-- Frans Sartono
LAGU rasa melayu marak kembali. Lagu dari band seperti ST 12 dan Wali dijadikan nada sambung pribadi atau ring back tone oleh jutaan pengguna telepon seluler. Revitalisasi melayukah?
Band ST12 mampu menjual sekitar 10 juta nada sambung pribadi atau ring back tone (RBT) untuk album yang memuat lagu ”Saat Terakhir” dan ”Puspa” (singkatan dari putuskan saja pacarmu). Album fisik mereka yang dirilis awal Juli terjual sekitar 500.000 kopi.
”Itu belum termasuk penjualan RBT dari ST12 di Malaysia yang laku 350.000 lebih,” kata Yonathan Nugroho, produser Trinity Optima Record, perusahaan rekaman yang memproduksi album ST12.
Band Wali menjual sekitar 6 juta RBT untuk album pertama mereka. Hampir 90 persen dari aktivasi itu untuk lagu ”Dik”. Album fisiknya terjual 100.000 kopi. Untuk album kedua Wali yang memuat lagu ”Cari Jodoh” telah teraktivasi RBT sekitar 1.500.000.
Lagu seperti ”Puspa” dan ”Cari Jodoh” itu lazim disebut pop melayu. Ada yang menyebut lagu tersebut ibarat dangdut minus kendang. Disebut demikian karena Wali dan ST12 berformat band, bukan orkes melayu.
Di radio, lagu tersebut diperlakukan sebagai lagu pop. Di I-Radio FM 89.6, Jakarta, lagu ”Saat Terakhir” dari ST12 bahkan masuk charts atau daftar lagu populer. ”Selama masih dalam koridor pop dan pendengar suka, ya kita putar. Secara notasi, atmosfer lagu mereka mengarah ke melayu gaya Malaysia,” kata Bhita Harwantri, Music Director dari I-Radio.
Melayu Malaysia yang dimaksud adalah lagu-lagu model band Malaysia yang populer di Indonesia era 1990-an, seperti Iklim yang terkenal lewat ”Suci dalam Debu”. Juga Slam dengan ”Gerimis Mengundang”.
Namun, seberapa melayukah lagu-lagu ST12, Wali, dan sejenisnya itu? Kita tanyakan kepada Mara Karma, seniman musik asal Rengat, Riau, yang tumbuh dengan tradisi musik melayu. ”Lagu-lagu Wali dan ST12 itu bukan melayu. Tapi, dari notasinya seperti ada melayunya. Cengkok vokalnya seperti dangdut, tapi tidak total,” kata Mara Karma, yang menggarap lagu melayu ”Seroja” untuk film Laskar Pelangi.
Tren
Rasa melayu terasa sejak band Radja muncul lewat lagu ”Jujur” tahun 2005. Kemudian Kangen Band tahun 2007. Namun, pop melayu baru ”meledak” setelah ST12 datang dengan lagu sejenis ”Puspa” dan ”Cari Pacar Lagi” pada Juli lalu.
Kemudian menyusul Wali. Band yang semula memainkan musik rock itu pindah haluan menjadi pop melayu dan laris. ”Awalnya Wali itu agak rock. Kami arahkan mereka dari pop rock ke pop melayu,” kata Rahayu Kertawiguna, produser Nagaswara yang memproduksi album Wali.
Awak Wali mengakui pemelayuan itu. ”Kami semula tidak ada niat untuk jadi melayu. Lalu kami ikuti saja maunya industri,” kata Aan Kurnia (30) alias Apoy, gitaris Wali yang menyukai gitaris rock Steve Vai sampai Joe Satriani itu.
Sukses kedua band itu melahirkan band pembawa pop melayu. Tersebutlah Matta, D’Bagindas, Sembilan, Patent, Plat Band, The Potter’s, Luvia sampai Statim. Ada pula penyanyi solo pria Firman.
Memelayukan lagu pop memerlukan akal-akalan dan keterampilan. Bagi ST12, kunci rasa melayu terletak pada cengkok vokal Charlie. Pepep, pemain drum ST12, mengakui, salah satu referensi mereka adalah gaya nyanyi Saleem, vokalis band Iklim. ”Cengkok melayu itu yang kami sadur,” kata Pepep.
ST12 juga mentransfer bit gendang dangdut ke dalam permainan drum. Cara serupa juga digunakan Wali dengan menonjolkan permainan drum dan bas. ”Kami pakai aksen dan pola pukul dangdut. Kalau dikasih kendang sudah jadi dangdut he-he...,” kata Apoy.
Said Effendi
Lagu melayu tumbuh dari masa ke masa di masyarakat. Dalam catatan budayawan Remy Sylado, lagu Melayu lazim menjadi suguhan kelompok sandiwara keliling pada era 1920-an. Era 1950-an penyanyi Malaysia P Ramlee sangat populer dengan lagu Melayu yang disebut melayu Semenanjung.
Tahun 1957 Said Effendi (1924-1983) mematahkan dominasi P Ramlee lewat lagu sejenis ”Seroja” dan ”Fatwa Pujangga”. Muncul pula Hasnah Thahar dengan lagu ”Di Suatu Masa” serta Djuwita lewat ”Indah Alam”.
Piringan hitam Djuwita yang terjual 5.700 termasuk tertinggi saat itu.
”Tapi, melayu seperti tak perlu diperhatikan karena dianggap kampungan. Pemilihan Bintang Radio hanya memilih jenis seriosa, keroncong, dan hiburan atau pop,” kata Remy.
Pada pertengahan 1970-an hampir semua band utama membuat album melayu, seperti Koes Plus, Panbers, The Mercy’s, D’lloyd, sampai Bimbo. Kini di tengah maraknya pop melayu, penyanyi Iyeth Bustami memproduksi album melayu dari trio Bidadari. Ia menghadirkan kembali jenis lagu yang lebih dekat dengan jenis melayu Semenanjung, tetapi dikemas modern.
”Ini trik supaya orang suka melayu. Hati kita sebenarnya masih melayu, tapi kita sok gengsi,” kata Iyeth.
Menurut dia, melayu tengah merevitalisasi diri, mencari bentuk-bentuk barunya di tengah arus perubahan zaman. Iyeth berharap rasa melayu itu tidak layu.
Sumber: Kompas, Minggu, 4 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment