DALAM bidang karawitan Sunda, Nano S. tidak hanya dikenal sebagai kreator tetapi juga sebagai pakar. Berkaitan dengan ilmu karawitan yang dikuasainya, tulisan Nano tidak hanya bisa kita baca dalam majalah Sunda Manglé, Cupumanik, dan surat kabar Pikiran Rakyat, tetapi juga dalam sejumlah buku yang ditulisnya, termasuk buku Tanah Sunda, Tina Sajak Kana Lagu yang diterbitkan oleh PT Kiblat Buku Utama (2010). Buku tersebut merupakan catatan proses kreatif bagaimana upaya Nano S. menafsir sejumlah puisi yang ditulis penyair Ajip Rosidi ke dalam bentuk lagu yang daya kreasinya bertitik pijak pada kawih dan tembang sunda cianjuran yang dikreasi secara baru.
Pola garapan semacam itu dalam gubahan yang berbeda sesungguhnya sudah dilakukan oleh Nano S. ketika ia meluncurkan album Katem (Kawih Tembang) Dalem Kaum (2000). Atas hasil jerih payahnya itu, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menilai Nano S. memberikan warna baru dalam perkembangan dan pertumbuhan karawitan Sunda. Ia berhak menerima Anugerah Akademi Jakarta (2004).
Sebagai seniman, Nano tidak hanya dikenal sebagai kreator karawitan Sunda tetapi juga dikenal sebagai penyair sekaligus penulis cerita pendek yang menarik perhatian publik sastra Sunda. Tema yang diangkat dalam cerita pendek yang ditulisnya itu sebagian besar tentang kehidupan para nayaga (awak panggung seni pertunjukan Sunda, termasuk para pangrawit di dalamnya). Sejumlah cerpen yang bertema demikian itu dikumpulkan oleh Nano S. dalam buku Nu Baralik Manggung (Yang Pulang Sehabis Menggelar Pertunjukan). Buku tersebut diterbitkan oleh Rachmat Cijulang (2002).
Mencipta lagu dengan bahan dasar puisi bagi Nano S. bukan perkara gampang, apa lagi bila puisi yang dikreasinya itu adalah puisi karya Ajip Rosidi yang boleh dibilang kering dengan guru lagu (irama). Sebagai contoh, puisi Tanah Sunda yang ditulis Ajip Rosidi pada 1956, sudah sejak lama menarik perhatian Nano S. Puisi tersebut selesai digarap jadi lagu oleh Nano pada 2 Agustus 2005, dan baru dipublikasikan kepada masyarakat dengan sejumlah lagu lainnya dalam bentuk compact disc pada 2010.
"Menjelang rekaman, entah berapa kali saya merevisi notasi lagu yang saya buat. Paling tidak, lebih dari enam tahun saya berproses kreatif untuk melahirkan lagu serius. Kalau lagu pop, hanya memerlukan waktu satu hingga tiga jam. Setelah itu latihan dan masuk dapur rekaman," ujar Nano S., sebelum pergi ke Belanda. Saya bertemu dengannya sebab ia terpilih sebagai salah seorang seniman Kota Bandung yang masuk dalam buku Ieu Bandung Lur! 200 Ikon Bandung, yang diterbitkan Pikiran Rakyat Bandung.
Bahwa Nano S. dikenal sebagai seniman serius dalam menciptakan karya musik serius, muncul sejak 1979 ketika ia menggelar karya kreatifnya yang diberi judul Komposisi Sangkuriang. Karya tersebut digelar pada Festival Komponis Muda Indonesia I yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Sejak itulah Nano mendapat perhatian yang serius dari berbagai kalangan musisi, termasuk para kritikus seni.
"Karya-karya Kang Nano itu, edan. Sayangnya, karya-karyanya yang demikian itu tidak diedarkan di tanah airnya. Saya ketika berhadapan dengan kekayaan musik yang datangnya dari khazanah seni tradisional, banyak menyerap ilmu dari Nano S. seperti mengapresiasi tabuhan musik ajeng, yang saya yakin banyak orang Sunda yang tidak tahu," ujar musikus Harry Roesli, pada 1999 lalu.
Karya musik serius garapan Nano S. itu adalah Galura (1986) dan Jemplang Polansky (1988). Keduanya beredar di Amerika Serikat dan terkumpul dalam album Asmat Dream yang diproduksi Lyricord Discs Inc., New York, pada 1989. Di dalam album tersebut, ada juga karya musik garapan Harry Roesli dan seniman musik lainnya dari Indonesia.
Hubungan Nano dengan Rendra juga cukup dekat, dan Nano pernah dipercaya Rendra untuk menggarap musik teater untuk pertunjukan teater Oedipus Rex pada 1987. Dalam karya tersebut, Nano melahirkan sejumlah komposisi, yang tidak Jawa dan juga tidak Sunda, tetapi alat-alat karawitan yang digunakannya bersumber dari alat-alat musik karawitan Sunda dan Jawa. Rendra puas atas hasilnya.
"Nano itu permata dalam karawitan Sunda. Ia sangat jenius dalam menciptakan komposisi," ujar Rendra, yang ketika itu masih tinggal di Jalan Mangga, Depok I, Depok Jawa Barat.
Dari Nano S. penulis menyerap banyak ilmu pengetahuan seni tradisional, termasuk alasan-alasan kenapa pada akhirnya menciptakan lagu pop Sunda yang meledak di pasaran seperti, "Kalangkang" dan "Cinta Ketok Magic". "Banyak orang menganggap basa Sunda tidak cocok untuk lagu pop. Saya membuktikannya dengan karya. Jadi bukan hanya lagu-lagu serius seperti yang terdapat dalam tembang Sunda cianjuran," tutur Nano.
Kini, tiga seniman itu, telah tiada. Ketiganya telah memberikan warna baru bagi perkembangan dan pertumbuhan seni Indonesia modern dalam bidangnya masing-masing. "Kita benar-benar kehilangan tokoh yang sangat ahli dalam bidangnya. Sementara dari kalangan generasi muda boleh dibilang sangat jarang yang muncul, dan punya potensi sebagaimana kita lihat pada Nano S.," tutur Bambang Arayana Sambas, yang pada Kamis dini hari (30/9) ikut menyalatkan jenazah Nano S. di rumah duka di Gang Ahmad, Cigereleng, Jln. Mohamad Toha, Bandung. Semoga Allah SWT menerima iman Islamnya, dan mengampuni segala dosa almarhum. Amin allahuma amin. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Okttober 2010
No comments:
Post a Comment