Friday, September 04, 2009

"Quo Vadis" Pendidikan?

-- Joseph Henricus Gunawan*

HINGGA Februari 2009, tercatat 626.600 penganggur intelektual lulusan universitas dan 486.400 lulusan diploma dari 9,26 juta penganggur berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Bahkan, lulusan baru yang jumlahnya sekitar 2 juta, akan memasuki dunia angkatan kerja.

Menurut data dari BPS, Februari 2005, jumlah penganggur intelektual sebanyak 385.400 orang. Pada Agustus 2006, jumlah penganggur intelektual ini 673.628 orang atau 6,16% dari jumlah penganggur. Pada Februari 2007 menjadi 409.900 orang dan pada Februari 2008 naik menjadi 626.200.

Melonjaknya pengangguran intelektual mencerminkan ketidakefektifan negara dalam menyelenggarakan dan menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja terdidik. Bangsa Indonesia masih berjuang untuk mencapai hidup layak sejahtera lahir dan batin dengan lonjakan jumlah penganggur intelektual dan terbatasnya lapangan kerja. Seharusnya, hidup layak sejahtera lahir dan batin merupakan hak seluruh rakyat Indonesia, seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

Pemerintah harus mendorong majunya lapangan kerja yang bermutu, bukan saja dengan menyediakan bantuan modal, tetapi juga peningkatan kualitas tenaga kerja. Jika tidak, bukan saja investor asing enggan untuk berinvestasi di Indonesia, juga akan makin banyak industri yang gulung tikar. Tingkat pengangguran di Indonesia merupakan masalah ketenagakerjaan yang sangat menggelisahkan di kawasan ASEAN. Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporannya mengungkapkan, peningkatan tertinggi dalam pengangguran di antara kaum muda terjadi di ASEAN, yaitu 85%. Ini mengharuskan pemerintah untuk terus memikirkan tersedianya lapangan kerja yang berkualitas.

Alasan klasik yang dilontarkan adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak mencapai target akan berimplikasi pada penurunan penerimaan pemerintah, penyediaan kesempatan kerja yang rendah, kemiskinan, serta kesejahteraan masyarakat yang tidak membaik. Oleh karena itu, sinerginya antara kebutuhan dunia kerja dan kemampuan yang ditawarkan dunia pendidikan sangat diperlukan. Apabila realitasnya semakin banyak penganggur intelektual maka perlu dipertanyakan apakah ada yang salah terhadap negara. Semakin banyak penganggur terdidik yang tidak mampu menciptakan pekerjaan ataupun memperoleh pekerjaan yang layak mengakibatkan rendahnya kualitas dan produktivitas bangsa.

Pendidikan Berkualitas

Meminjam pemikiran dari Francis Fukuyama, profesor ekonomi politik dan filsuf dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, gejala kegagalan negara, yakni negara yang tak mampu menjalankan perannya secara efektif dan tidak dapat menjamin kesejahteraan warganya, serta berkurangnya peran negara karena kapasitas negara lemah dalam melakukan fungsinya.

Meminjam pandangan dari Nicholas P Wolterstorff, profesor filsafat Calvin College dan Yale Divinity School, pendidikan untuk kehidupan. Wolterstorff melihat pendidikan sebagai suatu cara hidup di dunia, yang artinya pendidikan ibaratnya menjadi medan perang. Pendidikan menjadi medan perang, karena pendidikan begitu penting dalam mengarahkan cara hidup. Pendidikan berkualitas merupakan salah satu elemen yang sangat signifikan dalam mempersiapkan, mencetak, dan membentuk tenaga kerja yang diharapkan dalam menghadapi persaingan global, terutama krisis global yang membelenggu. Betapa berharganya menangkap eksistensi tenaga kerja terdidik tersebut di mana tidak dapat mengembalikan sejarah.

Wolterstorff menyakini bahwa melalui pendidikan berkualitas lulusan perguruan tinggi dipersiapkan menghadapi masalah-masalah yang berbeda dari yang ada sekarang termasuk krisis global dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk dengan bebas berupaya mengatasi permasalahan tersebut. Lulusan perguruan tinggi harus menyadari bahwa mereka berada dalam dunia yang berstruktur, di mana sebagai eksistensi yang berstruktur, bisa menentukan arah kehidupan bangsa selanjutnya. Oleh karena itu, pendidikan bermutu tidak hanya mengarahkan mereka pada suatu cara hidup di dunia saja, juga mengarahkan mereka pada suatu cara tertentu dari berbagai cara alternatif.

Pendidikan bermutu berpengaruh signifikan terhadap para lulusan perguruan tinggi dalam masyarakat, dan berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan masa depan masyarakat.

Negara, dalam hal ini pemerintah, tetap harus bertanggung jawab untuk terselenggaranya sistem pendidikan nasional, di mana setiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 31 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 juga menegaskan secara jelas tentang tujuan negara kita, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya, pendidikan merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia, seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sila kelima Pancasila pun, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti menyiratkan pemerintah wajib mengusahakan supaya pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu guna mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Pemerintah mesti membenahi dan merancang sistem pendidikan yang bermutu dan ketenagakerjaan dengan metode menyinergikan antara harapan dunia kerja dan pendidikan yang ditempuh. Pemerintah harus menciptakan dan membuka akses pendidikan bermutu kepada seluruh masyarakat Indonesia serta mengupayakan lulusan perguruan tinggi bisa berkreasi, siap pakai, dan mampu menciptakan lapangan kerja baru.

Pendidikan bermutu akan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan berkualitas merupakan kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan masyarakat.

Segala upaya harus ditempuh untuk terwujudnya pendidikan yang bermutu. Konsekuensinya, pemerintah harus memfasilitasi penganggur intelektual untuk memperoleh pekerjaan yang layak melalui program kredit untuk menciptakan entrepreneur baru dan upaya nyata yang lebih terfokus mendongkrak kualitas pendidikan yang lebih bermutu. Pemerintah harus segera mengimplementasikan kebijakan yang memuat prinsip-prinsip penanggulangan pengangguran intelektual secara komprehensif dan saling berintegrasi agar menjadi kesatuan yang utuh. Ke depan, hendaknya Departemen Pendidikan Nasional mendorong, menggenjot, dan mengubah paradigma ke arah pendidikan bermutu dengan segera menerapkan program sinergi dunia kerja dan dunia pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja.

* Joseph Henricus Gunawan, Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society, Jakarta, alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 4 September 2009

No comments: