Saturday, September 05, 2009

Perang dengan Malaysia?

-- Susanto Pudjomartono

PADA awal tahun 1950-an ada lelucon. Jika ada sejumlah orang sedang berselisih, datanglah seseorang yang akan memisah dengan mengatakan, ”Sudahlah jangan bertengkar. Itu tentara Belanda akan datang menyerang.” Ajaibnya, konon, pertikaian berakhir karena semua siap menghadapi musuh.

Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama.

Gampang tersulut

Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu.

Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu.

Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti.

Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia.

Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya

Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.

Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul?

Sedang galau

Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival.

Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh.

Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada?

Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras.

Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional.

Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk.

Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”

* Susanto Pudjomartono, Wartawan Senior

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009

No comments: