menarik mengingat Vlekke tentunya kita anggap sebagai pihak luar (apalagi dari Belanda) yang mengamati Indonesia dengan kacamata berbeda. Tak tertutup kemungkinan pendapatnya tak lepas dari pandangan kolonial. Namun, anggapan ini terbantahkan, mengingat Vlekke pada tahun 1940 pergi ke Amerika bersama istrinya, Caroline, untuk bekerja di Nederlandsch Informatie Bureau, New York, sekaligus mengajar di Harvard University, Cambridge (Massachusetts).

Di Amerika inilah Vlekke menulis buku Nusantara. Dalam hal ini, Vlekke harus bisa mengambil jarak dan bersikap ”netral” bagi publik Amerika serta tidak dapat memaksakan pandangan umum bangsa Belanda terhadap negeri koloninya. Apalagi memasukkan cerita kepahlawanan kolonialisme Belanda yang menggulirkan slogan ”Daar werd wat groots verricht' (Di sana dibangun sesuatu yang besar). Namun, sekaligus ia ingin menggambarkan makna penting kehadiran Belanda di Nusantara sebagai sine ira et studio (without anger and fondness).

Ada beberapa pendapat Vlekke yang berbeda dengan pendapat umum para sejarawan Belanda yang lebih menitikberatkan pada proses perluasan kolonialisasi. Misalnya bagi Belanda, persatuan Indonesia sebenarnya tidak ada dan sebenarnya berkat Belanda-lah ”persatuan” dari Sabang hingga Merauke itu ada. Vlekke menjawab bahwa sebenarnya Indonesia bukan disatukan oleh kolonialisme Belanda. Penyatuan itu lebih disebabkan masa silam gemilang Indonesia yang disebut Nusantara.

Penyajian

Tidak hanya itu, penyajian Vlekke jauh berbeda dengan sejarawan Belanda pada umumnya ketika buku ini pertama kali diterbitkan. Seperti ulasan E Adamson Hoebel dalam American Anthropologist (Oct-Des 1944) yang menyebut Vlekke mengambil sikap netral dalam membahas isu-isu sejarah kontroversial. Vlekke tidak menganalisis budaya Indonesia seperti analisis seorang etnolog yang menempatkan masyarakat pribumi sebagai obyek belaka. Lepas dari budaya yang dimilikinya. Namun, Vlekke lebih menitikberatkan pada masyarakat dan pengaruh budayanya. Oleh karena itu, tulis Hoebel, Vlekke memperlakukan sejarah sebagai a record of man and his accomplishments based on written documents.

Hal itu muncul pada edisi berikutnya (1961), khususnya dalam diskusi mengenai kontak budaya awal antara India dan Nusantara. Menurut Vlekke, kontak budaya tersebut menjadi satu hal yang mungkin dipertimbangkan sebagai masalah penting.

Kenetralan Vlekke tampak karena ia tidak hanya menggambarkan masyarakat Nusantara. Tokoh-tokoh, seperti HW Daendels, TS Raffles, dan Van den Bosch, yang memberikan warna dalam historiografi, baik Indonesia maupun Belanda, juga dibahasnya. Lengkap dengan berbagai intriknya.

Hal menarik lainnya adalah analisis Vlekke tentang jatuhnya Majapahit yang sebagian kalangan meyakini semata-mata ada hubungannya dengan bangkitnya Islam. Menurut Vlekke, memudarnya kejayaan Majapahit disebabkan mulai berkuasanya armada dari China di jalur perdagangan Nusantara. Faktor lainnya adalah para pedagang dan pelaut Eropa (Portugis dan Spanyol) yang mulai berdatangan pada awal abad ke-15 di Jawa. Dengan kata lain, menurut Vlekke, faktor kedua kekuatan utama (China dan Eropa) di samping kebangkitan Islam sebagai penyebab memudarnya Majapahit.

Pada Bab 8 ”Keruntuhan Negara-Negara Indonesia”, Vlekke membantah mitos bahwa keberhasilan Belanda menguasai Nusantara karena peralatan militer mereka yang lebih hebat. Namun, lebih disebabkan faktor internal, yaitu selama 60 tahun, kerajaan-kerajaan di Nusantara saling berperang dan menguasai satu sama lain. Belanda kemudian datang pada saat dan situasi yang menguntungkan mereka. Mereka mengadakan berbagai perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang isinya memudahkan mereka berkuasa di Nusantara.

Analisis menarik lainnya adalah tentang pilihan para raja terhadap Islam bukan karena mereka masuk secara sukarela terhadap agama tersebut, tetapi karena dihadapkan pada pilihan bersekutu dengan Portugis atau bekerja sama dengan Demak dan Johor. Dengan kata lain, pilihannya Islam atau Kristen. Pada dua bab terakhir (Bab 15 dan 16), Vlekke mengangkat lahirnya suatu bangsa melalui perjuangan kaum nasionalis di meja parlemen hingga jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda.

Buku ini dilengkapi pula dengan ringkasan peristiwa-peristiwa secara kronologis, mulai dari masa Hindu-Buddha hingga Hindia Belanda, baik yang terjadi di Nusantara dan Belanda. Selain itu, buku ini memuat daftar nama penguasa Jawa dan gubernur jenderal.

Secara garis besar, tema-tema dalam buku babon ini masih sejalan dengan masalah-masalah yang muncul pada masa kini. Bagi generasi baru, membaca buku ini seperti membaca ”dongeng” Nusantara yang tentu juga harus diimbangi dengan sikap kritis. (Achmad Sunjayadi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Pariwisata Indonesia, Bukan Cuma Bali, Bung!

-- Subhan SD

JANGAN lagi pertanyaan wisatawan bahwa ”Indonesia, sebelah mana Bali?” dianggap sebagai kelucuan. Sesungguhnya, pertanyaan itu adalah sebuah ironi, sekaligus memprihatinkan. Sungguh menyedihkan karena nama Indonesia tak banyak dikenal di peta bumi. Padahal, Indonesia barangkali menjadi satu-satunya untaian zamrud khatulistiwa nan unik dan indah.

Gerai Indonesia di pasar wisata Otdykh Leisure yang digelar di Crocus, Moskwa, Rusia, 23-26 September 2008. Dalam pameran itu, bukan hanya kegiatan promosi, tetapi juga sekaligus kemungkinan transaksi bisnis dengan operator wisata di Rusia. (KOMPAS/SUBHAN SD / Kompas Images)

Rasanya kita terlalu lama terlena dalam buaian kelucuan pertanyaan wisatawan asing itu. Kini, saatnya menghapus pertanyaan aneh itu. Karena, faktanya Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki hamparan yang begitu luas, daratan maupun lautan. Dari ujung barat hingga ujung timur jika dibentang di Benua Eropa, luasnya mulai dari Inggris hingga Turki. Jika dibentangkan di daratan Amerika Serikat, luasnya menutupi daratan negara adidaya itu. Sayangnya, negara tropis yang begitu luas dan indah itu ternyata bak setitik noktah yang tak terlihat.

Pantas saja bila Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mati-matian mempromosikan tempat-tempat wisata di Indonesia, selain Bali, di berbagai negara. Itu pula yang dilakukan saat berpromosi di Rusia pada akhir September. Setidaknya ada dua event yang membuat pariwisata gencar dipasarkan di Rusia, yaitu Indonesia Expo yang digelar di Kedutaan Besar Indonesia di Moskwa pada 20-26 September 2008. Satu lagi yang merupakan event besar dan prestise, yaitu pasar wisata di Otdykh Leisure di Crocus, sekitar satu jam perjalanan dari Moskwa, pada 23-26 September 2008.

”Daerah-daerah wisata selain Bali banyak sekali. Kami perkenalkan daerah itu sangat menarik untuk dikunjungi,” kata Direktur Promosi Luar Negeri Depbudbar I Gde Pitana dalam setiap kesempatan bertemu pengusaha agen perjalanan dalam pasar wisata di Otdykh Leisure maupun Indonesia Expo.

Bali sih wajar saja begitu terkenal. Sebagai daerah terbaik wisata sudah diakui dunia. Cap yang diterima Bali begitu banyak, misalnya predikat The World’s Best Island Destination’ (2001-2007), The Most Favorite Holiday Destination (2005- 2006), The Most Favorite Island’ (2005) Asia’s SPA Capital’ (2005), The Best Holiday Destination in Asia (2006), dan PATA Gold Award 2005 for Ecotourism.

Namun, sesungguhnya surga wisata di Indonesia bukan hanya Bali. Apalagi, Bali saat ini semakin sesak. Pengusaha wisata di Bali, Iwan Taruna, mengakui, problem saat ini di Bali adalah soal akomodasi. Jumlah kamar di hotel-hotel maupun penginapan lainnya boleh dikata sulit ditemui saat peak season. ”Kami kesulitan akomodasi. Makanya kami tawarkan pula untuk terus lanjut ke Lombok,” kata Iwan.

Daerah lain

Rasanya kini saatnya yang pas melirik daerah wisata lain yang indah, menarik, dan punya kekhasan tersendiri yang tersebar sejak Aceh hingga Papua. Keindahan laut biru dan pulau-pulau bergunung di Kepulauan Raja Ampat, Papua, ibarat surga yang belum banyak dirambah wisatawan. Keindahan alam bawah laut di daerah itu dipastikan membuat wisatawan tak henti menyelami tebing-tebing terumbu karang nan indah dan aneka warna.

Keindahan bawah laut lainnya bisa dijumpai di Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko) di ujung Sulawesi Tenggara, terumbu karang di Kepulauan Takabonerate di ujung Sulawesi Selatan, Pulau Togean di Teluk Tomini, Mentawai di Sumatera Barat, Derawan di Kalimantan Timur, Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta, Sumba, Bunaken, dan lain-lain.

Soal keindahan hamparan pegunungan juga tak kalah menariknya, misalnya keindahan Gunung Bromo, Gunung Rinjani, Danau Kelimutu, hingga keunikan pegunungan salju di daerah tropis Papua. Belum lagi soal keragaman etnik, budaya, istiadat, dan kesenian, yang memperlihatkan betapa kekayaan Indonesia nyaris tiada tara.

Maka, dalam pameran di Moskwa tersebut, Depbudbar benar-benar memasarkan daerah-daerah wisata semacam itu yang bisa menjadi tujuan wisatawan Rusia. Daerah-daerah wisata di luar Bali-Jawa itu meliputi Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat. I Gde Pitana mengatakan, Indonesia terus memperkenalkan daerah tujuan wisata selain Bali. ”Bali kita jadikan etalase. Kita sebut beyond Bali. Wisatawan yang berkunjung ke Bali lalu kita arahkan ke daerah-daerah tujuan wisata lainnya,” katanya, Rabu (24/9).

Karena itu, upaya mempromosikan daerah wisata selain Bali itu menjadi pekerjaan yang tidak ringan. Bahkan, perlu dilakukan terobosan penting agar daerah-daerah itu mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara. Rasanya upaya memasarkan daerah-daerah wisata itu tidak bisa dengan cara biasa. Berbagai keunikan yang dimiliki Indonesia semestinya dipasarkan secara unik pula dan lebih berorientasi pasar.

Soal cara memasarkan itu, Duta Besar Indonesia di Rusia Hamid Awaludin mengatakan pentingnya cara pemasaran baru agar lebih pas dan mampu membuat wisatawan asing tergiur. Ia mencontohkan, promosi dalam brosur-brosur harus bisa menjual sesuatu yang unik, misalnya Pulau Komodo. Ia mengatakan tidak cukup dengan gambar satwa komodo dan uraian umum saja. ”Mestinya ditulis agak lengkap bahwa komodo merupakan sisa hewan purba. Jadi disebutkan, mereka yang hendak menyaksikan sisa-sisa peradaban purba datanglah saat ini ke Pulau Komodo. Kalau tidak sekarang, Anda tidak bisa menyaksikan sisa-sisa peradaban itu,” kata Hamid.

Pasar potensial

Mengapa Rusia? Bukan hanya upaya mencari pasar baru, tetapi secara kuantitatif jumlah wisatawan asal Rusia yang berkunjung ke Indonesia, dalam hal ini Bali, setiap tahun meningkat signifikan, terutama tiga tahun terakhir. Tahun 2004, jumlah wisatawan Rusia 19.139 orang, meningkat tajam menjadi 47.212 orang tahun berikutnya. Tahun 2007, jumlahnya 51.687 orang. Tahun 2008 ini, dari target 70.000 orang, sampai Juli silam hampir 40.000 orang.

Dari sisi belanja uang, wisatawan Rusia juga tergolong royal. Setiap kunjungan (rata-rata 10 hari) wisatawan Rusia membelanjakan 1.753 dollar AS. Itu di luar akomodasi dan transportasi. Dibandingkan belanja wisatawan Australia, misalnya, wisatawan Rusia jauh lebih besar. Wisatawan Australia membelanjakan sekitar 1.330 dollar AS per kunjungan. ”Wisatawan Rusia termasuk yang banyak membelanjakan uangnya,” kata Jordi Paliama, Kepala Bidang Promosi Eropa Depbudbar. Wajar saja, pasar Rusia yang dimulai tahun 1995 kini masuk kategori emerging market, seiring tumbuhnya ekonomi Rusia yang melahirkan banyak orang kaya baru.

Hanya saja, pasar Rusia masih terkendala akses transportasi. Selama ini jalur penerbangan dari Rusia menggunakan Singapore Airlines dengan rute Moskwa-Singapura-Bali, lima kali dalam sepekan. Penerbangan lainnya, Transaero, yang terbang Moskwa-Bali dua kali sepekan. Direncanakan Oktober ini, Transaero menjadi tiga kali sepekan.

Menghadapi kendala penerbangan itulah yang membuat Hamid Awaludin berharap ada penerbangan langsung Moskwa- Jakarta yang dilayani Garuda Indonesia. Namun, Hamid yang menghubungi langsung petinggi Garuda itu gusar karena Garuda tidak memberi respons positif. ”Sebenarnya ini merupakan pasar. Kalau Garuda dilarang di Eropa, di Rusia kan tidak. Sayang, ini tidak dilihat Garuda,” katanya.

Seharusnya, wisata sebagai sektor yang ”tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan” tidak melulu urusan Depbudpar. Pemerintah daerah, maskapai penerbangan, dan pihak swasta juga harus lebih proaktif menjalin kerja sama yang sinergis dengan perencanaan yang visioner. Masak dari dulu soal akses dan fasilitas tak selesai-selesai, bagaimana mau melayani wisatawan dengan aman dan nyaman?

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Tokoh: Biografi Lengkap Pangeran Diponegoro

-- Suryadi

MENULIS biografi lengkap seorang tokoh besar yang sudah meninggal ratusan tahun lalu mungkin tak semudah menulis biografi (pesanan) seorang penguasa/pengusaha yang masih hidup. The Power of Prophecy (Kekuatan Nujum) menyuguhkan biografi lengkap Pangeran Diponegoro (1785-1855), seorang Muslim yang saleh, tetapi tetap dipengaruhi kosmologi Jawa, yang mengobarkan ”perang suci” melawan Belanda (1825-1830).

SURYADI / Kompas Images

Buku ini adalah sebuah studi yang mendalam mengenai riwayat hidup Pangeran Diponegoro (PD), bangsawan Keraton Yogyakarta, penentang paling gigih aneksasi Belanda terhadap tanah Jawa. Ia melukiskan detail kehidupan PD dalam turbulensi politik pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 ketika kekuatan penuh kolonialisme Eropa memukul Indonesia, menghancurkan orde lama Jawa untuk selamanya, serta mendorong kekuatan kembar Islam dan identitas nasional Jawa ke dalam konfrontasi frontal melawan Belanda.

Dalam konfrontasi itu, yang dikenal sebagai Perang Jawa (atau ”Perang Diponegoro”), PD kalah dan akhirnya dibuang—fase yang menandai dimulainya periode kolonisasi modern Belanda di Indonesia yang berakhir dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942. Buku ini membahas konteks kesejarahan Perang Jawa serta seluruh ”aktor” yang terlibat di dalamnya, dengan PD sebagai ”protagonis”-nya.

Tebal buku ini mencapai hampir 1.000 halaman, terdiri dari 12 bab yang diperkaya dengan 84 ilustrasi plus 11 peta, 2.260 catatan kaki yang sarat rujukan arsip dan sumber pertama, dan 16 lampiran yang membantu pembaca memahami posisi genealogis PD serta konteks sosial, politik, dan historis yang melahirkan, membesarkan, dan menentukan jalan hidupnya.

”Tulang punggung” (backbone) buku ini adalah otobiografi PD sendiri, naskah Babad Dipanagara (beraksara Pégon) yang ditulisnya di Manado. Penulis juga menggunakan banyak sumber pribumi lainnya serta catatan-catatan Belanda dan Inggris, khususnya kumpulan arsip kolonial yang berasal dari Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta yang sekarang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Peter Carey, yang mengaku mulai terpesona oleh figur PD sejak tahun 1969 ketika memulai studinya di Universitas Cornell, juga menapaktilasi dan merekonstruksi seluruh rute yang pernah ditempuh PD sebelum, selama, dan sesudah berlangsungnya Perang Jawa. Bahkan, ia mengaku melakoni beberapa acara ritual-mistis ala Jawa selama melakukan studi lapangan, salah satunya bermalam di Goa Secang, Selarong, Bantul, tempat PD pernah melakukan meditasi.

Konteks historis Perang Jawa

Membaca buku yang penyusunannya memakan waktu lebih dari tiga dekade ini, pembaca dibawa menelusuri berbagai sisi personalitas PD serta alasan pribadi dan sosio-politik yang mendorongnya maju menjadi pemimpin Perang Jawa.

Bab I memaparkan konteks demografi, sosio-ekonomi, dan politik the sounth-central Javanese world tahun 1792-1825, dunia tempat PD dilahirkan dan menjalani masa kanak-kanak dan remajanya. Bab ini juga melukiskan ”kemajuan” sistem administrasi kekuasaan Keraton Yogyakarta dan sistem kemiliteran yang mendukungnya, serta membahas kehidupan kaum tani, sistem perpajakan, birokrasi, dan pengusahaan tanah, yang memengaruhi dinamika sosio-politik masyarakat Jawa pada masa itu.

Rekonstruksi masa kanak-kanak PD sampai berusia 20-an tahun ketika Daendels menganeksasi Kesultanan Yogyakarta—keputusan yang, langsung atau tidak, telah ikut mendorong PD mengobarkan ”perang suci” melawan ”kafir murtad” Belanda—dibahas dalam tiga bab berikutnya.

Kelahiran PD di Istana Yogyakarta—nama kecilnya Bendara Radèn Mas Mustahar, lalu menjadi Radèn Antawirya—dengan berbagai mitos yang menyertainya dan lingkungan sosial Desa Tegalreja tempat PD menjalani masa kanak-kanaknya, dilukiskan dalam Bab II. Ayah PD, Hamengku Buwono III, baru berumur 16 tahun lebih sedikit dan ibunya, Radèn Ayu Mengkarawati, baru berusia 15 tahun ketika ia melahirkan PD. Di tubuh PD mengalir seperempat darah Madura karena nenek buyutnya, Ratu Kedathon (ibu Hamengku Buwono II), adalah keturunan Pangèran Cakraningrat II yang berdarah Madura.

Masa remaja PD dan inisiasi yang dijalaninya sehingga menjadi seorang dewasa yang terjadi pada tahun 1803-1805 digambarkan dalam Bab III. Carey melukiskan penampilan fisik, tabiat, dan kapabilitas intelektual PD, proses pendidikan yang dilaluinya, minatnya pada sastra dan ilmu keislaman, serta hubungannya dengan orang Eropa. Pada tahun 1804, dalam usia 19 tahun, PD menikah untuk pertama kali dengan Radèn Ayu Madubrangta, putri Kiyai Gedhé Dhadhapan, kepala pathok negeri Dhadhapan, Distrik Sleman.

Bab IV mendeskripsikan ziarah lelana PD ke tempat tirakatnya di pantai selatan dan ”pertemuannya” dengan Ratu Kidul di Gua Langsé. Di sanalah ia mendengar suara Sunan Kalijaga, konon, yang mengingatkannya akan datang bencana menghancurkan Kesultanan Yogyakarta yang menandai kejatuhan Tanah Jawa. PD juga menerima sinyal-sinyal mistis menyangkut peran historis yang akan dilakoninya pada masa depan. Ziarah PD selesai akhir tahun 1805 dan ia kembali ke Tegalreja.

Dua bab berikutnya melukiskan penaklukan Belanda terhadap Jawa Tengah yang sinyalnya telah diterima PD dalam ziarahnya. Proses penaklukan ini, yang dipimpin Gubernur Jenderal HW Daendels, diuraikan secara rinci dalam Bab V. Aneksasi terhadap Kesultanan Yogyakarta menyebabkan timbulnya gerakan anti-Belanda di kalangan bangsawan dan golongan ulama. Pada tahun 1809 meletus pemberontakan yang dipimpin Radèn Rongga Prawiradirja III. Bab VI membahas latar belakang pemberontakan ini dan dampak politisnya. Radèn Rongga tewas di Sekaran, di tepian Sungai Sala, 17 Desember 1810.

Bab VII melukiskan aksi ”pencabulan” (rape) yang dilakukan Inggris terhadap Kesultanan Yogyakarta menyusul kolapsnya Pemerintahan Franco-Dutch di Jawa. Yogya jatuh ke tangan Inggris pada 20 Juni 1812. Proses konsolidasi kekuasaan Inggris di Jawa, yang juga cukup menyengsarakan rakyat walau hanya berlangsung singkat (5 tahun), beserta dampak sosio-politiknya diuraikan dalam Bab VIII (hal 345-430).

Bab IX menggambarkan dinamika sosio-politik the sounth-central Java setelah kepergian Inggris pada tahun 1816. Carey memberi judul bab ini ”Binding on the iron yoke” untuk melukiskan berbagai kebijakan baru Belanda di bidang sosial, politik, dan ekonomi sampai 1822 yang makin memiskinkan rakyat. Konflik internal di kalangan bangsawan Yogyakarta akibat aneksasi Belanda semakin meruncing, salah satu faktor yang memicu timbulnya Perang Jawa (Bab X, hal 505-603). PD dan para pengikutnya yang menentang pendudukan Belanda atas Yogyakarta menyingkir ke Tegalreja. Seiring dengan itu muncul tanda-tanda ramalan Jayabaya tentang akan datangnya Ratu Adil, antara lain meletusnya Gunung Merapi pada Desember 1822.

Tegalreja, basis pasukan PD, diserang Belanda dan kolaborator lokalnya pada 20 Juli 1825. Mereka gagal menangkap PD yang dengan pasukannya sudah lebih dulu mundur ke Selarong. Penyerangan itu menandai dimulainya Perang Jawa. Jalannya peperangan itu (1825-1830), cara-cara pembiayaannya, dan konsekuensi sosio-politisnya diuraikan dalam Bab XI.

Bab XII memaparkan secara rinci antiklimaks Perang Jawa ditandai oleh kekalahan yang dialami pasukan-pasukan PD dalam beberapa front pertempuran yang kemudian memaksanya berunding dengan utusan Belanda, JB Cleerens, di Rèmakamal. Dengan tipu daya the commander-in-chief' pasukan Belanda, Letnan-gubernur HM de Kock, akhirnya PD ditahan saat mereka berunding di Magelang tanggal 28 Maret 1830.

Rekonstruksi proses penangkapan PD beserta para pembantu utamanya, sampai dia dibawa ke Batavia melalui Pelabuhan Semarang pada 5 April 1830 (PD sampai di Batavia pada 8 April) dan perjalanan panjang menuju tempat pembuangan di Manado dan akhirnya sampai ke Makassar diuraikan dalam bab ini.

Banyak kisah menarik

Buku ini mengungkapkan berbagai sisi kepribadian PD yang selama ini jarang kita ketahui: misalnya, waktu kecil PD dikelilingi oleh banyak wanita anggota keluarga, termasuk neneknya yang sangat memengaruhi minatnya belajar Islam. Carey juga berhasil mendapatkan satu-satunya sketsa wajah PD muda dalam pakaian Jawa memakai belangkon (hal 118). Ternyata PD tidak bisa berbahasa Melayu dengan baik dan juga berbahasa Belanda. Bila marah kepada pejabat Belanda, ia cenderung berbahasa Jawa Ngoko.

PD ingin tahu banyak mengenai peta Hindia Belanda dan Tanah Arab. Ia juga sangat mengerti tata cara makan ala Eropa. PD suka makanan Belanda seperti ”kentang Welanda” dan roti bakar (hal 700). Meski menolak minum wine, sekali waktu dalam pelayaran dengan Corvette Pollux dari Batavia ke Manado ia terpaksa meminumnya sebagai ”obat”.

Pascaberakhirnya Perang Jawa, PD yang terserang penyakit malaria hanya ingin diakui sebagai pemimpin agama tertinggi di seluruh Jawa (ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya). Setelah menjadi tahanan Belanda, PD yang tetap diizinkan memiliki keris pusakanya, Kyai Ageng Bandayuda, ingin sekali ke Mekkah. Ia menyisihkan sebagian uang tunjangan pemberian Belanda. Menjelang bertolak dari Semarang dengan SS Van der Capellen, PD minum air zam-zam pemberian seorang haji di Magelang. Namun, sampai akhir hayatnya permohonan PD untuk pergi naik haji tidak pernah dikabulkan Belanda.

Menurut Carey, ada faktor kembar yang mendorong PD, adiwangsa Keraton Yogyakarta yang semula bersikap netral dan tidak menunjukkan ambisi politik apa pun, mendeklarasikan ”perang suci” melawan Belanda, yaitu krisis agraria yang melanda Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan berbagai tindakan yang tak pantas yang ditunjukkan para petinggi Belanda di Yogyakarta (hal 757). Hal itu antara lain terefleksi dalam sindirannya kepada Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys van Burgst dalam babad-nya: ”Karemannya mangan minum / lan anjrah cara Welanda'” (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda) (hal 434).

Banyak lagi sisi-sisi kehidupan PD yang berhasil diungkapkan Carey dalam buku ini, juga lingkungan Keraton Yogyakarta memiliki pasukan wanita (royal Amazon corp) dengan kepandaian menunggang kuda dan menggunakan senjata yang membuat Daendels terkagum-kagum. Di The 'Versailles of Java' itulah PD dilahirkan sebelum fajar menyingsing pada Jumat, 11 November 1875.

Mungkin hanya sebuah kebetulan atau keajaiban terakhir: sama seperti waktu kelahirannya 70 tahun sebelumnya, PD, yang selama hidupnya memiliki tujuh istri dan beberapa istri lagi yang tidak diketahui namanya (Appendix IV), wafat menjelang fajar menyingsing pada hari Senin 8 Januari 1855 di biliknya dalam Benteng Rotterdam, Makassar.

Sebagai seorang anak manusia, this pious and complex man' telah menyelesaikan tugas sejarahnya. Agaknya benar diktum Karl Popper yang disitir Carey: ”[H]istory is the struggle of men and ideas” (hal 757).

Studi sejarah Indonesia

Tampaknya buku ini amat dinantikan oleh peminat studi (sejarah) Indonesia, mengingat kabar mengenainya telah beredar sejak 33 tahun lalu ketika Peter Carey sukses mempertahankan disertasinya, ”Pangeran Dipanegara and the Making of Java War, 1825-30”, di Universitas Oxford pada November 1975. Edisi kedua buku ini telah dicetak, menyusul edisi pertamanya (Desember 2007) yang sudah terjual habis.

Peter Carey, yang kini menjadi dosen di Trinity College, Inggris, telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyusun buku ini. I can say that I have lived under the shadow of the Prince [Diponegoro] for nearly all my adult existence, akunya dalam Jurnal Itinerario.

Buku ini sangat patut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia supaya anak bangsa ini dapat mengetahui secara mendalam riwayat hidup dan perjuangan salah seorang pahlawan nasional mereka. Di sampul dalamnya, Carey menulis: Dedication. For the family and descendants of Pangéran Dipanagara. In honour and respect. Kalimat itu seperti mengimbau pewaris Keraton Yogyakarta untuk mengirim pesan rekonsiliasi kepada arwah nenek moyang mereka yang dulu sempat terpecah karena perang yang dipimpin PD.

Semoga pewaris Keraton Yogyakarta (baca: Sultan Hamengku Buwono X), juga Pemerintah Republik Indonesia, tergugah untuk mengusahakan penerjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia.

* Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Akurasi, Syarat Mutlak Karya Sejarawan

JAKARTA, KOMPAS - Akurasi merupakan syarat mutlak karya sejarawan. Akurasi tercapai antara lain dengan mengindahkan masukan dari piranti bantu, seperti arkeologi, epigrafi, paleografi, kronologi, dan statistik. Demikian salah satu butir orasi ilmiah Dr A Eddy Kristiyanto OFM dalam acara pengukuhan sebagai guru besar Sejarah Gereja di aula Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (25/10). Sidang Terbuka Senat STF Driyarkara dipimpin Pembantu Ketua I Dr JB Hari Kustanto.

Fakta itu suci, opini itu bebas, demikian Eddy, tetapi banyak orang tahu cara paling efektif untuk memengaruhi massa, yaitu dengan menyeleksi dan menyusun fakta secara tepat.

Prof Eddy merasa ”enggan” menggunakan pendekatan dekonstruksionisme yang disederhanakan sebagai deskripsi hitam putih yang menuntut, kebenaran sejarah adalah kesesuaian ungkapan dan fakta sehingga kebenaran harus dibongkar. Pendekatan itu ada baiknya diperhatikan agar pendasaran teori sejarah bisa seobyektif mungkin. Pendekatan ini tidak sekadar deskripsi hitam putih, tetapi sebuah karya sejarah yang memungkinkan sejarawan memiliki cara penggambaran, penafsiran, dan pola memaknai yang berbeda-beda meskipun peristiwa yang disorot sama.

Fakta hanya berbicara apabila sejarawan mencari, menemukan, dan mengolahnya. ”Hanya sejarawan yang memutuskan apakah Supersemar itu suatu fakta historis, kendati pada tanggal yang sama ada sekian juta orang yang menulis surat. Kenyataan ini bisa saja tidak digubris oleh sejarawan.”

Menurut Ketua STF Driyarkara itu, sejarawan mutlak perlu melakukan seleksi atas fakta. Fakta menyangkut interpretasi. Amat sering sejarah dicemari fakta nonhistoris, sehingga bidaah dalam sejarah pun bermunculan, karena sejarah kemudian terdiri atas himpunan fakta yang tidak dapat ditolak dan tidak obyektif. Sejarah merupakan perekayasaan dalam pikiran sejarawan. Penyusunan masa lalu tergantung dari data empiris, yang mengharuskan seleksi dan penafsiran fakta historis. Menulis sejarah merupakan satu-satunya jalan membuat sejarah.

Dengan proses di atas, untuk mendeskripsikan masa lalu dengan akurat dan obyektif, sejarawan dituntut konsisten menaati prinsip-prinsip penelitian dengan semangat ”kebenaran ilmiah”, tidak berat sebelah, jauh dari purbasangka, bebas dari kepentingan nonilmiah, dan bersifat induktif. Persyaratan hanya dilakukan lewat interpretasi.

Sesuai judul orasinya ”Sejarah sebagai locus philosophicus et theologicus”, Prof Eddy menyimpulkan, menjadi seorang sejarawan filsafat berarti mengolah filsafat dari si subyek. Menjadi seorang sejarawan teologi berarti mengolah teologi dari si subyek. Di antara para filsuf dan teolog ada ketegangan bahkan konflik, perlu disadari pada dasarnya bersatu padu, yakni di dalam Tuhan yang adalah asal usul sekaligus tujuan eksistensi segala sesuatu yang ada, yang kini ada, dan yang akan ada.

Lahir di Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta, 5 Juli 1958, doktor sejarah Gereja lulusan Universitas Gregoriana tahun 1996 dan masuk Ordo Fransiskan sejak 1978, Romo Eddy Kristiyanto sejak 2007 adalah Ketua STF Driyarkara. Beberapa karya buku, di antaranya, Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria (2008) dan Visi Historis Komprehensif, Sebuah Pengantar (2003). (STS)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Keunikan Sebuah Novel Kamus dari Peter

Jakarta, Kompas - Apa jadinya jika kamus dan novel disatukan? Mungkin Anda tak percaya, karena belum pernah sastrawan Indonesia menulis seperti itu. Namun, penulis Hongaria, Peter Zilahy (38), telah memulainya dan membuat decak kagum. Novel kamus berjudul The Last Window Giraffe telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Cahya Wiratama dan diluncurkan Penerbit Bentang, Jumat (24/10) malam, di Jakarta.

”Diterbitkan 1998 di Hongaria, novel kamus The Last Window Giraffe telah diterjemahkan ke dalam 19 bahasa. Novel ini meraih banyak penghargaan, salah satunya, The Book of the Year Prize di Ukraina 2003. Keping cakram novel ini sudah beredar di 28 negara,” kata Peter Zilahy.

Dalam novel setebal vi + 188 halaman ini, Peter memberi suatu pengetahuan baru. Misalnya, bagaimana di Hongaria huruf dimulai dengan ”jendela” (ablak) dan diakhiri dengan ”jerapah” (zsiraf) bukan dari A hingga Z seperti abjad yang kita kenal.

Foto-foto bidikan Zilahy dan banyak ilustrasi melengkapi peran kata sebagai pelukis fakta. Peter menceritakan kehidupannya di Hongaria di bawah ”kediktatoran lunak”, tentang ”komunisme Gulai Daging”, sampai masa ia demo anti-Milosevic di Beograd pada tahun 1996. Semua dalam deret abjad A sampai Z.

Di novel kamus ini pembaca seperti berkelana ke sejarah Eropa Tengah yang luar biasa eksentrik, kemudian ditarik lebih mundur ke zaman mitologis. ”Anda bisa baca sejarah keluarga saya, satu dari tiga narasi yang jalin- menjalin di sepanjang isi buku. Narasi lain, sejarah mutakhir negara-negara kecil yang disatukan Josip Broz—dikenal sebagai Tito—di bawah nama Yugoslavia, dan kekacauan pada saat-saat awal,” tuturnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008

Rasa Kebangsaan 1928

-- Armada Riyanto CM*

SAAT revolusi fisik belum pecah, Indonesia tidaklah sunyi. Tahun 1928 dideklarasikan sebuah kesadaran revolusioner, ”cita rasa sebagai bangsa”. Rasa kebangsaan adalah energi kebersatuan yang memungkinkan tercipta negara bangsa baru, Indonesia.

Jauh dari ingar-bingar ritual upacara, ”Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928 sebenarnya merupakan produk rapat demi Kongres Pemuda Indonesia kedua.

Ada tiga kali rapat utama yang dilakukan di gedung berbeda-beda. Ketiga gedung itu sudah biasa dipakai untuk pertemuan kaum muda. Rapat pertama (Sabtu malam, 27 Oktober) berlangsung di Gedung Pemuda Katolik (Katholieke Jongelingen Bond) di Waterlooplein (Jalan Lapangan Banteng). Rapat kedua (Minggu pagi, 28 Oktober) di Gedung Bioskop ”Oost Java” di Medan Merdeka Utara. Ketiga (Minggu malam, 28 Oktober) di Indonesissche Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106 (Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006, 695). Konon dalam satu dua sidangnya ada pula sambutan tertulis dari Soekarno, Tan Malaka, dan lainnya.

Motivasi

Kongres Pemuda Indonesia Kedua ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri, seolah tidak mengandaikan konteks pergumulan sebelumnya. Kongres Kedua merupakan kelanjutan yang pertama dengan maksud tunggal, agar berbagai perhimpunan kepemudaan dapat berikhtiar menggalang persatuan yang lebih kokoh. Desakan untuk bersatu dipicu oleh hukuman pembuangan dr Tjipto Mangoenkoesoemo oleh pemerintah kolonial. Sebelum berangkat, dr Tjipto berkirim surat ke Soekarno agar bertekun untuk berkorban, berkorban, dan berkorban bagi kemerdekaan Indonesia (Lih. Ibid. 682).

Soekarno menindaklanjuti pesan dr Tjipto dengan melakukan perundingan bersama pimpinan kaum muda lain di Bandung sampai terbentuk ”Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI) yang merupakan federasi PSI, PNI, BO, Pasoendan, Soematranen Bond, Kaoem Betawi, dan lainnya.

Semangat dan kehendak untuk bersatu ini kian menemukan motivasi setelah mereka mendengar kabar, para pemimpin Indonesia di Nederland (Hatta dan kawan-kawan) dibebaskan.

Serangkaian peristiwa ini mendorong para pemuda Indonesia mengadakan rapat-rapat untuk merencanakan Kongres Pemuda Indonesia II pada bulan Oktober. Terbentuklah panitia: Soegondo (ketua), Djoko Marsaid, Yamin (Jong-Sumatranen Bond), Amir Sjarifuddin (Jong-Batak), Djohan M Tjai (Jong-Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemoeda Indonesia), Senduk (Jong-Celebes), J Leimena (Jong-Ambon), dan Rohjani (Pemoeda Betawi).

Kongres 26-28 Oktober ternyata sebuah pertemuan akbar, dihadiri 750 orang. Uniknya, peserta tidak hanya dari putra-putri pribumi, tetapi juga dari keturunan China, bahkan Belanda.

Sidang pertama di Gedung Pemuda Katolik membahas tema persatuan Indonesia. Saat itu diperdengarkan pidato M Yamin berjudul Persatoean dan Kebangsaan Indonesia. Pidato ini mendapat tanggapan baik, di antaranya Kartosoewirjo yang mendukung pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.

Tema Sidang kedua lebih praktis, yaitu bagaimana ”kebangsaan” Indonesia diwujudkan secara nyata dalam pendidikan. Ki Hadjar Dewantara tidak bisa hadir. Rekannya, Sarmidi Mangoensarkoro, menguraikan visi dan teknik-teknik pendidikan untuk anak-anak bumiputra.

Sidang ketiga mengurai tema ”patriotisme” yang mengatasi suku, agama, ras, dan ideologi. Pembicaranya beragam: Ramelan, Islam, dari Kepanduan Sarekat Islam; Theo Pangemanan, Kristen, dari Kepanduan Nasional; dan Mr Sunarjo dari Persaudaraan Antarpandoe Indonesia.

Lalu Wage Rudolf Supratman, seorang Kristen, memperkenalkan lagu ciptaannya tanpa lirik (guna menghindari ketersinggungan pemerintah kolonial) dengan instrumen biola ditemani Dolly Salim (putri Haji Agoes Salim), seorang Muslim, yang memainkan piano. Saat itu suasana Kongres larut dalam alunan nada indah mengharukan. Kelak nada-nada itu akan menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Hampir gagal

Kongres II Oktober 1928 sebenarnya ”hampir gagal” karena tidak mencapai ”kesepakatan politik” untuk membentuk sebuah organisasi pemuda. Yamin, misalnya, sejak awal tidak pernah setuju peleburan berbagai organisasi politik. Tetapi, larut malam, Yamin (sekretaris) menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, ketua Kongres, berisi kalimat ”kebersatuan tekad hati.”

Kertas itulah draf dari apa yang kelak dikenal ”Sumpah Pemuda”, yaitu bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat itu lantas menjadi entry point peradaban baru, yakni kedalaman rasa kebangsaan Indonesia.

Dari perhelatan Kongres Pemuda Oktober 1928, kita belajar sebuah kedalaman makna, apa artinya menjadi bangsa. Seperti diajarkan Mahatma Gandhi, rasa kebangsaan tidak lain adalah rasa kemanusiaan. Artinya, dalam rasa kebangsaan, yang ada adalah solidaritas, perdamaian, kebersatuan, kesetiakawanan, kerja sama, tekad hati menatap masa depan yang lebih cemerlang.

Cita rasa semacam ini mengatasi sekat-sekat kesukuan, kepercayaan, kepentingan golongan ras, juga ortodoksi ajaran agama atau ideologi maupun tradisi kultural. Kecemerlangan ”rasa kebangsaan” 1928 dengan demikian bukanlah milik masa lampau. Milik kita juga. Saat ini.

* Armada Riyanto CM, Rektor STFT Widya Sasana, Malang

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008