-- Heri Priyatmoko*
SALAH seorang jurnalis Kompas yang tekun menulis masalah pangan, Andreas Maryoto, dalam bukunya Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan (2009), mengutarakan kegelisahannya: di depan rumah masyarakat Jawa bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga, bahkan kini sudah banyak yang hilang.
Padahal, tempo dulu, pekarangan bagi orang Jawa bukan sebatas sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasnya. Namun, itu potret ketahanan pangan atau lumbung hidup mereka.
Menurut Poerwadarminta, pekarangan berasal dari kata ”karang” yang berarti halaman rumah. Pakar lingkungan yang mumpuni, Otto Soemarwoto, mengatakan, pekarangan merupakan suatu ekosistem yang ditanami dengan berbagai tanaman yang masih mempunyai hubungan fungsional, baik sosial- budaya, ekonomi, dan biofisika.
Namun, di Kota Solo, terdapat hal yang cukup aneh menyangkut perkampungannya dibandingkan dengan, misalnya, kampung-kampung Jawa di kota lain. Rumah-rumah penduduk di Solo umumnya justru tidak mempunyai pekarangan. Yang ada hanyalah pelataran kecil dan berpagar tembok. Dalam fakta sejarah, perkampungan di Solo terbentuk dari struktur permukiman yang mengacu pada model kerajaan, yaitu berdasarkan fungsi. Yang mendiami kampung bukan para petani, melainkan kelompok abdi dalem dan sentana dalem yang mempunyai kepentingan dengan raja dan keraton.
Jadi, seperti banyak ahli mengatakan, ideologi kemandirian pangan yang lama tumbuh dan lestari di masyarakat Jawa dengan adanya pekarangan saat ini tidak kita temukan lagi dalam masyarakat Solo. Untuk mencukupi kebutuhan perut, kelompok priayi mengandalkan pasokan beras dari warga desa.
Fungsi-fungsi pekarangan
Pekarangan dapat menjadi cerminan betapa majunya kebudayaan petani Jawa, terutama dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek kesehatan, ekonomi, artistik, dan sosial-budaya. Tempo dulu, petani menanam jahe, kunyit, dan jeruk pecel di pekarangan rumah tidak sebatas untuk mendukung keindahan, tetapi juga dimanfaatkan sebagai obat penyakit ringan, seperti batuk dan demam.
Meski begitu, pekarangan bukan berarti bebas ditanami aneka macam tanaman. Itu karena, menurut keyakinan Jawa kuno, ada tanaman yang bisa mendatangkan dampak negatif terhadap pemilik rumah. Misalnya, pohon waluh jika ditanam di depan rumah bisa berakibat rezeki menjauh dan suami-istri sering bertengkar.
Di sisi lain, pekarangan pun berfungsi sebagai sumber ekonomi. Petani pada masa lalu, jika hendak memenuhi kebutuhan sandang dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari logam, menjual hasil panenan pekarangan ke pasar. Tidak hanya itu, komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga sekitar. Ketika memanen hasil pekarangannya, mereka berbagi antartetangga.
Selain itu, setiap pekarangan sering dipakai anak-anak kampung untuk melakukan bermacam-macam permainan, seperti jelungan, nekeran (bermain kelereng), engklek, gerobak sodor, dan bentik. Bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bukanlah milik pribadi yang eksklusif, melainkan ruang publik. Karena itu, masyarakat desa bisa memakainya untuk keperluan yang bersifat sosial dan kultural.
Desakralisasi tanah
Pertanyaan selanjutnya, sejak kapan pekarangan di wilayah pedesaan mulai menyusut hilang? Sejarawan Kuntowijoyo dalam karyanya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), mengungkapkan, kekuatan ekonomi memaksa orang Jawa untuk mengubah pandangan mereka tentang tanah. Awal mulanya, tanah bagi masyarakat Jawa amat sakral, tidak boleh dijual dan kepemilikannya harus diwariskan secara turun-temurun. Namun, pada akhirnya terjadi desakralisasi tanah. Pemilik tanah tunduk kepada uang dan pasar.
Tidak sedikit pekarangan yang seharusnya dilestarikan untuk apotek hidup malah dijual untuk didirikan tempat usaha dan rumah baru. Tanaman yang dulu rimbun membuat asri dan berfaedah itu dibabat habis demi lancarnya pembangunan infrastruktur.
Kemudian pekarangan plus pelataran di pedesaan Jawa mulai terdesak seiring dengan pertambahan penduduk. Desa semakin padat, sedangkan proyek-proyek pembangunan perumahan yang gencar dilakukan sering kurang memperhitungkan keberadaan pekarangan.
Pekarangan kini diabaikan. Masyarakat desa, manakala sakit, kini tiada perlu lagi memetik tanaman di pekarangan dan meramunya menjadi obat sebab obat sudah banyak tersedia di warung. Tanaman untuk obat-obatan akhirnya tidak lagi dianggap penting. Akibat dari itu pun dapat diperkirakan: pekarangan menyusut, kehilangan fungsi dan perannya.
Bersamaan dengan itu, masyarakat Jawa tradisional pun, tidak hanya kehilangan tanah (pekarangan)-nya, tetapi juga ruang publiknya untuk bersosialisasi, lumbung hidup tempat beraktualisasi, dan ruang budaya tempatnya bereksistensi.
Kearifan lokal? Maaf saja, ia sudah terkubur di pekarangan, yang kini sudah menjadi ruko, mal, atau pusat perdagangan yang pertumbuhannya sama subur dengan cabe, jahe, atau kembang sepatu, pengisi pekarangan yang dulu. Ini sebuah romantisme? Barangkali. Tapi, lihatlah dulu jiwa dan pikiran kita sendiri, apakah ia masih memiliki romannya?
* Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe, Peneliti Sejarah di Kabut Institut, Solo
Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment