Sunday, October 03, 2010

Ruang Kegilaan vs Ketakwarasan

-- Herry Dim

UNTUK membuka catatan menyongsong Pasar Seni ITB 10.10.10 ini, izinkan memulainya dengan beberapa pertanyaan; mengapa peristiwa seni senantiasa dipelihara di dalam berbagai peradaban dan kebudayaan manusia? Mengapa bangsa-bangsa dan negara-negara senantiasa merasa perlu memelihara ruang seni semisal galeri-galeri, museum-museum, dan sejumlah tempat-tempat pertunjukan? Setelah adanya ruang-ruang permanen tersebut, mengapa pula mereka itu masih merasa perlu menyelenggarakan kenduri-kenduri tahunan (annual), dua tahunan (biennale), atau tiga tahunan (triennale), dan semacamnya? Setelah moda-moda tersebut ada, mengapa pula masih membuat ruang kegilaan lain semacam documenta, fluxus festival, pertemuan cobra, dan lain-lain?

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi akan panjang sekali. Kehadiran seni di ruang-ruang publik seperti disebutkan tadi, sesungguhnya hampir umum dan nyaris selalu menimbulkan efek "gundah" semisal pernyataan atau pertanyaan "tidak mengerti," "apa sih maksudnya," "bingung," "edan," "dasar gendheng," dan sebagainya. Kini, kita ulang satu saja pertanyaan; mengapa hal yang bagi publik menimbulkan ketidakmengertian, tak jelas maksudnya, membingungkan, edan, gendheng tersebut tetap dipelihara?

Bagi sebagian dari kita yang memang belum memiliki tradisi museum seni, ruang seni, hingga kenduri seni berkala lainnya, bukan tidak mungkin ketika bertemu dengan hal "yang tidak dimengerti" tersebut sekurang-kurangnya dibiarkan berlalu begitu saja danatau malah segera dihindari. Sadar ataupun tak disadari, perilaku menghindar tersebut sesungguhnya sedang mengabadikan ketidakmengertian, dan atau membiarkan ketidakmengertian tersebut menjadi bagian dari diri yang akut.

Berbeda dengan bangsa-bangsa dan negara-negara yang memiliki kesadaran membangun ruang-ruang seni, mereka sepertinya menyadari bahwa ketidakmengertian itu bukan hal yang sepatutnya dihindari melainkan harus ditabrak, dibongkar, diurai, dianalisis, meskipun di ujung jawaban-jawaban hasil pencarian atas ketidakmengertian tersebut hasilnya adalah sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain yang serbabaru.

Mari kita bertanya lagi; mengapa ruang yang menimbulkan ketidakmengertian tersebut perlu dipelihara sekaligus justru untuk ditabrak?

Ketidakmengertian itu sesungguhnya gerbang (besar atau pun kecil) dari fitrah rasa takjub yang sesungguhnya hadir dan ada pada setiap insan dari ras mana pun. Itu seperti halnya ketika setiap orang melihat atau berhadapan dengan matahari, yakin hingga hari ini pun tidak semua orang mengerti tentang konstruksi matahari, tetapi sekaligus bisa dipastikan bahwa semua orang yang waras itu takjub terhadap keberadaan matahari. Andaikan ketidakmengertian sekaligus ketakjuban tersebut dibiarkan berlalu dan atau dihindari, bukan tidak mungkin hingga hari ini pun peradaban manusia tidak akan pernah mengenal ilmu falak, tata surya, hingga ilmu yang berkenaan dengan cuaca, sistem pertanian, hingga penerbangan.

Antara ketidakmengertian dan ketakjuban pula yang mendorong Archimides berteriak, "Eureka" (aku menemukan). Padahal, yang terjadi adalah kejadian saat Archimides masuk bak mandi, ia melihat permukaan air di bak mandi tersebut naik. Ketika ia mengatakan "aku menemukan" tersebut, sesungguhnya masih berbungkus atau terselimuti oleh ketidakmengertian, tetapi hal itu ia tabrak dengan jalan masuk ke laboratoriumnya, untuk melakukan sejumlah penelitian. Hasil dari kemauan menabrak ketidakmengertian itu adalah umat manusia bisa membuat besi --yang sesungguhnya bersifat tenggelam di air-- menjadi bisa mengambang, lalu dibuatlah kapal laut, dan semacamnya.

Orang mandi dengan cara masuk bak mandi atau pun dengan siwur (gayung), itu hal lumrah, biasa, established (mapan) bagi umumnya umat manusia. Hal biasa itu menjadi lain dan menghasilkan ilmu pengetahuan karena suatu ketika ada "kegilaaan", ketakjuban, danatau cara pandang lain terhadap hal biasa tersebut. Ini sekaligus untuk menjelaskan istilah "kegilaan" di sini maksudnya kehendak untuk melihat hal biasa dengan cara lain, yang telah umum dan dianggap biasa demi lahirnya suatu pilihan jalan atau temuan baru bermanfaat bagi peradaban manusia. Di seberang lainnya adalah kecenderungan pemapanan (establishment), penghambaan diri terhadap stabilitas, karena hidup telah dirasakan begitu genah, nyaman, biasa, bahkan menjadi "biasa" terhadap keburukan sekalipun. Sadar atau tak disadari, kecenderungan ini sekurang-kurangnya bisa menjadi mesin bagi pembekuan akal pikiran, perasaan, intuisi kreatif, mematikan girah, fobia publik terhadap perubahan, dan ujung terjauhnya adalah ketakwarasan massa yang masif.

**

Seni salah satu fitrahnya sejak masa purbawi dan atau sejak awal peradaban umat manusia adalah jalan bagi manusia untuk meniru ataubelajar dari kehidupan, tetapi sekaligus memberlakukannya sebagai "alat ganggu" atau sekurang-kurangnya menjadi cara lain bagi umat manusia memandang kehidupan. Sebut satu contoh saja gerak nyawang di dalam tarian, itu bersumberkan kepada hal yang biasa dilakukan manusia di dalam keseharian, tetapi ketika menjadi tarian nyata berbeda karena telah diubah menjadi gerak khusus, diberi irama, dan dilakukan dengan kontemplasi yang berbeda dibandingkan dengan keseharian.

Pasar Seni ITB 10.10.10 sebagai kenduri yang hadir di ruang publik relatif luas serta heterogen, itu menjadi penting terutama dalam kategori jeda "gangguan" seperti telah diuraikan tadi. Bukan tidak mungkin pada Pasar Seni ITB 10.10.10, itu akan menimbulkan sejumlah kebingungan dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, tetapi itulah pasar dan itulah pula seni. Pasar adalah tempat bertemunya sejumlah orang yang beragam dan seni adalah ruang jeda untuk bingung dan bertanya.***

Herry Dim, seniman dan pengamat kebudayaan.(Makalah ini disampaikan pada Diskusi Pasar Seni ITB di Aula Redaksi "Pikiran Rakyat", 29 September 2010)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Okttober 2010

No comments: