-- Sugeng P Syahrie*
BAGAIMANA cara terbaik menangani suatu bencana yang disebabkan penggunaan teknologi? Misalnya, semburan lumpur di Sidoarjo. Atau, mengapa pula timbul sikap pro dan kontra yang berlarut-larut terhadap introduksi suatu teknologi baru seperti pada kasus rencana pembangunan PLTN Muria?
Teori jaringan-aktor atau actor-network theory (ANT) memberi penjelasan kepada kita mengenai cara memahami anatomi permasalahan seperti di atas dan sekaligus memberi arah solusinya. Caranya, dengan mengikuti dan menelusuri negosiasi-negosiasi yang berlangsung antara inovator dan calon pengguna. Selanjutnya, dengan mempelajari bagaimana cara menerjemahkan hasil negosiasi tersebut dalam wujud teknologi.
Buku ini ditulis oleh seorang pengajar pada Program Magister Studi Pembangunan ITB. Uraiannya memaparkan prinsip- prinsip teoretis dan analitis ANT yang dilengkapi dengan kerangka teoretis tentang relasi antara teknologi dan masyarakat. Lima bab dalam buku yang tersusun atas delapan bab ini (bab 2, 3, 4, 5, dan 7) merupakan paparan teoretis. Bab yang lain (bab 6 dan 8) membahas kasus-kasus empiris tata kelola teknologi di masyarakat. Pada bagian pendahuluan (bab 1) diuraikan mengenai tata kelola teknologi serta permasalahan teoretis yang dihadapi.
Heterogenitas
ANT, yang muncul sejak 1980-an, merupakan salah satu hasil pengembangan studi science, technology, and society (STS) yang dirintis sejak dasawarsa 1960-an. Teori ini digagas dan dikembangkan oleh Bruno Latour, Michel Callon, dan John Law. Para penggagas ANT berpendirian bahwa masyarakat itu berisikan unsur-unsur yang lebih dari sekadar individu-individu manusia serta norma-norma yang mengatur kehidupan mereka.
Apa yang dianggap hilang dari teori-teori sosial sebelumnya adalah elemen nonmanusia (nonhumans). Oleh sebab itu, dibutuhkan pendefinisian ulang mengenai apa itu ”masyarakat”. Dalam hal ini, masyarakat merupakan suatu kolektivitas yang terdiri dari dua elemen. Elemen manusia (entitas sosial) dan elemen nonmanusia (entitas teknis). ANT memandang masyarakat sebagai asosiasi-asosiasi heterogen yang terdiri dari elemen-elemen yang tidak stabil, yang saling memengaruhi, dan yang mencoba mendefinisikan ulang secara terus-menerus.
ANT mengembangkan konsep mengenai jaringan, aktor, translasi, dan intermediari. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Konsep jaringan tidak hanya berfokus pada relasi sosial dari aktor-aktor manusia, tetapi juga mencakup aktor-aktor nonmanusia—sebuah jaringan heterogen (hal 116). Aktor didefinisikan sebagai sesuatu yang beraksi, yang bukan hanya manusia, melainkan juga merupakan obyek teknis (hal 118). Translasi berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi yang berlangsung antara aktor-aktor sampai tercapai suatu relasi yang stabil sehingga obyek teknis dapat terus berfungsi (hal 127). Sedangkan intermediari adalah aktor yang ”bersirkulasi” di antara aktor-aktor dan yang memelihara relasi di antara mereka (hal 126).
ANT memostulasikan bahwa di antara manusia dan obyek teknologi berlangsung dua proses. Di satu sisi adalah proses translasi dalam bentuk desain dan konstruksi. Sementara di sisi lain adalah pembelajaran melalui pembuatan dan penggunaan. Melalui desain, konstruksi, dan pembelajaran tersebut, obyek teknologi berubah dan manusia pun berubah (hal 127). Melalui proses pembelajaran itulah nilai-nilai kemanusiaan diterapkan di ranah teknologi. Teknologi ditata kelola sedemikian rupa agar tidak mengukuhkan relasi-relasi sosial yang otoriter maupun hierarkis. Tidak cukup hanya itu, sebaiknya pula teknologi selaras dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan sosial.
Postulat ini semakin menegaskan komitmen teoretis ANT dalam penataan sosial, yakni komitmen untuk bersandar pada prinsip kemitraan, konsultasi, dan proses pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif dan bukan akumulasi kuasa. Itulah sebabnya mengapa ANT relevan sebagai dasar teoretis maupun kerangka analitis bagi tata kelola (governance) teknologi.
Menolak determinisme
ANT juga memostulasikan bahwa deskripsi adalah eksplanasi. Karena kausalitas bekerja melalui jaringan, maka kausalitas dipelajari dengan menelusuri translasi. Penelusuran kausalitas merupakan deskripsi dari translasi tersebut (hal 120). Dengan ini, ANT menolak pandangan filsuf W Dilthey (1833-1911) yang membedakan ilmu-ilmu alam yang bertujuan untuk mencapai pemahaman (deskripsi) dari ilmu-ilmu sosial humaniora yang ditujukan untuk mencapai eksplanasi (penjelasan sebab-akibat). Di sini ANT sekaligus juga menjawab kritik yang yang menudingnya sebagai teori yang hanya memaparkan (deskripsi) fenomena sosial.
Dengan berasumsi bahwa masyarakat adalah entitas heterogen, ANT juga menolak dua pandangan deterministik dalam kajian mengenai relasi antara teknologi dan masyarakat. Pertama adalah determinisme teknologi. Determinisme ini menekankan pada dampak sosial dari kehadiran teknologi. Sementara yang kedua adalah determinisme sosial yang memandang bahwa kehendak masyarakatlah yang menentukan efek-efek dari kehadiran teknologi.
Mengingat masih sangat sedikitnya buku mengenai STS berbahasa Indonesia, kehadiran buku ini sepatutnya diapresiasi tinggi. Apalagi buku ini jelas-jelas mengangkat sejumlah kasus proyek teknologis di Tanah Air. Melampaui manfaatnya secara akademis, buku ini juga dapat memberikan kontribusi nyata bagi para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan.
Sayangnya, ranah kajiannya terlampau teoretis. Dengan demikian, gaya penulisan dan struktur pembahasan buku ini cenderung membatasi dirinya dari jangkauan pembaca umum. Sebagai catatan, meski pengembangan ANT bersumber pada hasil-hasil riset empiris, pada dasarnya yang ditawarkannya adalah sebuah teori tentang fenomena sosial, tepatnya sebuah fenomena yang sarat akan obyek-obyek teknologis. Oleh sebab itu, pemilihan judul Tata Kelola Teknologi yang berkonotasi praksis terasa agak mengecoh. Bagi saya, alternatif judul seperti Studi Teknologi dan Masyarakat atau Sosiologi Teknologi dianggap lebih tepat karena berkonotasi teoretis. Lagi pula, sebagian besar isi buku ini memang berupa paparan teoretis. Mungkinkah ini sekadar strategi penulis? Bisa jadi untuk menarik minat mereka yang berada dalam ranah praksis agar bersedia masuk ke ranah teoretis STS, khususnya ANT.
* Sugeng P Syahrie, Pengajar Sejarah Teknologi di Universitas Negeri Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009
No comments:
Post a Comment