Saturday, September 05, 2009

Mengawal Keputusan Kongres Kebudayaan

-- Nunus Supardi*

MENYIMAK artikel H Hardi, Departemen Kebudayaan, Isu Basi Menjelang Penentuan Menteri (Kompas, 22/8/2009), menanggapi artikel Kebudayaan, Bagaimana Nasibmu? (Kompas, 18/9/2009), saya terpanggil untuk memberi tanggapan balik.

Tidak ada yang ganjil dari tanggapan itu, tetapi perlu ada penjelasan guna membangun wacana lebih luas.

Hanya potret

Pada alinea kedua, Hardi menyatakan, penulis (Nunus Supardi) kurang bisa membedakan pengertian ”kebudayaan” sebagai proses dialektis pada masyarakat yang tak kunjung usai dengan kebudayaan yang dianggap produk dari unsur suatu lembaga yang di-set up sebuah birokrasi.

Rasanya tulisan saya tidak menyiratkan pendapat yang bisa melahirkan kesimpulan seperti itu. Tulisan itu potret pemikiran budayawan, seniman, dan cendekiawan yang menginginkan Kementerian Kebudayaan.

Ketika keinginan itu dirangkai sejak Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi tahun 1945 hingga Kongres Kebudayaan (KK) 2008 di Bogor ternyata telah menjadi catatan sejarah panjang perjuangan kebudayaan. Jika ditambah aneka forum, catatan akan kian panjang. Memang terkesan menjadi isu lama. Namun, di balik langkah itu, kita dibuat sadar, betapa mereka gigih dalam memperjuangkan kesepakatan.

Potret itu juga melahirkan sejumlah pertanyaan. Mengapa usul itu terus diulang dan tak kunjung mendapat tanggapan? Bukankah keinginan itu merupakan cermin tekad dan kesepakatan yang dicetuskan dalam forum tingkat tinggi, yaitu Kongres Kebudayaan? Adakah yang salah dengan kebudayaan?

Mungkin benar pendapat Robert Klitgaard, pakar pemberantasan korupsi yang pernah diundang membantu Indonesia tahun 2006. Melihat kurang mesranya hubungan antara pakar kebudayaan dan pengatur kebijakan, ia bertanya, ”Jika kebudayaan itu penting dan orang telah mempelajarinya berabad-abad, mengapa kita tidak mempunyai hubungan profesional antara yang mempelajari kebudayaan dengan yang membuat serta mengatur kebijakan?” Jangan-jangan pernyataan Robert Klitgaard (1992) sedang terjadi di Indonesia.

Khawatir

Sebagai anggota Panitia Pengarah, Putu Wijaya sejak awal sudah khawatir dengan rekomendasi KK 2008 itu. Khawatir pemerintah tidak akan menyambut estafet rekomendasi kongres 2003 di Bukittinggi yang diangkat lagi oleh kongres di Bogor. Selama ini aneka keputusan dalam kongres hanya berhenti sebagai keputusan. Tidak pernah ada tindakan. Secara berseloroh Putu menganggap ”sudah saatnya ada kongres untuk membicarakan tabiat kongres itu sendiri” (1997).

Untuk mengantisipasi kekhawatiran, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengambil langkah tepat dan cepat, membentuk Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI), terdiri delapan orang. Tugas pokok badan ini adalah mengawal keputusan KK 2008 dan menyosialisasikan hasil kepada masyarakat. Agar kerja badan tidak macet, dilengkapi fasilitas kantor dan anggaran belanja memadai.

Langkah yang perlu dilakukan badan ini adalah menggelar jumpa pers dan sosialisasi melalui stasiun TV. Selain itu, harus melakukan pertemuan dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait serta lembaga-lembaga kebudayaan, termasuk lembaga kebudayaan asing.

Mengawal dan menyosialisasikan keputusan kongres harus menjadi komitmen semua anggota BPKKI. Sebab, selain harus bertanggung jawab kepada menteri, badan ini juga harus bertanggung jawab kepada peserta kongres yang telah melahirkan keputusan kongres. Jika BPKKI tidak optimal mengawal dan menyosialisasikan hasil, peserta kongres akan menuntut pertanggungjawaban.

Wacana yang berkembang sekarang dapat menjadi salah satu argumen. Munculnya ”klaim” Malaysia atas tari pendet, menyusul kasus-kasus sebelumnya, media-media gencar memberitakan dan mengulas masalah itu.

Ada tiga hal yang dapat dicatat. Pertama, dari berbagai ulasan, hampir semua menilai lemah dan kurangnya perlindungan pemerintah atas kekayaan kebudayaan bangsa.

Kedua, memasuki era industri budaya, persaingan pemanfaatan budaya kian tajam. Industri budaya akan menjadi primadona ekonomi karena diyakini mampu memberi kontribusi besar bagi devisa negara. Mau tidak mau pemerintah yang akan mengambil langkah kebijakan dalam memperkuat potensi budaya.

Ketiga, seperti dikatakan Samuel Huntington (2000) tentang kebangkitan peran budaya, kebudayaan punya andil dalam membentuk kemajuan manusia. Malaysia termasuk yang kini sibuk dengan konsep itu. Peluang itu juga harus ditangkap Indonesia sebagai bangsa multietnik dan multikultur yang memerlukan perhatian lebih serius dibandingkan dengan bangsa lain. Lagi-lagi, pemerintah perlu mengambil posisi yang tepat dalam mengelola potensi budaya untuk memajukan bangsa.

Ketiga catatan ini menambah alasan perlunya penataan ulang posisi kelembagaan kebudayaan di pemerintahan. Sayang, jika rekomendasi kongres yang menghabiskan dana miliaran rupiah itu terbuang sia-sia?

* Nunus Supardi, Anggota Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia

CATATAN REDAKSI:
Dengan munculnya artikel ini, polemik diakhiri. Redaksi


Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009

No comments: