-- A.D. Pirous
DI Negeri yang alamnya ditingkahi empat musim, pasar seni biasanya dilaksanakan pada musim rontok, masa menjelang musim dingin panjang yang akan penuh dengan kegiatan kesenian yang lebih serius. Sekitar empat puluh tahun yang lalu, 1970, saya berkali-kali mengikuti Art Fair di negara bagian New York, Amerika Serikat. Saya hanya datang membawa beberapa batang tongkat dan segulung tali untuk mengebat, dan sejumlah karya seni untuk digantungkan. Art Fair hanya sehari, dari pagi sampai sore, lalu selesai. Ketika kegiatan ini diperkenalkan di Bandung, Art Fair dinobatkan dengan nama Pasar Seni ITB, digelarkan pada peristiwa awalnya tahun 1972, di sepanjang Jalan Ganeca ITB.
Apa sih sebenarnya pasar seni itu?
Pasar seni adalah gelanggang sehari yang mempertemukan para pencipta karya (seni), dengan masyarakatnya. Pasar seni demokratis ini terdiri atas karya mereka yang pernah, menciptakan kriya tangan, lukisan, gambar, patung, hiasan, aksesori, pokoknya apa saja yang dibutuhkan manusia. Karya itu boleh ciptaan seniman akademis ataupun rakyat jelata yang autodidak, oleh seniman yang sudah terkenal, ataupun yang baru muncul dengan skala kepolosannya. Karya ditampilkan dengan cara pamer yang sangat sederhana, dengan biaya murah, asal terlihat dan asal tergantung. Para pencipta bertemu para penggemar. Mereka berceloteh, berkelakar, saling tawar, saling suka, beli, bungkus, bayar, dan bawa pulang. Suasananya murah meriah.
Formalitasnya adalah sesuatu yang tidak formal. Pasar Seni ITB 1972 telah diramaikan oleh pelukis A. Sadali, Mochtar Apin, Popo Iskandar, But Muchtar, Rita Widagdo, A.D. Pirous, para alumnus, mahasiswa, dan lain-lain; di samping para perajin dan para seniman autodidak lainnya. Suasananya sukses, ramai, terkenal, membius, ditunggu-tunggu, dan dibicarakan orang.
Sejak itu, secara tidak berkala, Pasar Seni ITB bergulir terus dari waktu ke waktu. Penyelenggaraannya berkembang, diperkaya dengan berbagai corak kegiatan berkesenian lainnya, pertunjukan, arak-arakan, hiburan, aksi happening yang sangat gila-gilaan dilakoni oleh mahasiswa ITB dan para pendatang dari Jakarta dan Yogyakarta. Jadilah Pasar Seni ITB suatu fenomena baru dalam dunia seni rupa di Indonesia. Seni rupa ITB telah turun membawakan karya seni akademik mereka, bergaul dengan seni rakyat, bersama-sama mengajak masyarakat hidup akrab dengan seni. Untuk itu, rupanya Kota Bandung sangat subur untuk benih baru ini.
Apa Pasar Seni ITB sekarang ?
Tradisi awal masih diteruskan. Bagi peserta pasar seni, karya-karya seninya masih dipersiapkan dengan serius. Bagi panitia penyelenggara, mereka berupaya maksimal agar penampilan pasar seni semakin baik; semakin layak dengan berbagai kategori barang dan kegiatannya. Sarananya konon lebih canggih, lebih mahal, mewakili juga zamannya yang kian maju. Dengan sarana pameran yang kian keren, mengakibatkan biaya partisipasi peserta juga jadi lebih tinggi; dan tentunya nilai jual karya yang dipasarkan akan jadi lebih mahal pula. Terasa ada pergeseran dari suasana pasar seni ke pameran seni. Mudah-mudahan para peserta dan pengunjung masih tetap bersemangat, tetap terjangkau, tetap memukau.
Ada gelombang wawasan lain yang sangat memikat dalam Pasar Seni ke-10 ITB ini. Hiruk-pikuk bukan oleh transaksi karya saja, tetapi para pengunjung akan dimabukkan oleh berbagai wawasan atau isu yang sedang hidup dalam masyarakat kita.
Ditancapkannya beberapa karya seni rupa instalasi di sepanjang Jalan Ganeca adalah karya dari puluhan seniman kontemporer, mengusung aneka problematika sosial, politik, kejahatan publik, korupsi, masalah lingkungan, dan lain-lain. Melalui karya seninya, satu tanggung jawab baru bagi para seniman untuk terlibat dalam masalah bangsa ini. Seniman bukan hanya mencipta karya, tetapi juga menciptakan bicara, menyatakan pendapat. Para seniman akan menyampaikan kidung sosial lewat bahasa visual. Diharapkan publik akan melihat dan mendengarnya. Jadilah Pasar Seni ke-10 ITB ini suatu ajang yang lebih menarik; antara berbelanja wawasan dan berbelanja barang-barang seni. Tidaklah heran nanti bila seorang pengunjung pulang dari pasar seni menjinjing barang belanjaannya, sementara di kepalanya berat dirangsang oleh berbagai pikiran, wawasan yang dilontarkan sang seniman.
Apakah Indonesia membutuhkan pasar seni seperti ini?
Saya rasa, ya! Setiap zaman punya napasnya.
Hidup Pasar Seni ITB! ***
A.D. Pirous, salah seorang penggagas Pasar Seni ITB awal. (Makalah disampaikan dalam Diskusi Pasar Seni ITB di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, 29 September 2010)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Okttober 2010
No comments:
Post a Comment