-- Hamdy Salad
SEJAK manusia dilahirkan ke Bumi, dan kemudian berkembang menjadi komunitas, suku, dan bangsa, tak ada soal utama yang diperjuangkan olehnya, selain mencapai kebajikan dan keadilan. Akan tetapi, sebagaimana dicatat dalam buku sejarah, perjuangan itu mesti berhadapan dengan aparat-aparat kejahatan yang beroperasi secara sistematis melalui tangan kekuasaan.
Dalam kitab-kitab suci telah disebutkan, aparat-aparat kejahatan telah diabadikan sebagai amsal kepribadian yang cacat. Penista ulung terhadap nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan. Itu sebabnya, setiap individu yang berupaya mencari kebenaran, kebajikan, dan keadilan senantiasa akan diuji. Diberi mandat untuk membebaskan kolonisasi jiwa dari praktik-praktik kekuasaan yang sesat. Sekaligus membimbingnya menuju kehidupan penuh kerahmatan sebagaimana yang diajarkan para rasul dan nabi utusan.
Ketika para utusan telah tiada, setiap manusia, apa pun agamanya, diberi kesempatan otonomik yang sama (fitrah insani) untuk mengembangkan pikiran, imajinasi, dan kreativitasnya demi mewujudkan nilai-nilai profetik (warasatul anbiya). Termasuk di dalamnya, bentuk-bentuk aktivitas sosial dan budaya yang berbasis pada wahyu suci, spiritualitas dan transendensi. Agar manusia tidak mudah terjebak pada kesombongan diri (ta’bid an-nafs), kerakusan materi (ta’bid al-mawad), kenikmatan duniawi (ta’bid as-syahawat), dan kekuasaan tirani (ta’bid as-siyasah).
Inklusif dan plural
Demikian halnya ritualisasi pelaksanaan halalbihalal. Meski bukan merupakan ajaran pokok Islam, terkandung di dalamnya tujuan kemanusiaan yang sejajar dengan proses-proses kultural dalam membumikan hikmah ayat-ayat suci Al Quran. Bahkan, sebagai tradisi religius masyarakat Indonesia, halalbihalal juga menjadi ajang silaturahim antaragama, antaretnik, dan antarbudaya.
Secara otomatis, tradisi halalbihalal merupakan bagian penting dari dimensi ajaran keagamaan yang bersifat inklusif dan plural. Setiap individu dan entitas sosial masyarakat Muslim atau sesama umat beragama lain diberi kemungkinan otonomik untuk saling memaafkan, menyelesaikan, meluruskan, dan mencairkan problem-problem yang bermuara pada nilai-nilai moral dan spiritual.
Namun, pemberian maaf dimaksud tidaklah sama dengan asas pengampunan. Saling memaafkan dalam konteks halalbihalal hanya terbatas pada bentuk-bentuk kesalahan sikap dan perilaku (kekhilafan) dan sama sekali tidak menyangkut kesalahan yuridis dan normatik (kezaliman) seperti penindasan terhadap sesama, korupsi, manipulasi, dan eksploitasi.
Betapa runyamnya negeri ini jika semua bentuk kesalahan dapat dimaafkan hanya melalui upacara jabat tangan. Halalbihalal bukanlah ritus budaya yang pantas untuk itu. Halalbihalal adalah ritus dengan perspektif di mana setiap insan menyelenggarakan komunikasi yang multikultural.
Metamorfosis spiritual
Di titik inilah halalbihalal bekerja untuk melakukan pencerahan moral dan nalar. Menjaga adab kita dalam dalam ranah keagamaan (religio-sphere) ataupun dalam wilayah kebangsaan (ethno-sphere), dan kenegaraan (ideo-sphere). Satu medium sosial di mana kita bisa melakukan metamorfosis spiritual.
Metamorfosis spiritualitas bangsa ini dapat ditandai dengan pupusnya konflik-konflik internal ataupun eksternal di antara umat beragama. Jadi agama pun menjadi acuan dan tumpuan utama terapresiasinya pluralisme, demokrasi, dan egalitarianisme, termuliakannya hak-hak asasi manusia.
Pembersihan atau penyucian diri dalam halalbihalal pun menjadi semacam negasi atau daya tolak terhadap kecenderungan fanatisme, primordialisme, dan intoleransi. Menjadi penghambar dan pemupus bagi niat dan nafsu melakukan kekerasan.
Dengan tradisi yang penuh keramahan ini, setiap Muslim diajak dan dikondisikan untuk senantiasa mengedepankan dialog, membuka ruang domestik (syariah) dan publik (muamallah) sebagai medan pencerahan.
Melalui halalbihalal pula, kewajiban umat beragama untuk saling memahami, dan mengkritik berbagai pergeseran budaya, tidak selayaknya diabaikan. Jadi proses-proses rekonstruksi dan redefinisi tentang apa-apa yang tercakup dalam amar makruf – nahi mungkar (humanisasi, liberasi, dan transendensi ajaran Islam), dapat dioperasikan di tengah masyarakat dan bangsa. Menjadi sarana moderasi dan harmonisasi kehidupan bersama umat beragama yang sejak dahulu kala tersemai di penjuru bumi Nusantara ini.
Hamdy Salad, Penyair, pengajar pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment