Saturday, October 02, 2010

Anatomi Amuk Massa

-- Saifur Rohman

DALAM dua minggu terakhir bulan September 2010, tiga kerusuhan terjadi.

Pertama, kerusuhan dan penjarahan di Pati, Jawa Tengah, yang menghancurkan rumah dan fasilitas umum, Kamis (16/9). Kedua, kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur, yang mengakibatkan lima orang tewas dan ribuan warga mengungsi (26-29/9). Ketiga, kerusuhan di Jakarta, Rabu (29/9), yang mengakibatkan empat orang tewas.

Pemerintah menyelesaikan tiga kerusuhan itu dengan cara yang seragam, mempertemukan dua kelompok yang bertikai dan menandatangani perjanjian damai. Jika kasus-kasus itu berubah menjadi fenomena, harus berapa pertemuan dan penandatanganan dari tiap kelompok berbeda di tengah-tengah masyarakat yang plural ini? Perubahan apakah yang sedang terjadi di tengah-tengah proyek pembangunan manusia Indonesia?

Tentu tidak ada sebab mendasar maupun cara yang sama untuk menyelesaikan semua hal. Tetapi kita memerlukan penjelasan mengapa kekerasan, penjarahan, dan pembunuhan itu kini sering terjadi, berlangsung dalam waktu yang berdekatan, dan memiliki sebab-sebab yang hampir seragam. Kita perlu mengidentifikasi latar sosial yang melahirkannya.

Dilihat lebih dekat, kasus itu memiliki alur simetris. Diawali dengan konflik dua pribadi, kemudian meluas menjadi konflik dua kelompok, dan berakhir dengan perusakan dan pembunuhan skala luas.

Kasus kerusuhan terjadi di Pati, Sabtu (18/9), berawal dari pentas dangdut. Akhirnya pemuda Dukuh Wotan menyerbu Dukuh Bombong. Mereka membawa senjata tajam, senapan, dan bom. Rumah- rumah dirusak, dibakar, harta benda dijarah, dan sejumlah warga mengalami luka serius. Seharusnya kerusuhan tidak terjadi bilamana tidak ada perkelahian dua pemuda dari dua kampung yang berbeda, dalam sebuah pentas dangdut, Kamis (16/9), untuk menyambut Syawalan. Namun, kemudian tiap-tiap pemuda mengidentifikasi konfliknya sebagai konflik kelompok.

Konflik berdarah di Tarakan, Kalimantan Timur, dipicu oleh perkelahian dari dua kelompok yang mengakibatkan seorang tewas, Minggu (26/9). Sehari kemudian konflik itu berlanjut dengan penggerebekan Markas Kepolisian Resor Tarakan yang menahan tersangka. Polisi berhasil menghalau, tetapi itu baru awal karena hari Selasa terjadi bentrokan di tengah keramaian, yakni di simpang empat Grand Tarakan Mall. Insiden itu mengakibatkan empat korban tewas.

Kerusuhan di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta juga berawal dari bentrok individu di sebuah kelab malam. Rabu (29/9), sekelompok massa yang naik angkutan umum mulai melakukan kekerasan di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera, pukul 13.00. Mereka menggunakan senjata tajam dan senjata api. Kelompok yang diserang kemudian mengejar sebagai aksi pembalasan. Kejadian itu dipicu oleh kasus keributan di kelab malam Blowfish, Jakarta, 4 April 2010. Hari itu sidang yang ketiga kali. Empat orang telah tewas.

Mengacaukan nalar

Kejadian-kejadian itu jelas menuntut penjelasan teoretis. Dari kajian psikologi sosial mazhab Baron dan Byrne (2009) akan didapat penjelasan, kerusuhan yang berawal dari perkelahian dua individu itu didukung oleh adanya stereotip oleh masing-masing kelompok.

Dua orang dianggap sebagai representasi dari dua kelompok. Mereka mengacaukan nalar antara konflik pribadi dan relevansinya dengan asumsi, kecurigaan, serta kebencian-kebencian kolektif yang tanpa dasar.

Terapi psikologi berdasarkan panduan Gerald Corey (1995) memberikan rekomendasi tentang pentingnya pemanfaatan terapi kognitif dan realitas. Hal itu setidaknya telah dilakukan oleh para aparat yang mengundang dua belah pihak untuk menandatangani nota kesepahaman. Di permukaan tampaknya kerusuhan memang reda, tetapi masyarakat masih menutup pintu dan masing-masing anggota kelompok tidak bisa melepaskan kecurigaan begitu saja.

Kajian sosiologi akan menghasilkan simpulan tentang adanya kerumunan massa yang berpotensi menimbulkan anomi dan kekerasan. Berdasarkan teori Emile Durkheim, kita mendapatkan petunjuk bahwa kasus ini merupakan pelampiasan-pelampiasan hasrat individu untuk merusak dalam situasi anomi. Itu mengisyaratkan retaknya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.

Tiga faktor

Ilmu positif memberikan analisis empiris. Pada kenyataannya, ada dimensi non-empiris yang turut menopang terjadinya kekerasan itu. Berdasarkan refleksi filsafat sosial, amuk massa itu terjadi karena tiga faktor, yakni kesalahan pemahaman tentang konflik, kehendak melukai yang lain, dan tindakan kekerasan.

Pada tingkat pemahaman konflik, sistem sosial beserta komponen-komponen pendukungnya memiliki pemahaman yang keliru tentang pemecahan konflik dalam medan sosial.

Bagi kita, sekarang konflik adalah penghancuran. Sistem sosial mewadahi gagasan ini. Contoh, organisasi massa yang mengatasnamakan agama beroperasi dengan cara anarki di tengah-tengah masyarakat. Ketika pemerintah tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku dan kelompok tempat berlindung, pemerintah dapat dianggap turut serta di dalam kekerasan itu.

Pemerintah lalai melindungi warga negara dari kekerasan sistemis di tengah-tengah masyarakat. Contoh lain, atribut-atribut militer yang dijadikan simbol-simbol perilaku sosial memberikan ilustrasi tentang pentingnya kekuatan fisik untuk menyelesaikan konflik. Praktik-praktik politik yang korup, produk-produk putusan hukum yang timpang, serta orientasi pada jabatan dan kekayaan adalah bagian dari penghapusan nilai-nilai spiritual. Manusia terbelenggu dalam dimensi fisik.

Refleksi teoretis dan faktual itu memberikan rekomendasi tentang pentingnya memahami kekerasan itu sebagai fenomena luaran. Ada dimensi spiritual hilang dari proyek pembangunan manusia Indonesia. Hilangnya dimensi itu menjadi dasar mengeksekusi niat untuk melukai fisik orang lain dari waktu ke waktu.

Warisan primitif manusia mengungkap kenyataan bahwa kita sesungguhnya menyukai kekerasan. Itulah kenapa kekerasan yang terjadi berurutan itu berada dalam satu alur: berawal dari bentrok individual menuju amuk massa. Pemerintah kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui komunikasi, empati, dan permaafan.

Saifur Rohman
, Dosen Filsafat di Universitas Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Oktober 2010

No comments: