Tuesday, April 01, 2008

Sastra: Mengenang Pramoedya Ananta Toer

MENINGGALNYA sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang akrab dipanggil Pram pada tanggal 30 April 2006, memicu terbitnya berbagai buku biografi Pram. Satu di antaranya adalah Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, karya August Hans den Boef dan Kees Snoek.

Biografi itu terdiri dari dua bagian yaitu, esai mengenai profil Pram dan hasil Kees dengan Pram pada tahun 1991. Kees adalah mantan dosen bahasa, sastra dan sejarah Belanda di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).

Buku terbitan Komunitas Bambu (KB) Februari 2008 itu menjadi fokus diskusi di FIB UI Depok baru-baru ini. Acara yang di- selenggarakan penerbit KB tersebut dihadiri peneliti dari (ISSI) Hilmar Farid dan dosen Sastra Bahasa Indonesia FIB UI Iwan Fridolin.

Hilmar memiliki perhatian khusus pada Pram yang berjiwa realisme sosialis. Dia banyak melakukan riset selama tiga atau empat tahun terakhir ini tentang Pram. Pria itu pertama kali membaca karya Pram ketika berusia 16 tahun. Bumi Manusia adalah buku pertama yang dibacanya.

"Kesan yang saya ingat, karyanya mudah dibaca. Sementara karya sastra yang lain sepertinya memerlukan tingkat pengetahuan tertentu untuk bisa mengakses dan menikmati," kata Hilmar.

Lebih lanjut dikatakannya, karya Pram mudah diikuti dan plotnya juga tidak rumit. Dari segi bahasa juga tidak sulit. Hal-hal inilah yang membuat Hilmar tertarik pada karya Pram.

Menurut Hilmar, bagian esai Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir tidak memperlihatkan sesuatu yang baru merujuk ke zaman kini. Esai tersebut, seperti buku biografi lainnya, hanya mengungkap jalur hidup Pram.

Biografi itu ditulis dalam bahasa Belanda tahun 1990. Waktu itu, sangat sedikit informasi tentang Pram, karena Pram dilarang menulis sehingga masyarakat Indonesia tidak memiliki akses pada naskahnya.

"Kalau buku ini terbit di Indonesia 18 belas tahun lalu atau segera diterbitkan setelah versi bahasa Belanda, saya kira pengaruhnya di Indonesia akan sangat besar," ujar Hilmar.

Perubahan

Situasi berubah. Pram tidak lagi dikagumi seperti dahulu, saat karyanya dilarang. Kini para penulis bisa menulis dan menerbitkan berbagai ragam karya Pram. Walaupun larangan atas karya Pram belum dicabut, namun dalam praktiknya, toko buku bebas menjual dan diskusi terkait dengan karyanya dapat diselenggarakan

"Dahulu kan kombinasi antara kekhawatiran mengalami hal-hal buruk dalam Orde Baru itu dekat sekali dengan kekaguman terhadap orang yang pernah mengalami peristiwa itu. Ini satu alasan yang membuat Pram terkenal.

Meski demikian, kekaguman terhadap Pram tidak menurun. Karyanya masih memiliki daya tarik dan disukai orang. Tetapi, alasan orang menyukai karya itu berbeda dengan alasan orang menyukai Pram di masa lalu.

Untuk itu, Hilmar berharap para penggemar karya Pram memahami konteks saat Pram menulis buku-bukunya. Dengan demikian, pembaca dapat menilai atau memahami isi karya Pram lebih kuat.

"Dia memang kritis terhadap pemerintah dan betul-betul seperti magnet," tutur Hilmar.

Hilmar menambahkan, jika Pram meraih Nobel karena karya-karyanya, mungkin arah tulisan Pram berubah, tidak akan berbobot politik. Dia mungkin akan menulis novel dan perjuangannya yang kokoh akan berkurang.

Hal serupa diutarakan pengajar FIB UI lainnya, Iwan yang telah mengajar di FIB UI selama 25 tahun. Menurutnya, Pram sangat berbakat dalam bercerita dan menggambarkannya dalam bentuk tulisan. Biografi Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, menurutnya, semacam pembelaan atas Pram. Seakan-akan buku itu ingin menyeret almarhum Pram keluar dari apa yang selama ini dituduhkan pada dirinya.

Di sisi lain, Iwan juga ragu kebenaran isi buku itu. Menurutnya, isi wawancara bisa saja diubah tetapi tidak ada seorang pun yang mengoreksi.

"Pram telah tiada, jadi tidak bisa membela kebenaran fakta isi buku tersebut," katanya. [RPS/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 1 April 2008

No comments: