-- Achmad Zen Umar Purba*
INDONESIA sungguh kaya. Kekayaannya tidak hanya fisik berupa 17.000 pulau yang terbentang luas, tetapi juga nonfisik, termasuk kekayaan budaya tradisional yang mungkin memiliki keunggulan ekonomi.
Kedua kekayaan itu—fisik dan nonfisik—belakangan marak dibicarakan karena tiba-tiba kita seperti kecolongan. Yang pertama, karena sejumlah pulau sudah ”dibeli” pihak asing. Sementara yang kedua karena munculnya tari pendet dalam siaran TV promosi pariwisata Malaysia. Bila ditelaah lebih lanjut, kedua hal itu terkait pengelolaan aset nasional yang perlu diperkuat.
Ada lima catatan untuk aset nonfisik. Pertama, tari adalah karya seni individual yang tunduk pada hak cipta, bukan paten seperti banyak diwartakan. Jika pencipta meninggal, menurut UU Hak Cipta, hak itu akan jatuh kepada ahli waris untuk masa 50 tahun. Setelah itu, karya tersebut masuk wilayah publik (public domain). Untuk karya seni yang tidak diketahui penciptanya, hak cipta dipegang negara.
Hak cipta tak mensyaratkan pendaftaran untuk bisa dilindungi. Jadi berbeda dari paten, merek, dan lainnya. Pendaftaran karya cipta dibutuhkan untuk kemudahan pembuktian. Jadi, jika pencipta, atau ahli waris masih ada, dialah yang lebih dulu harus maju, bila ada ”masalah”.
Minim penonton
Kedua, cepat membangkitkan solidaritas nasional. Lepas dari masalah pemegang hak cipta, komunitas setempat sebenarnya sudah menganggap tari pendet sebagai milik mereka bersama. Ini adalah refleksi dari konsep hak kekayaan intelektual (HKI), yang meski merupakan hak privat, tetapi melayani publik. Namun, ramai-ramai tari pendet tampaknya lebih disebabkan terpautnya unsur asing. Mungkin karena itu pula Presiden SBY sendiri berharap agar pihak ”Malaysia bisa menjaga sensitivitas rakyat Indonesia” (Kompas, 26 Agustus 2009).
Ketiga, betulkah kita mencintai seni budaya tradisional sendiri? Menarik saat Menbudpar menyayangkan rendahnya apresiasi kita terhadap budaya tradisional sendiri. Pertunjukan wayang, contohnya, minim penonton. Sebaliknya, menurut kalangan seniman, justru pemerintah kurang mendukung pelaksanaan apresiasi itu. Yang jelas, apresiasi terhadap budaya tradisional adalah langkah mustahak dalam pengelolaan aset. Seyogianya budaya tradisional tidak hanya diperhatikan jika sudah atau nyaris dicuri orang.
Keempat, pengelolaan aset nasional perlu didokumentasi agar data terkumpul dan terpelihara. Jadi, tepat pernyataan beberapa daerah untuk terus mendaftarkan karya budaya di wilayahnya, termasuk karya yang jelas penciptanya dan belum jatuh ke wilayah publik. Untuk ini perlu dibangun basis data. Sebetulnya pemerintah sendiri yang seyogianya menyegerakan finalisasi RUU Perlindungan Pengetahuan Tradisional (PT) dan Pemanfaatan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT). Salah satu pasal RUU, misalnya, mewajibkan pemerintah melakukan ”pendataan dan pendokumentasian” PT dan EBT. UU ini kelak merupakan basis pengelolaan aset nonfisik. Jangan lupa, sesuai judul, UU ini juga mengakomodasi aspek komersial pengelolaan PT dan EBT.
Dokumentasi memang bukan perlindungan, tetapi merupakan dasar pelaksanaan sistem HKI umumnya. Dalam kasus paten sebuah produk perusahaan kosmetik Jepang beberapa tahun lalu, kantor paten negara membatalkan beberapa paten yang sudah dikeluarkan karena diberi tahu, invensi yang diberinya paten itu merupakan hal biasa dipraktikkan di Indonesia; jadi tak ada unsur baru. Kantor paten Jepang mengatakan, selama ini mereka tidak memiliki informasi tentang praktik yang berlangsung di Indonesia. Ini mirip beberapa kasus di negara lain, misalnya beras basmati-India, beras jasmine-Thailand, nata de coco-Filipina, dan tanaman maca-Peru. Semua berujung pada kebutuhan adanya basis data. Negara-negara seperti India, China, dan Brasil sudah maju dengan basis data.
WIPO tertatih-tatih
Kelima, dimensi internasional. Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, pendaftaran dalam negeri hanya berlaku secara nasional. Ini betul dan itulah sifat hukum. Sayang, di luar sistem HKI, belum ada kesepakatan internasional untuk pendaftaran PT dan EBT. Namun, WIPO, Organisasi PBB tentang HKI, dengan tertatih-tatih terus mengupayakan lahirnya rezim internasional itu, tetapi tampaknya masih jauh panggang dari api.
Itu sebabnya pembuatan UU PT dan EBT, seperti diuraikan dalam catatan keempat, menjadi amat penting. Langkah ini bisa dianggap sebagai sikap unilateral, tetapi lazim dalam pergaulan internasional. Konsep landas kontinen lahir dari proklamasi Presiden Truman, 1945. Konsep negara kepulauan, yang menghasilkan doktrin tanah air yang kini kita nikmati, muncul dari Deklarasi Djuanda 1957, menjadi Perppu 1960, lalu menghasilkan Konvensi Hukum Laut 1982. Tiada lain, upaya unilateral, seperti pembuatan UU Perlindungan PT dan Pemanfaatan EBT harus dituntaskan. Diharapkan, negara-negara lain akan mengikuti sehingga menjadi hukum kebiasaan internasional.
Semoga pengelolaan aset yang baik akan membentengi kita dari kemungkinan pengacauan dari luar dan tidak mengganggu hubungan pertetanggaan.
* Achmad Zen Umar Purba, Dosen Program Pascasarjana FHUI; Anggota Pendiri Yayasan ABNR
Sumber: Kompas, Selasa, 1 September 2009
No comments:
Post a Comment