Jakarta, Kompas - Pengenalan kekayaan budaya tradisional tidak sebatas mengirim misi kebudayaan ke luar negeri. Lebih dari itu, promosi budaya melalui multimedia merupakan langkah efektif untuk memperkenalkan kekayaan seni budaya ke dunia internasional.
Guru besar hak kekayaan intelektual (HKI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga Ketua Akademi HKI Indonesia, Agus Sardjono, mengatakan hal itu di Jakarta, Selasa (1/9).
Menurut Agus, kepemilikan basis data mengenai seni budaya tradisional diperlukan untuk menghindarkan klaim asing. Namun, strategi pengenalan budaya lebih dari persoalan basis data.
”Harus ada strategi dan langkah nyata supaya seni budaya tradisional itu tidak mandek, tidak kehilangan audiens, dikenal dunia, dan tidak ketinggalan zaman,” kata Agus.
Ia mencontohkan, terkait seni budaya tradisional, Indonesia patut berterima kasih kepada Amerika Serikat yang mengenalkan gamelan kepada khalayak dunia.
”Yang dikhawatirkan, Indonesia hanya bisa memprotes klaim asing, tetapi tidak punya strategi dan langkah nyata pengembangan seni budaya,” ujarnya.
Ditargetkan awal 2011
Hingga saat ini upaya perlindungan terhadap hak cipta pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional terus diupayakan. Melalui forum Genetic Resources Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF) tahun 2009 di Geneva, Swiss, ditargetkan perlindungan hukum internasional itu dicapai pada tahun 2011.
Forum GRTKF ini bertujuan mencapai kompromi perlindungan HKI berupa hak cipta atas pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional (folklor) yang berkembang di setiap negara.
”Ada risiko traktat yang dihasilkan hanya disepakati oleh negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, tanpa kesepakatan negara-negara Barat,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Havas Oegroseno.
Negara-negara berkembang di Asia dan Afrika yang memiliki banyak pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional meminta supaya pemanfaatannya oleh negara-negara lain, termasuk negara-negara maju, memerhatikan aturan main hak cipta. Namun, negara maju memiliki pandangan berbeda. Mereka berpandangan, pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional sebagai karya komunal yang tidak bisa diindividualisasikan dan memiliki hak cipta.
Negara-negara berkembang di Asia dan Afrika bersepakat, pada awal tahun 2011 mereka akan memutuskan traktat internasional untuk menghargai pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional sebagai bagian kekayaan intelektual yang harus memiliki hak cipta.
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Andy Noorsaman Soomeng mengatakan, selama belum ada traktat internasional untuk perlindungan pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional, kesalahan seperti yang dilakukan Malaysia belum ada sanksi hukumnya. (GSA/NAW)
Sumber: Kompas, Rabu, 2 September 2009
No comments:
Post a Comment