Sunday, October 04, 2009

Sastra, Pencarian dan Konflik Identitas

-- Munawir Aziz

Identitas diperlukan untuk membentuk dan menempatkan diri di tengah keterasingan. Dilema identitas menentukan perbedaan paradigma berpikir, menjaga jarak dengan problem, dan menyikapi konflik.

IDENTITAS tak langsung lahir dari rahim kehidupan tanpa perenungan. Identitas harus dicari, diselidiki, dan dikonstruksi. Seringkali konstruksi-dekonstruksi nilai hidup akan menuntun ke arah lorong panjang mengenali identitas. Konflik menjadikan identitas lebih jelas. Perselisihan menimbulkan keberpihakan, dan identitas muncul ketika konflik menyergap. Identitas akan terlihat lebih jelas ketika konflik mereda.

Perang dan konflik yang terjadi di seputar kehidupan akan menjelaskan identitas dengan atau tanpa suara. Di tengah badai konflik, identitas akan lahir walaupun tanpa penjelasan. Kejelasan identitas inilah yang dapat dipetik di tengah kecemasan perang, di samping tragedi, episode teror, dan horor yang menyergap. Konflik yang berkepanjangan akan menjelaskan posisi identitas. Namun di pihak lain, konflik dan perang juga akan meruntuhkan identitas. Posisi dan kejelasan identitas akan silang sengkarut di konflik. Pencarian identitas akan terus berlangsung. Manusia akan terus mencari untuk mendapatkan identitas yang sebenarnya.

Jejak pencarian identitas terekam dengan teliti dalam beberapa penggal karya sastra. Identitas menjadi ujung pencarian untuk menjelaskan pada diri, keluarga, dan lingkugan tentang makna "ada" dan "mengada". Kejelasan identitas melimpahkan harapan tentang pentingnya "ada" dan konsistensi untuk terus "mengada" dalam bentangan kehidupan. Inilah episode panjang dalam lukisan kehidupan manusia.

Konflik dan perang menjelaskan untuk apa manusia hadir, berpikir, dan berbuat. Perang menjelaskan identitas untuk menyepuh nilai guna sebagai manusia. Selain mengubur nilai manusiawi, perang untuk menjelaskan derajat manusia yang sebenarnya. Perang mengubur dan membangunkan manusia. Konflik menyeret kejelasan identitas tanpa selaput penghalang.

Seno Gumira Ajidarma (SGA), merekam konflik, tragedi, dan romantisme secara utuh dalam kumpulan cerpen Saksi Mata (2002). Karya ini tak semata lahir dari renungan atas berbagai pengalaman, hasrat, dan kesaksian atas konflik yang mendekap tanah air. SGA menggerakkan imajinasi dari kenyataan dan fiksi. Kenyataan lahir ketika bertugas sebagai jurnalis yang merekam kengerian di tengah tragedi Dili, pada 12 November 1991. Insiden Dili dilukiskan pers luar negeri sebagai The Dili Massacre, SGA tak tinggal diam untuk terjun dalam melukiskan dalam feature jurnalisme dan sastra.

SGA menulis cerita untuk menghormati manusia, perang, dan pencarian identitas. Konflik yang berpendar di seputar kepala SGA meletupkan imajinasi dan inspirasi untuk terus menulis, kerja kreatif mengabadikan konflik sebagai bagian peradaban. SGA konsisten menuliskan karya yang lahir dari rahim imajinasi dan pengalaman hidup. Menulis untuk melawan ketakutan yang bersemayam dalam diri.

"...saya memikirkan harga jiwa manusia. Saya menulis cerita dengan semangat perlawanan, antara lain untuk melawan ketakutan saya sendiri dan saya sungguh bersyukur telah mendapat pilihan untuk melakukannya. Penguasa datang dan pergi. Cerita saya masih ada", ungkap SGA.

Konflik juga sering membenamkan keadilan ke titik nadir yang paling kejam. Identitas lahir pada posisi seperti ini. Dalam cerpen Saksi Mata, SGA tak hanya mengutuk paradoks keadilan, tapi juga menjelaskan posisi manusia sebagai saksi mata yang tak bisa menghindar dari kerangkeng konflik. Teks SGA muara refleksi atas keadilan yang tak dipercaya, simpul hukum terjual-belikan. Cerpen Saksi Mata menegaskan kekejaman mengintip ketika seorang saksi mata di hadapkan pada persidangan untuk memberikan kesaksian. Saksi mata bercerita bahwa, matanya dicukil dengan sendok oleh segerombolan orang berseragam--simbol atas sekelompok alat negara--sebagai upaya menertibkan negara dan tata hukum. Saksi mata dihadapkan di persidangan dan di depan hakim, dengan luka akibat tindakan sadis penjahat, pendusta kebenaran. Namun, saksi mata tegar juga. Tanpa mata, saksi mata tetap memberikan kesaksian. Imajinasi liar tampak dibubuhkan SGA untuk melukiskan kekejaman di ruang persidangan. Cerpen ini, dengan bingkai perenungan, melahirkan kenyataan pedih konflik identitas di tengah labirin sengkarut hukum. Hukum memaksa yang benar berontak dan yang salah berteriak.

Identitas dipertaruhkan di tengah sengkarut hukum. Identitas berkelindan dengan kenyataan pahit dan keterasingan; muara menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Pencarian, Kegelisahan

Pencarian identitas ditarik oleh lokomotif kegelisahan yang meluap dalam diri. Mohammad Sobary mengisahkan pencarian identitas diri di tengah konflik psikologis, beban tugas, kenangan masa silam, dan belitan tragedi kota. Dalam novelnya, Sang Musafir (2007), Mohamad Sobary dengan teliti menceritakan jalan panjang hidupnya yang penuh keterasingan, tragedi, sekaligus kejutan. Sobary meyakini masa silam, apabila ditenun dan dirangkai dalam kerangka ingatan yang tertata, akan menjadi jembatan menuju masa depan. Identitas hadir di tengah pencarian ini.

Sobary melukiskan ketegangan pencarian identitas dengan nada bersahaja. Novel Sang Musafir tersaji dengan bahasa sederhana, namun penuh hikmah bijaksana. Frame khas karya Sobary, seperti juga yang terhampar dalam karyanya yang lain, Kang Sejo Melihat Tuhan, Singgasana dan Kutu Busuk, Kisah Karna dan Dendam Kita serta beberapa karya lain.

Sobary merenungi hidup sebagai medan pencarian identitas yang tanpa ujung. Dalam sepenggal renungan, Sobary (2007; 18) insyaf: "Aku sering terkejut dan tak mengerti akan apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam hidupku sendiri. Hidup bukan kita yang punya. Kita, mungkin, hanya pengelola yang merdeka, yang bebas menggelinding ke mana kita suka, selama tak bertentangan dengan irama gerak cakramanggilingan, roda nasib, yang berputar di luar kendali manusia," ungkap Sobary.

Gus Tf Sakai lebih rumit dalam memahami jati diri, muasal budaya, dan konflik identitas. Dalam novel Tambo (2000), Gus Tf Sakai melukiskan puncak kegelisahan yang menghimpit. Gus Tf Sakai mencoba menghidupkan identitas Minangkabau dalam dirinya. Namun, usaha ini terhalang oleh tradisi yang mewariskan tambo sebagai nukilan sejarah yang tersambung dalam bahasa lisan. Gus Tf merasa, tambo yang selama ini dipahami, berkelindan di muara sejarah dan dongeng. Gus Tf bermain-main dalam kegamangan. Novel Tambo hadir dengan kesan dunia dan impian sekaligus. Gus Tf ingin mempertanyakan kembali muasal dan identitas budaya yang melahirkan dirinya. Dalam novelnya, Sutan--tokoh rekaan Gus tf--hidup di tengah kegelisahan tradisi kerajaan Pagaruyung. Konflik identitas dan kepentingan hadir selepas meninggal ayahnya, pada 22 Agustus 1364. Sengkarut hasrat kuasa, keinginan memerdekakan diri, dan mengabdi pada bundo kanduang menciptakan drama, tragedi, dan romantisme dalam ruas yang setara. Novel Tambo menginspirasi pencarian identitas di tengah silang sengkarut dongeng dan fakta sejarah.

Pencarian identitas juga menjadi kegelisahan Sindhunata. Novel Putri China (2008) menegaskan kecintaan Romo Sindhu pada ibu, dan kegelisahan akan identitas diri dan ibunya. Sindhunata menggerakkan inspirasi dan imajinasi dalam ruang rupa-kata. Novel ini terinspirasi dari peristiwa dahsyat Mei 1998 yang meremukkan identitas warga China negeri ini. Sindhunata juga terobsesi dan terlecut dari lukisan Putri China, karya Hari Budiono (Sindhunata menulis katalog Babad Putri China untuk mengiringi pameran ini).

Konflik identitas dalam novel ini berpijak pada sengkarut yang terjadi pada Kerajaan Medang Kamulan, dengan tragedi rebutan kekuasaan dan wanita. Gok Tien, putri China, yang menjadi istri Gurdo Paksi, menjadi korban cinta-dendam Jaya Sumenggah, lelaki yang mencintainya, tapi bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain, Prabu Amurco Sabdo juga menginginkan tubuh dan kecantikan Gok Tien di tengah derai konflik Jaya Sumengah dan Gurdo Paksi. Gok Tien menjadi korban kekejaman dan kelicikan penguasa bertopeng dusta. Cerita Gok Tien menjadi refleksi pencarian identitas yang menyelubungi sayap kehidupan perempuan China ketika konflik mengepung pada Mei 1998 lalu.

Pencarian identitas, konflik, dan muara tragedi dalam ruang sastra menjadi penarik inspirasi dan imajinasi menghasilkan karya bermutu. Konflik identitas menghasilkan ruang pemaknaan identitas, dan sastra merayakan pencarian sebagai orkestrasi dan luapan kreativitas.

* Munawir Aziz, Peneliti Sastra, Bergiat di Cepdes Jakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: