Sunday, October 03, 2010

Pasar Seni Dalam Diskusi

MENGAMBIL spirit masyarakat adat, pasar seni hendaknya mesti menjadi satu ritus kota. Jika dalam masyarakat adat, ritus menjadi peristiwa untuk mengukur berbagai perkembangan kesadaran, dari mulai seni hingga agama dan pertanian, demikian pula pasar seni sebagai peristiwa kebudayaan. Wali kota dan para pembesar kota dalam peristiwa itu bisa dibayangkan sebagai barisan tetua adat, yang bisa membaca dan mencermati sampai sejauh mana konfigurasi budaya yang terjadi. Pada bagian inilah mesti dipahami, betapa pasar seni bukanlah melulu menjadi keramaian atau menjelma kerumunan yang melulu hendak menjadi populis, sebagaimana pengertian pasar yang diimani oleh kapitalisme. Melainkan juga dimaknai sebagai dalam hubungan kota dan strategi budaya.

Oleh karena itu, merancang suatu pasar seni adalah memikirkan bagaimana mekanisme produksi budaya akan dilakukan. Terlebih lagi, ketika itu dibarengi dengan semacam bayangan bahwa pasar seni dimaksud bisa menjadi penanda pada karakteristik satu kota. Terutama bagi kota yang menyebut dirinya kota seni dan budaya.

Demikian pemikiran yang muncul pada diskusi bertajuk "Pasar Seni ITB dan Strategi Budaya Kota" di Aula Redaksi Pikiran Rakyat Bandung, Rabu (29/9). Diskusi yang menghadirkan pembicara seniman Herry Dim, Prof. A.D. Pirous, Tisna Sanjaya, dan Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda ini, berangkat dari pelaksanaan Pasar Seni ITB pertama pada 1972 sampai pencermatan pada pasar seni sebagai satu peristiwa budaya dan hubungannya dengan berbagai soal dalam peradaban urban. Dari mulai tautan antara seni dan lingkungan, etos sosial, hingga kelembagaan suatu event seperti Pasar Seni ITB yang akan berlangsung Minggu, 10 Oktober 2010.

**

DALAM uraiannya merefleksikan lahirnya Pasar Seni ITB tahun 1972, A.D, Pirous menyebutkan betapa dari tahun ke tahun telah terjadi perubahan dalam penyelenggarannya. Yang pada awalnya berlangsung sederhana, kini Pasar Seni ITB dibebani oleh volume pengunjung jauh lebih ramai. Demikian pula bagaimana Pasar Seni ITB makin menegaskan kehadirannya sebagai tempat berlangsungnya berbagai pertunjukan kesenian, tidak hanya sekadar peristiwa jual-beli. Sebab, dalam pandangannya Pasar Seni ITB kini bukan lagi hanya salah satu pasar, tetapi telah berubah menjadi format satu festival.

"Jika dulu pengunjung pulang sambil menjinjing karya seni yang dibelinya, kini dalam ingatannya juga tersimpan berbagai pertunjukan kesenian yang disaksikan," ujar A.D. Pirous.

Jika Herry Dim lebih menyoroti pasar seni bagi kebutuhan apresiasi publik terhadap karya seni, yang selama ini selalu dipandang sebagai ketakjuban yang tidak dimengerti. Ayi Vivananda lebih jauh menguraikan pandangannya ihwal hubungan etos budaya warga kota dan isu-isu lingkungan di ranah ruang publik. Pada bagian lain ia memandang Pasar Seni ITB sebagai event di ranah ruang publik yang muncul dan dilakukan langsung oleh masyarakat.

"Even ini merupakan contoh penting bagi Pemkot Bandung, dalam upaya membangun ruang publik," katanya.

Sementara itu, Tisna Sanjaya lebih menyoroti sejumlah isu yang akan diusung oleh para seniman pada Pasar Seni ITB 2010. Berangkat dengan tema "Yang Terlupakan" Pasar Seni ITB pekan mendatang akan menyuguhkan sejumlah peristiwa seni, yang selama ini terlupakan dan mengusung berbagai kesadaran ihwal hubungan manusia, kota, dan lingkungan. Dalam hubungannya sebagai suatu event, ia berharap Pasar Seni ITB kelak bisa menjadi inspirasi bagi penyelenggaraan festival seni di Kota Bandung.

Diskusi yang dihadiri oleh para seniman dan aktivis budaya Kota Bandung ini, mengapungkan sejumlah pemikiran ihwal penyelenggaraan Pasar Seni ITB yang dikorelasikan ke dalam berbagai soal. Dari mulai kebijakan dan respons Pemkot Bandung, yang diandaikan tak hanya mengambil posisi sebagai fasilitator, adanya kelembagaan yang permanen, hingga sudut pemakanan pasar seni yang tidak terjerumus ke dalam etos kapitalisme, yang meniadakan individu sebagai subjek otonom.

Heru Hikayat mencermati, bagaimana Pasar Seni ITB 1972 sebagai peristiwa yang mempertemukan produsen dan konsumen, kini berlangsung di tengah perkembangan seni yang didominasi oleh pasar. Oleh karena itulah, di tengah konteks tersebut ia menilai bagaimana semestinya Pasar Seni ITB tetap memosisikan dirinya. Dalam konteks event penyelenggaraan, berkaca pada pengalamannya selama masih menjadi mahasiswa FSRD ITB, Pasar Seni ITB selalu dilaksanakan oleh kepanitiaan yang meraba-raba mencari jalan tanpa panduan.

"Oleh karena itu, mulai dipikirkan bagaimana caranya agar event ini bisa berlangsung secara kontinu. Juga pemikiran tentang perlu tidaknya suatu lembaga yang memayunginya," ujar Heru.

Senada dengan Heru Hikayat, Gustaff Handiman Iskandar, memandang diperlukannya suatu lembaga demi membayangkan Pasar Seni ITB sebagai bagian dari mekanisme produksi budaya.

"Mekanisme produksi budaya itu semestinya melibatkan sejumlah pihak, institusi publik, dan masyarakat. Sampai saat ini, belum ada suatu lembaga yang bisa mengatur mekanisme produksi budaya, untuk menyokong nilai-nilai yang relevan. Pasar Seni ITB ke X ini semestinya menciptakan lembaga khusus. Tak hanya bagi Pasar Seni ITB, tetapi juga bagi strategi budaya Kota Bandung, sehingga Pasar Seni ITB tidak lagi membebani mahasiswa," katanya.

Jika Aat Suratin meminjam pesta seni dengan ilustrasi ritus pada masyarakat, maka Aji Purnasatmoko berharap bahwa di tengah dominasi pasar seperti yang disebut Heru Hikayat, hendaknya Pasar Seni ITB tidak terjebak menjadi kerumunan pasar, sebagaimana dikehendaki oleh kapitalisme. Alih-alih melulu menjadi event yang latah atau hanya menjadi peristiwa yang populis, Pasar Seni ITB hendaknya juga memiliki bayangan dan imajinasinya sendiri tentang pasar yang berbeda dari pemahaman kapitalisme yang senantiasa meniadakan individu.

**

DISKUSI pada akhirnya memang menawarkan harapan sekaligus tantangan pada pemkot Bandung, untuk tidak hanya menjadi fasilitator. Dihadapkan pada hal ini, Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda menguraikan sejumlah kebijakan birokrasi, termasuk dalam hal anggaran. Akan tetapi, satu hal yang penting untuk menarik investasi menurut dia, adalah adanya kepastian ihwal waktu pelaksanaan event tersebut. Termasuk dalam penyelenggaraan Pasar Seni ITB yang tak ada ketetapan kapan dan berapa tahun sekali diselenggarakan.

Oleh karena itu, Ayi Vivananda berharap, agar event ini pun bisa segera dipastikan menjadi agenda rutin, yang bisa memudahkan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk investor.

Tentang gagasan perlunya satu lembaga seperti yang disebut Heru Hikayat dan Gustaff, Herry Dim memandang tampaknya memang diperlukan satu kelembagaan di Bandung, yang bisa meminimalisasi jarak antara publik dan birokrasi. "Selalu ada resistensi yang kuat antara publik dan pemerintah. Nah, kelembagaan itu ada dalam ikatan tersebut, " ujarnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Okttober 2010

No comments: