-- Hary Tjahyono*
MARTABAT organisasi (organization dignity) merupakan elemen terpenting dalam konsep perilaku organisasi. Maka, sebuah organisasi tanpa martabat sesungguhnya sudah tidak bisa disebut organisasi lagi.
Proses untuk melenyapkan martabat organisasi ini adalah dengan lebih dulu mengikis eksistensi organisasi tersebut. Sedangkan cara mengikis eksistensi adalah dengan menghancurkan dan mengeksploitasi sumber-sumber dayanya (resources).
Itulah yang dilakukan Malaysia terhadap ”organisasi mahabesar” Indonesia! Dalam konteks hubungan kedua negara, Malaysia cukup berhasil menghancurkan eksistensi Indonesia dan akhirnya mengikis martabat bangsa Indonesia. Rentetan dosa Malaysia sudah susah dihitung, sampai belakangan lewat ”pencaplokan” tari pendet dan penyiksaan barbar terhadap seorang TKI oleh aparat Malaysia yang ditayangkan secara gamblang oleh sebuah stasiun TV swasta. Penyiksaan tak berperikemanusiaan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia barbar dengan naluri primitif binatang. Respons paling gampang untuk itu memang yang bersifat reaktif emosional: perang, hajar balik Malaysia, dan seterusnya. Namun, itu cuma melegakan hati sesaat belaka, bukan menyelesaikan substansi permasalahan.
Dalam konteks ini, ada dua pilar organisasi yang dikikis, yaitu sumber daya manusia (human resources) dan budaya (cultural resources). Segudang dosa Malaysia lewat eksploitasi dan penyiksaan terhadap para TKI kita menjadi bukti nyata bahwa SDM kita diperlakukan lebih buruk daripada mesin produksi. Bahkan mesin produksi pun masih dipelihara. Analoginya, kita ini ibarat perusahaan outsourcing yang mengirim karyawan kita kepada perusahaan pelanggan. Dan, di sana karyawan kita dieksploitasi seenaknya, tetapi kita tak berdaya apa pun.
Pengikisan sumber daya budaya tak kalah sadisnya, mulai dari lagu ”Rasa Sayange” yang dipakai jingle kampanye Truly Asia mereka sampai belakangan tari pendet, dan masih banyak lagi. Prinsipnya tak jauh beda dari proses pengikisan SDM sebuah organisasi. Pendeknya, semakin terkikis sumber-sumber daya sebagai pilar organisasi, semakin tergerus eksistensinya.
Proses pengikisan semacam ini sampai batas tertentu akan menghancurkan martabat organisasi. Beberapa elemen terpenting martabat organisasi, seperti nilai-nilai kebanggaan (pride) dan identitas diri (identity), tergerus habis. Di mata Malaysia, bangsa kita tak lebih dari segerombolan TKI liar yang bisa diperlakukan lebih buruk dari sebuah mesin produksi. Bagi mereka, simbol-simbol identitas dan kekayaan nilai (budaya) boleh dirampok seenaknya. Dan kita cuma bisa geram sebab tak berdaya akibat eksistensi dan martabat yang tergerus. Hanya bisa melongo.
Martabat
Eksistensi dan martabat organisasi bisa digembosi oleh pihak luar. Namun ingat, hal itu bisa dengan mudah dilakukan karena kita sendiri sebagai :orang dalam” organisasi, sadar atau tidak, juga lebih dulu melakukan berbagai penggembosan yang sama. Atau, setidaknya, sesuai dengan konsep perilaku organisasi modern, kita tak melakukan pemberdayaan organisasi (organization empowerment) yang selayaknya.
Maka, dalam konteks penggembosan oleh Malaysia ini, ada satu upaya pokok dalam melakukan pemberdayaan organisasi, yakni transformasi tugas kepemimpinan, khususnya jajaran tertinggi pemimpin bangsa ini. Transformasi tugas kepemimpinan itu menyangkut dua dimensi: tugas manajerial (managerial task) dan tugas komunikasi (communication task).
Tugas manajerial mencakup bagaimana para pemimpin memelihara, mengelola, mengembangkan, dan melegitimasi sumber daya budaya, bukan cuma menikmati dan menjualnya (ini tak ubahnya eksploitasi dalam bentuk paling halus). Pendeknya, tugas ini mulai dari yang bersifat administratif (lihat Yudhistira ANM Massardi, Kompas, 29/8) sampai pengembangan seperti memberikan dan mengelola nilai kreasi, inovasi, teknologi, serta eksposisi formal dan informalnya terhadap sumber daya budaya itu.
Terhadap SDM pun tak jauh beda, bagaimana mengelolanya sampai pada tingkat tertinggi eksistensi SDM dalam sebuah organisasi (Adrian Levy). Bahwa SDM lebih dari sebagai aset terpenting (not only the most important assets) sebuah organisasi, tapi bahkan sebagai organisasi itu sendiri (human resource is the company/organiztion itself, lihat ”Membangun Manusia Paripurna”, Kompas, 25/6). Kita jangan hanya bisa ”memakai” dan ”mengirim” SDM (TKI) kita ke luar negeri, ini juga tak lebih dari bentuk eksploitasi paling halus terhadap SDM.
Maka, salah satu tugas kepemimpinan terpenting terkait dimensi manajerial ini, merujuk pada John Maxwell, bagaimana pemimpin mampu menemukan dan memberikan tempat yang tepat bagi pengikutnya (SDM, rakyat). Banyaknya TKI ilegal yang disiksa dan dieksploitasi bak binatang di negeri tetangga merefleksikan bahwa mereka belum mempunyai dan menemukan ”tempat” yang tepat bahkan di negerinya sendiri. Maka, tugas kepemimpinan para pemimpin baru bukan hanya memenangi pemilu, ada yang jauh lebih penting: menyediakan sebanyak mungkin ”tempat” bagi rakyatnya agar tak berkeliaran ”liar” di ”tempat” (negeri) lain.
Tugas komunikasi menyangkut transformasi pola dan gaya diplomatik serta berhubungan, khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan sampai secara jitu.
Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan ”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi” (substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus kepalanya.
Menghadapi masalah eksistensi dan martabat bangsa seperti dalam konteks ini memang tugas mahabesar segenap komponen bangsa. Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada pada para pemimpin. Sebab, tugas utama pemimpin adalah menegakkan dan mengembangkan eksistensi serta martabat organisasi dan segenap anggotanya. Kalau tidak, buat apa ada pemimpin.
* Hary Tjahyono, Pengamat Sosial
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 2009
No comments:
Post a Comment