-- Ahmad Khotib
TIDAK semua wajah orang tua siswa semringah tatkala memasuki tahun ajaran baru. Bukan karena anak mereka akan berganti sekolah dan pergaulan baru yang dikhawatirkan akan berpengaruh jelek pada mentalnya, melainkan tinggi melambungnya biaya pendidikan yang mesti mereka tanggung. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam guna membayar beragam nama pembiayaan (meskipun ujungnya sama: uang). Mulai biaya pendaftaran, uang gedung, sumbangan sukarela, seragam, peralatan sekolah, dan buku-buku pelajaran.
Bagi orang tua berdompet tebal, barangkali tidak akan terlalu pusing. Tapi bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah -- dan mayoritas rakyat Indonesia berada di level ini -- mahalnya biaya pendidikan akan memunculkan dua perilaku yang sama-sama ekstrem: menjual tanah tempat mereka bertani, meminjam uang ke bank dengan jaminan tanah atau rumah, terjebak pada lingkaran rentenir; atau menyerah pada sesuatu yang mereka anggap nasib. Kedua jalan ini sama-sama menimbulkan efek ganda, terutama jalan kedua: menyerah. Anak mereka akan putus sekolah.
Mahalnya biaya pendidikan di tengah anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN senilai Rp200 triliun ini diakui oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh saat dialog dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEMSI) di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Kantong terbesar anak putus sekolah adalah anak-anak yang tinggal di daerah terpencil. World Vision, dalam penelitiannya melansir data: satu juta lebih anak rentang usia 7�15 tahun (SD dan SMP) putus sekolah tiap tahunnya.
Sedangkan Komnas Perlindungan Anak menemukan data yang lebih tinggi. Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyatakan kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48%. Adapun di tingkat SD tercatat 23%. Sedangkan persentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29%. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA ini, jumlahnya mencapai 77%. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta anak. Jumlah yang fantastis sekaligus mengerikan!
Di titik ini, kita menemukan sejumlah fenomena yang paradoks di negeri kita: tingginya harapan pada generasi muda bangsa sebagai pelanjut perjuangan, tetapi saat mereka masih dalam usia labil telah dibunuh mimpi dan cita-citanya. Anggaran pendidikan merupakan pos anggaran paling besar dibandingkan pos anggaran lain, Rp 200 triliun, tetapi jumlah anak putus sekolah masih sangat besar. Pertumbuhan ekonomi diklaim terus tumbuh sehat sekaligus kuat menghadapi gempuran krisis global, tetapi untuk belajar saja, rakyat harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
Tampaknya, terlalu tergesa-gesa bila kita menyimpulkan hanya orang kayalah yang pantas terdidik di negeri ini. Namun, bila kenyataan memang berbicara demikian, apa yang bisa kita apologikan lagi apabila ada orang yang hendak mengambil kesimpulan seperti itu? Penolakan pada kesimpulan tersebut harus berupa bukti nyata, tak sekadar wacana juga apologi.
Kita masih ingat, pada 2006 muncul film yang diilhami kisah nyata, yaitu Denias, Senandung Di Atas Awan. Film besutan sutradara John de Rantau ini merupakan potret buram dunia pendidikan kita, utamanya pada sektor pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan yang baik, berkualitas, murah, dan antidiskriminasi. Film ini menjadi semacam pukulan telak pada dunia pendidikan bangsa ini.
Sejatinya, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yang ditetapkan melalui rapat paripurna MPR ke-12 dan kemudian dijabarkan melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 menyadari akan problem ini. Sebagaimana termaktub dalam UU No. 25 itu, ada empat masalah utama pendidikan, yaitu rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, rendahnya kualitas dan rerlevansi pendidikan, lemahnya manajemen pendidikan, dan belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis.
Akan tetapi, sejauh mana harapan rakyat telah terwujud? Setidaknya, sejumlah data yang telah penulis dedahkan di atas menjadi jawaban akan kurang terpenuhinya harapan rakyat. Kini, sudah saatnya para pemimpin negeri ini tidak hanya berhenti pada basa-basi dan retorika, perlu bukti dalam kebijakan nyata. Usia bangsa kita telah tua, 65 tahun. Jika masih sering berbasa-basi, kapan pembangunan manusia seutuhnya yang didasarkan pada kejujuran akan dimulai?
Sebenarnya, bangsa kita bukan bangsa yang tak pernah sukses mengelola pendidikan. UNESCO, organisasi PBB untuk bidang pendidikan, pernah memberikan penghargaan Medali Emas Avicenna kepada Indonesia atas keberhasilannya dalam penyelenggaraan pendidikan dasar. Dr. Makaminan Makagiansar, Dirjen UNESCO yang menyerahkan langsung kepada Presiden Soeharto (H.A.R. Tilaar, 1995: 405). Hanya, yang perlu menjadi komitmen adalah agar kesuksesan yang pernah kita raih itu terus kita tingkatkan di masa-masa mendatang.
Fenomena yang sering ditemukan pada setiap tahun ajaran baru adalah besarnya upaya orang tua siswa untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit, salah satunya ke rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Padahal, keinginan yang tinggi ini mesti didukung oleh kemampuan keuangan yang tinggi pula. Akhirnya, jadilah RSBI sebagai mimpi buruk bagi mereka.
Dari sudut pandang ini, maka semakin banyaknya RSBI di daerah-daerah merupakan kata lain dari penyingkiran orang miskin dari hak mereka dalam memperoleh pendidikan yang baik, berkualitas, murah, dan antidiskriminasi. Mereka disilakan menjadi penonton di tanah kelahiran sendiri. Dalam kondisi seperti ini, masih adakah yang mau pada sekolah mahal? n
Ahmad Khotib, Peneliti masalah pendidikan pada The Pencil Connection, Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Selasa, 3 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment