Sunday, October 04, 2009

[Persona] Liek Wilarjo: Sains, Humaniora, Nilai Keagamaan

-- Subur Tjahjono & St Sularto

LUGAS! Apa adanya! Sejak dulu sampai sekarang, Prof Dr Liek Wilardjo tetap sosok yang lugas. Tentang usianya 70 tahun, tanggal 24 September yang lalu, dia berkata, ”Tak ada yang istimewa. Biasa. Semakin tua. Sudah.” Kata orang usia 70 usia awal dari bonus? ”Tidak tahu saya.”

Ditemani Dr Soegeng Hardiyanto, dosen filsafat di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pak Liek—begitu panggilan akrab sesama koleganya—pertemuan kami siang itu menegaskan kesan Liek Wilardjo. Berlatar belakang disiplin ilmu Fisika, dosen UKSW itu merambah berbagai disiplin lain, seperti filsafat ilmu, bahasa, teologi, dan lingkungan hidup.

Prof Dr Bambang Hidayat, ahli astronomi ITB, salah satu dari koleganya hari-hari ini jadi teman ngerumpi. Gayung bersambut. Dua hari kemudian Bambang Hidayat mengirim surat ke Kompas. Di antaranya dia tulis, pemikiran Liek Wilardjo menerobos hampir setiap aktivitas kemanusiaan.

Berikut ini sebagian wawancara kami di ruang kerja Liek Wilardjo—Lantai II Gedung Pascasarjana UKSW Salatiga, 6 September. Salah satu alinea surat Bambang Hidayat pun menginspirasi kami untuk menaruhnya sebagai judul. Sains, humaniora, nilai keagamaan.

Anda termasuk yang menentang rencana pembangunan PLTN Gunung Muria.

Saya tidak mengatakan anti-PLTN. Saya anti-fisi, juga penggunaannya dalam PLTN. PLTN didasarkan pada pembelahan inti-inti besar. Mengapa yang sudah baik dan aman tersimpan di perut bumi, diudal-udal manusia, dibuat menjadi radioaktif dengan berbagai jenis dan berumur sangat panjang? Itu berbahaya bagi lingkungan, manusia, flora, dan fauna.

Apalagi kita, selain tinggal di daerah rawan bencana, juga tidak sepintar orang Jepang atau orang Jerman mengamankan instalasi itu. Mereka pun seperti Jerman, Swiss, Austria, Swedia, menentang energi nuklir. Walaupun sungguh-sungguh aman dioperasikan tanpa ada musibah, pertanyaan masih sama: bagaimana menangani limbahnya yang karsinogenik.

Akan tetapi, kalau betul klaim beberapa orang akan dibuat mesin besar yang dinamakan rubiatron sebagai usaha ”menjinakkan” isotop radioaktif atau setidak-tidaknya berumur pendek menjadi kenyataan, saya akan pro-PLTN.

Kalau nanti datang energi dengan fusi nuklir, saya akan setuju. Yang sudah melakukan itu Tuhan. Energi dari Matahari dan bintang-bintang itu Tuhan yang bikin dan menurut saya bagus.

Klaim menjinakkan isotop radioaktif itu akan terjadi?

Kemungkinan itu ada. Saya tak menafikan itu. Kita diberi akal budi yang bebas oleh Tuhan dan itu bisa dikembangkan asal kita sabar dan tekun. Manusia cenderung suka ambil jalan pintas. Selain nuklir, kan, masih banyak bahan energi lain yang belum dimanfaatkan. Kita gampang memutuskan, tetapi implikasi lemah.

Penentangan penggunaan PLTN hanyalah satu dari perhatian dan keprihatinan Liek Wilardjo. Aspek kepentingan kemanusiaan dia kedepankan, juga yang terakhir tentang ketidaksetujuannya soal perluasan pabrik semen Gresik yang mengorbankan lahan dan sumber air masyarakat.

Keprihatinan Liek yang lain menyangkut menipisnya rasa nasionalisme bangsa ini. Kesadaran masyarakat tentang tanggung jawab kepada masyarakat (civic duty) tipis sekali. Selain civic duty, soal moral, sama saja, soal ilmu pengetahuan dan teknologi juga sama.

Sejak dulu Indonesia tertinggal, sekarang masih tertinggal, dan besok masih akan tertinggal. Untuk memajukan Indonesia, keempat hal itu—nasionalisme, civic duty, moral, dan iptek—perlu ditingkatkan, di antaranya lewat bidang pendidikan.

Pada dasarnya saya setuju ujian nasional. Sayang kalau Indonesia tidak punya standar, bisa tidak karuan. Masakan seluruh Indonesia dianggap sama.

Yang perlu diperbaiki adalah cara melaksanakan. Prinsipnya baik. Di manakah di seluruh dunia ini, di negara maju sekalipun, yang sekolahnya tanpa standar? Semua punya standar. Malaysia, Thailand, Singapura sudah menerapkan itu.

Untuk meningkatkan pendidikan tinggi, apa usul Anda?

Mutu doktor lulusan Indonesia kan jadi masalah. Di tingkat ini saya bersikap apa adanya. Kalau lulus, ya lulus. Kalau jelek, ya dibilang jelek. Tidak usah main-main, wong calon doktor, ya tetap tidak lulus.

