Saturday, September 05, 2009

[Teropong] Bentara Budaya: Menakar Ulang Realitas Kebudayaan Bali

-- Putu Fajar Arcana

REALITAS kebudayaan Bali menunjukkan perkembangan etnosentris yang sangat kuat. Orientasi pertumbuhan itu secara sistematis didorong oleh pendesakan jargon pariwisata budaya pada tahun 1970-an. Kecenderungan ini membuat kebudayaan Bali hanya dipandang dari sisi-sisi materialistis dan membunuh kemungkinan kebudayaan sebagai wahana transformasi nilai.

Di tengah kondisi itu, kehadiran lembaga semacam Bentara Budaya Bali (Bentara Bali) diharapkan mampu memainkan peran untuk melakukan telaah-telaah yang kritis. Bentara Bali bisa melakukan presentasi-presentasi kultural secara berkesinambungan yang menawarkan perspektif alternatif terhadap kebudayaan Bali. Bentara Bali yang berlokasi di Jalan Prof DR IB Mantra, Ketewel, Gianyar, akan melakukan soft opening pada Rabu (9/9) ditandai oleh Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2008 serta presentasi puluhan penari pendet dan penampilan gitaris I Wayan Balawan.

Pemikir kebudayaan asal Perancis yang menetap di Bali, Jean Couteau, Jumat, mengatakan, sangatlah berbahaya jika arah pengembangan kebudayaan yang etnosentris dibiarkan terus-menerus berlangsung. ”Orang Bali tidak menyadari bahwa mereka didikte oleh kepentingan-kepentingan global dan nasional yang sangat sistematis. Dan dalam waktu 10-20 tahun ke depan, itu sangat merugikan,” kata Jean.

Sebagai entitas kultural, tambah Jean, Bali merasa besar di dalam tempurung kebudayaan. Orang Bali tidak pernah memiliki peran penting dalam menentukan arah kebudayaannya sendiri. ”Mereka hanya menjadi komoditas dari kebijakan yang telah dirumuskan dari jauh,” kata Jean.

Dalam kacamata mantan Rektor ISI Denpasar I Wayan Dibia, sudah sejak lama orientasi kebudayaan Bali hanya untuk memenuhi kuantitas produksi. Oleh sebab itu, ajang seperti Pesta Kesenian Bali secara terus-menerus mendorong kemunculan kelompok-kelompok kesenian serta penciptaan karya-karya baru. Celakanya, ”Dorongan itu tidak diikuti oleh kesadaran pada pengembangan fungsi-fungsi ritual dan ideologis dari seni dan kebudayaan,” kata Dibia.

Kehadiran pariwisata justru menjadi paradoks tak berkesudahan. Satu sisi industri ini mendorong ”kelestarian” kesenian, pada sisi lainnya mendorong pendangkalan terhadap nilai. ”Orientasi pelaku seni pada kemegahan dan kemewahan. Mereka melupakan fungsi kebudayaan sebagai pencerah. Nilai- nilai pencerahan itu tidak mungkin ditransformasi dari kesenian yang hanya mementingkan kemegahan,” ujar Dibia.

Peran penting

Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana yang kini sedang mengajar di School of Languages and Comparative Cultural Studies di Brisbane, Australia, Darma Putra, berpendapat, sudah sejak lama Bali dilanda kekosongan laboratorium kebudayaan. Tahun 1970-an, katanya, harus diakui sebagai era perumusan dan penerjemahan keinginan untuk membangun sendi-sendi kebudayaan Bali.

”Tetapi, setelah era itu berlalu, kebudayaan Bali tidak pernah terevaluasi. Seluruh ruang ekspresi kebudayaan sudah menua dan tidak ada upaya melakukan revitalisasi atau bahkan sekadar renovasi,” ujar Darma lewat surat elektronik.

Ia berharap kehadiran Bentara Bali bisa mengisi ruang kosong yang selama ini sangat didambakan. ”Bentara bisa menjadi ruang baru bagi aktivitas kesenian dan kebudayaan dan sekaligus memberi tawaran lain dalam cara berekspresi,” katanya.

Dalam pikiran Jean Couteau, Bali sesungguhnya beruntung karena tidak ada satu pulau atau entitas kebudayaan lain yang begitu banyak diwacanakan. Kajian-kajian antropologis, sosiologis, agama, kebudayaan, kesenian, dan bahkan kuliner di Bali sudah dilakukan pada masa kolonialisme. ”Itu sebenarnya keberuntungan. Sayangnya, sampai sekarang belum terlihat kesadaran bersama untuk mencoba cara pandang alternatif terhadap kebudayaan mereka sendiri,” ujar Jean.

Apa pun alasannya, dominasi kapital dalam wujud pariwisata, kata Darma dan Jean, harus segera memperoleh perimbangan. Dan perimbangan itu dibutuhkan sebagai cara baru untuk mengartikulasikan kebudayaan. Di dalamnya pertemuan antara tradisi sebagai akar perajut kebudayaan Bali dengan kebudayaan urban yang dibawa oleh arus globalisasi dapat bersinergi tanpa saling memusuhi. Oleh sebab itu, seni-seni kontemporer yang sejauh ini justru ”termarjinalisasi” dalam pewacanaan kebudayaan di Bali, lantaran cara pandang yang keliru, mendapatkan tempat semestinya.

Di situlah Bentara Bali bekerja. Ia bekerja dalam medan kebudayaan yang unik, di mana proses perjumpaan dan pergulatan antara nilai lama dan baru menampilkan sosoknya secara jelas. ”Boleh saja berpretensi sebagai jembatan antara tradisi dan kontemporer, tetapi yang tetap harus dimainkan, menumbuhkan sikap-sikap eksperimentatif untuk mencari kemungkinan nilai-nilai baru. Karena kebudayaan tidak boleh berhenti, ia sesuatu yang bergerak terus dan oleh karena itu selalu melakukan interpretasi terhadap nilai sebelumnya,” ujar Darma.

Dengan begitu, realitas kebudayaan menjadi sesuatu yang nisbi dan bukan artefak arkeologis yang beku. Interpretasi tidak saja bisa dilakukan dengan pengkajian secara akademis, tetapi juga presentasi dalam bentuk pameran, pementasan, dan workshop. Bentara Bali berharap terus berada pada garis itu.

Fasilitas

Kehadiran Bentara Bali melengkapi Bentara Budaya Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1982 dan kemudian disusul Bentara Budaya Jakarta tahun 1986. Teristimewa Bentara Bali dilengkapi dengan panggung terbuka yang mampu menampung 150-200 orang dengan panggung utama berukuran 9 meter x 5 meter serta panggung kecil berukuran 2,4 meter x 5 meter. Selain itu, institusi kebudayaan di bawah Kelompok Kompas Gramedia di Bali, ini memiliki ruang pamer 14,4 meter x 27 meter atau terluas di antara ruang pamer dua Bentara di Yogyakarta maupun Jakarta.

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009

No comments: