Judul buku : Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan
Penulis : Dr. Moeslim Abdurrahman
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Terbitan : Juli, 2009
Tebal : 296 hlm
ISLAM datang pertama kali di Jazirah Arab bukan untuk membangun kesalehan ritual masyarakatnya. Tapi Islam datang untuk mengubah tatanan masyarakat Arab yang pada saat itu masih belum teratur, belum beradab, menuju keteraturan dan keberadaban melalui pembangunan basic dasar berupa kesalehan sosial.
Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu. Seiring dengan besarnya pergulatan hidup yang menuntut persaingan semakin ketat. Agama seakan hanya menjadi formalitas yang anjuran-anjuranya berupa syariat akan selesai jika telah diritualkan. Banyak ritual kegamaan yang legal formal kini mengalami semacam distorsi. Nilai-nilai yang yang cukup substansial sebagai instrumen penting menuju perubahan lintas objek di tengah komunitas masyarakat seakan menjadi redup. Sehingga, ketidakteraturan di tengah kehiduapn masyarakat yang terjadi tetap saja hadir.
Penindasan masih tetap terjadi. Korupsi merebak. Ketidakadilan selalu menjadi wacana. Fenomena semacam ini yang banyak dipersoalkan oleh Dr. Moeslem Abdurrahman. Dia banyak mengkritik berbagai macam ritual keagamaan di tengah masyarakat yang hanya berhenti pada level formalitas, meski landasan berpijak yang dipakai itu berdasarkan pada rumusan teologisnya.
Dalam buku ini, Moeslim memaknai Islam yang paling murni bukanlah terletak pada rumusan teologisnya--apalagi hanya rumusan yang telah dibakukan oleh para ulama dalam literatur kitab-kitabnya--, tapi jutru muncul dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan cita-cita keadilan. Oleh sebab itu dapat dikatakan, Islam adalah ruh kemanusiaan yang paling sejati dalam menuntut sebuah perubahan, terutama dalam pemerdekaan, baik bagi kesadaran umat secara personal maupun secara kolektif, untuk mewujudkan keadaban (amar bi al-ma'ruf) dan peradaban dalam arti menghidupkan cita-cita kemanusian (humanisme) yang merdeka, bebas, dan terhormat (wa nahy annilmunkar). (hlm: 7) Moeslim mencontohkan puasa.
Ritual ini jika hanya dipahami sebatas formalitas yang setelah tuntutan formalnya dikerjakan maka selesailah tuntutan tersebut. Padahal, ritual puasa memiliki nilai yang cukup substansial bagi perubahan struktur sosial di tengah masyarakat yang mengalami berbagai penyakit. Artinya, nilai kesalehan sosial yang dapat mengubah moralitas manusia menuju keadaban dalam menegakan keadilan seakan hilang.
Ketakwaan paling tinggi dalam pandangan. Moeslim adalah memperjuangkan kesetaraan (emansipasi) di tengah komunitas manusia (masyarakat) melalui wahyu sebagai inspirasi ketuhanan, sekaligus merupakan sumber pemaknaan pedagogis kemanusiaan itu sendiri.
Di sinilah letak akar persoalan mengapa banyak yang melaksanakan ibadah puasa, tetapi kesetaraan (emansipasi) di tengah komunitas masyarakat kita masih belum tampak wujudnya seratus persen. Masih banyak diskriminasi sosial, masih banyak ketidakadilan hadir, masih banyak marginalisasi status, dan banyak lagi lainnya.
Ritual yang dikerjakan hanya sebatas menggugurkan kewajiban itu perlu kembali dipahami makna sosialnya di tengah pergulatan masyarakat. Artinya, forlmalitas ritual itu harus dapat ditransformasikan ke arah perubahan sosial di tengah masyarakat untuk merevitalisasi moralitas yang masih rapuh. Bagaimana juga, agama adalah sumber moralitas.
Kita percaya, setiap kitab suci tentu berisi ajaran akhlak dan humanitas. Namun, baik agama ataupun kitab sucinya, pada kenyataanya tidak berbicara sendiri.
Idealnya, nilai-nilai agama akan berbicara tentang humanisme, tentang struktur sosial yang harmonis, dan kehidupan yang jauh dari diskriminasi ketidakadilan. (hlm: 20)
Buku ini cukup menarik bagi kita, khususnya umat muslim yang menghendaki proses pencarian makna ritual yang substansial. Di dalamnya Dr. Moeslim secara reflektif memaparkan berbagai macam ketimpangan sosial di tengah masyarakat akibat minimnya pemahaman manusia terhadap makan ritual keagamaan.
Pengamalan ritual yang sebatas teks masa lalu yang telah disakralkan oleh ulama, tapi relevansinya bagi konteks saat ini tidak menghadirkan kontribusi apa-apa. Hadirnya buku saya kira akan tetap menjadi kontribusi besar bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat kita saat ini menuju perubahan struktur sosial yang lebih baik.
Heri Kurniawan, instruktur pada LKPB (Lembah Kajian Peradaban bangsa), tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment