-- Ajip Rosidi
HARI Kamis, 23 September 2010, sehabis menghadiri acara penyerahan "Hadiah Hardjapamekas" yang diberikan oleh Yayasan Rancage kepada guru-guru bahasa Sunda di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, saya menemui Nano S. di rumahnya. Pertama untuk bersilaturahmi Lebaran karena pada waktu Lebaran Nano berada di negeri Belanda. Dia baru kembali ke tanah air pada 21 September 2010. Kedua, saya meminta dia mengantar ke tempat-tempat yang tanahnya akan dijual, karena saya memerlukan tempat untuk Perpustakaan Pusat Studi Sunda. Mereka yang hendak mendalami kebudayaan Jawa dengan mudah pergi ke perspustakaan di Yogyakarta dan di Solo. Akan tetapi, mereka yang hendak mendalami kebudayaan Sunda tidak tahu harus pergi ke mana sebab tak ada perpustakaan yang menyediakan bahan-bahan yang dapat dijadikan sumber.
Oleh karena itu, saya dengan Prof. Dr. Edi Ekadjati bersepakat ketika mendirikan Yayasan Pusat Studi Sunda (2002) sebagai realisasi dari salah satu rekomendasi KIBS (Konferensi Internasional Budaya Sunda) agar yayasan mendirikan perpustakaan yang akan memenuhi kebutuhan mereka yang hendak mendalami atau meneliti kebudayaan Sunda.
Nano menunjukkan beberapa tempat yang dapat dipertimbangkan untuk perpustakaan. Saya bilang saya akan terus pergi ke Jakarta tetapi pada 25 September akan datang lagi ke Bandung dengan Ir. Budi Sukada, arsitek yang saya minta membuatkan rencana gedung perpustakaan. Nano minta maaf bahwa dia hari Sabtu akan ke Jakarta menjenguk kakaknya. Akan tetapi waktu Sabtu, 25 September pagi saya kembali ke Bandung, sebelum keluar dari jalan tol saya diberitahu bahwa Nano bukannya ke Jakarta, melainkan dirawat di rumah sakit karena malamnya terserang stroke. Saya perlukan menengoknya di rumah sakit, tetapi dia masih di kamar ICU dan tidak boleh ditengok. Dengan demikian, ingatan saya terhadap Nano masihlah Nano yang sehat walafiat, dan tidak terpengaruh oleh gambaran orang terbaring tak berdaya karena terserang stroke.
Perlu disebutkan bahwa Nano menjadi salah seorang pendiri dan aktivis Yayasan Pusat Studi Sunda (PSS) dan selama beberapa tahun atas nama Yayasan PSS secara sukarela menyelenggarakan acara "Bale Rancage" di RRI Bandung setiap Selasa malam.
Nano juga menyampaikan kekesalan hatinya, karena dalam pengalamannya ke luar negeri dia melihat dan mengalami adanya sikap pemerintah atau pejabat pemerintah Repulik Indonesia yang menganaktirikan kesenian Sunda. Kalau ada rombongan kesenian Indonesia dikirimkan ke luar negeri, kesenian Sunda hanya dijadikan embel-embel. Kalau di perwakilan luar negeri ada gamelan, niscaya gamelan Jawa atau Bali. Tak ada yang mempunyai gamelan Sunda. Hanya di satu KBRI Nano diberitahu ada gamelan degung Sunda, tetapi waktu dia hendak meminjamnya guna dipakai dalam pertunjukan, ternyata gamelan degung itu disimpan di gudang dan mutunya rendah.
Pada waktu mengikuti KIAS di Amerika Serikat, Nano memprotes panitia karena hanya ada dua nayaga Sunda, sedangkan nayaga orang Jawa dan Bali lengkap. Selain itu, gamelan Sunda ditempatkan di bawah, sedangkan gamelan Jawa dan Bali di atas. Terjadilah perdebatan seru. Nano sendirian harus menghadapi orang-orang Jawa dan panitia (yang kebanyakan orang Jawa juga). Tidak ada yang membantu Nano dalam meyakinkan pentingnya perwakilan kesenian Sunda juga harus representatif dan gamelan Sunda tidaklah patut ditempatkan di tempat yang lebih rendah daripada tempat gamelan Jawa dan Bali. Saya menganjurkan kepada Nano agar menuliskan pengalaman-pengalamannya di luar negeri itu agar diketahui secara luas. Dia menyanggupinya, dan hendak disatukan dengan karangan-karangannya yang sudah disampaikan kepada penerbit Kiblat. Nano banyak menulis karangan, bukan hanya tentang kesenian atau yang bertalian dengan karawitan, melainkan juga cerita pendek dan sajak. Bahkan sudah terbit kumpulan cerita pendeknya dalam bahasa Sunda, Nu Baralik Manggung (2003).
Hal itu menunjukkan bahwa Nano S. bukan semata-mata pencipta lagu-lagu Sunda yang popularitasnya melintasi batas kasundaan, melainkan juga ahli karawitan yang menguasai segi-segi teoritis karawitan dan kesenian. Ada bukunya tentang karawitan Sunda berjudul Pengetahuan Karawitan Sunda (1982). Sedangkan album lagu yang dia ciptakan menurut yang dicatat dalam buku Sang Komponis, Nano S. 60 Tahun yang disusun oleh Hawe Setiawan (2004), jumlahnya lebih dari 120 judul. Sementara lagu yang dia ciptakan terdiri dari berbagai kategori: Pop Sunda (ada 193 judul termasuk "Kalangkang" yang fenomenal), instrumentalia (29 lagu), tradisional (326 lagu), di samping itu ada yang diproduksi oleh Gentra Madya (ada 34 judul). Padahal masih ada sekitar 200 lagu yang belum dipublikasikan melalui kaset rekaman atau CD. Album CD-nya yang terakhir adalah "Tanah Sunda" (2010) yang berdasarkan sajak-sajak bahasa Sunda saya yang saya tulis 1950-an-1960-an.
Karya-karya Nano tidak hanya diproduksi sebagai album di dalam negeri. Ada beberapa album berupa kaset dan CD yang diproduksi di negeri-negeri lain, antaranya "The Music of Sunda" (produksi Victor Musical Industry, Tokyo, 1976). Salah sebuah nomor dalam Serial World Music Library (serial no. 112), yang diproduksi oleh Seven Seas dengan produser Hoshikawa Kyoji adalah "Nano S., the Great Master of Sunda Music" (1994). Bersama dengan komponis Jepang Yabuki Makoto, Nano mencipta "The Story of Moonlight Night" yang diproduksi oleh The Japan Folklore Association (1999), Di Amerika, Jody Diamond dan Larry Polansky sebagai produser "Asmat Dream" jilid I menyusun musik eksperimental yang berdasarkan lagu gamelan ciptaan Nano S. dkk. (diproduksi oleh Lyrichord Disc Inc, New York, 1989).
Dari jumlah ciptaannya saja kita dapat menarik kesimpulan bahwa Nano seniman yang sangat produktif. Yang menarik ternyata lagu-kagu Nano itu ada yang daria, umumnya yang berupa karawitan tradisional, dan ada yang bersifat populer berupa lagu-lagu pop Sunda. Dari pengakuannya, Nano sadar bahwa dia menciptakan lagu-lagu pop Sunda itu untuk mendapat uang. Dengan uang yang diperolehnya dari hasil lagu-lagu pop itu, dia menciptakan dan memproduksi sendiri (melalui Gentra Madya) lagu-lagu daria, yang dia tahu tak banyak peminatnya sehingga secara komersial tidak dapat diharapkan sukses, namun dia anggap karena lagu-lagu itu lebih memuaskan hatinya sebagai seniman dan dia sadari akan merupakan sumbangannya kepada perkembangan kesenian dan budaya Sunda.
Khusus mengenai lagu-lagu dalam "Tanah Sunda" ada hal yang menarik. Setelah menciptakan lagu-lagu itu, Nano menuliskan pengalamannya selama menciptakannya. Waktu lagu-lagu itu diproduksi, catatan-catatan tentang pengalamannya menciptanya itu dibukukan, sehingga merupakan catatan tentang proses kreatif seorang komponis ketika mencptakan lagu berdasarkan sajak orang lain. Saya sendiri ketika membaca catatan-catatan Nano itu menjadi kagum dan terheran-heran karena tidak mengira sajak-sajak yang saya tulis kira-kira setengah abad yang lalu itu ternyata menjadi tantangan yang digeluti seorang komponis dengan mengerahkan segenap dayacipta dan pengetahuannya tentang teori karawitan dan komposisi untuk menciptakan lagu yang merupakan interpretasinya terhadap sajak itu.
Meninggalnya Nano yang sangat mendadak merupakan kehilangan besar bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan Sunda. Dari Nano masih diharapkan bukan saja cipataan-ciptaan yang lebih bermutu, melainkan juga usahanya dalam membangkitkan dan mengembangkan perhatian masarakat Sunda terhadap kesenian warisan nenek-moyangnya dan perhatian masarakat Indonesia umumnya akan kehadiran kesenian Sunda. Nano juga besar jasanya dalam membangkitkan masyarakat internasional di luar negeri akan kesenian Sunda.
Dalam percakapannya yang terakhir dengan saya, dia mengatakan bahwa tahun depan (2011) dia sudah diundang oleh beberapa universitas di Amerika untuk tinggal di sana selain untuk mengajar juga mendapat kesempatan untuk mencipta karya baru seperti pernah dia lakukan ketika menciptakan "Warna" di Universitas Santa Cruz. Sepanjang tahu saya, tidak ada seniman Sunda lain yang pernah mendapat undangan seperti itu.
Atas usaha atau bantuan Nano sekarang ada berbagai kumpulan kesenian Sunda, antara lain kumpulan penggemar degung di Jepang, Amerika dan beberapa negara lain, yang sengaja membeli gamelan degung dan mengadakan latihan dan pertunjukan pada saat-saat tertentu, sehingga terbentuk lingkungan penggemar degung atau kesenian Sunda lainnya.
Apa yang telah dilakukan oleh Nano S. dalam membangkitkan perhatian dan apresiasi orang-orang di luar negeri terhadap kesenian Sunda khususnya, kesenian Indonesia umumnya, tidak pernah dapat dilakukan oleh atase-atase kebudayaan kita di luar negeri selama lebih dari setengah abad, walaupun mereka mendapat anggaran dari pemerintah.**
* Ajip Rosidi, budayawan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Okttober 2010
1 comment:
salut
Post a Comment