Begitu juga sikap saya soal pemberian gelar profesor yang memberi kesan mudah diberikan. Itu dagelan. Jumlah profesor banyak sekali. Kita tiru saja seniman. Biarkan masyarakat yang menilai. Kontribusi kita ada tidak. Seperti seniman dikasih gelar maestro. Si seniman kan tidak pernah minta. Affandi maestro dalam seni lukis, itu kan penilaian masyarakat. Rudy Hartono maestro bulu tangkis, itu kan dari masyarakat.

Anda punya harapan untuk negeri ini?

Ya harus. Kita tidak boleh pesimistis. Barusan ini kami e-mail-e-mail-an dengan teman-teman dekat. Terakhir dengan Bambang Hidayat. Dia baru melanglang buana. Kebetulan saya baru jadi juri lomba karya tulis se-Jateng dan DIY. Ada salah satu subtema tentang kebanggaan berbangsa yang berhubungan dengan nasionalisme. Subtema itu sepi sekali peminat. Artikel yang masuk bidang ini sedikit sekali, padahal subbidang lain banyak.

Data itu saya kirimkan ke Bambang Hidayat karena dialah satu dari ilmuwan kita yang tinggi rasa nasionalismenya.

Banyak sarjana dan ahli kita bekerja di luar negeri. Karena kurang nasionalis atau demi kepentingan pragmatis?

Kemungkinan yang kedua. Kita kurang menghargai mereka. Kita tidak ngopeni mereka. Gejala ini kelihatan sekali pada proyek BJ Habibie dulu. Mereka, anak-anak muda yang dikirim ke luar negeri sampai mencapai gelar PhD atau doktor di negeri-negeri yang maju, setelah pulang ditelantarkan.

Jadi tidak salah kalau mereka bosan, lalu lari ke luar negeri. Dalam hal ini usaha Habibie sudah betul. Cuma ketika saatnya ”panen”, dia sudah turun. Lalu yang meneruskan mungkin tidak tahu pikiran dia. Mungkin Habibie terlalu cepat berpikir dibandingkan teman-teman lain, dan terlalu cepat lengser. Sayang! Jumlahnya ratusan.

Selain perfeksionis, pegang prinsip, ketekunan pun menjadi bagian dari sosok Liek Wilardjo, bapak dua putra dan kakek dua cucu. Kebetulan-kebetulan pun menjadi kenyataan, termasuk dia ikut lolos tes belajar di luar negeri, kemudian menjadi pengajar tetap di UKSW, lembaga pendidikan yang selama ini menjadi tempat berkarier, termasuk dipercaya merintis program pascasarjana tahun 1987.

Anda doktor Fisika, kok tertarik banyak bidang, termasuk aktif memperkaya kosakata bahasa Indonesia.

Saya tidak tahu. Mungkin karena interaksi, pertemanan, dan kesempatan. Itu saja. Semuanya amatiran, tidak profesional.

Konon keteguhan sikap Anda mirip Pak Wilopo.

Dia sepupu saya. Putra Bude saya. Musuhnya Soekarno.

Ingat Pak Wilopo, ingat KPK sekarang dipreteli.

Iya, dipreteli. Memang kita suka korupsi, sih!

Apa makna usia 70?

Enggak ada. Biasa. Semakin tua. Di Jakarta, waktu terima penghargaan Kompas bulan Juni yang lalu bersama empat orang lain lagi itu, saya bilang, saya tidak menulis otobiografi karena tidak ada yang istimewa dalam hidup saya. Untuk apa ditulis?

Tetapi, orang lain melihat Anda istimewa.

Itu kelirunya orang lain. Orang yang dekat dengan saya bisa menilai lebih pas keadaannya seperti itu. Kadang-kadang saya ceplas-ceplos dan itu menyinggung orang. Ya, biasalah. Siapa yang tidak pernah tersinggung oleh saya.

Membimbing berapa kandidat doktor?

Cuma satu.

Kok, cuma satu?

Kemampuan saya sedikit.

Tentang Liek Wilardjo

• Nama: Prof Dr Liek Wilardjo • Lahir: Purworejo, Jawa Tengah, 24 September 1939 • Istri: dr Mariani Wilardjo, MS • Anak: 1. Sotya Fevriera, MSc2. Retno Maiabita, MSc • Pekerjaan: Dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah • Pendidikan: S-1 (1964) FIPA UGM, Yogyakarta, S-2 (1965) dan S-3 (1970) dari Michigan State University, East Lansing, Michigan, AS, dengan disertasi: ”A Complete Fourth-Order Vibration-Rotation Hamiltonian of H2O-Type Molecules.” Spesialisasi fisika molekul. • Penghargaan: 1. Doktor Honoris Causa (Dr HC) bidang Sains dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda (1990), gelar guru besar tahun 1997.2. Penghargaan untuk Pengembangan Peristilahan Fisika di Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1993) • Karier, antara lain:1. Pembantu Rektor Bidang Akademik UKSW, Salatiga (1973-1980) 2. Penyusun Kamus Fisika dan Kamus Umum Istilah Ilmu Dasar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud (1972-1998)3. Dekan Fakultas Teknik Elektro UKSW, Salatiga (1975-1980)4. Pembantu Rektor Urusan Perencanaan, Pengembangan, dan Penelitian UKSW, Salatiga (1981-1985)5. Ketua Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, Salatiga (1987-1990)

Sumber: Kompas, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: