Friday, August 07, 2009

Wangi Kepak Sayap Merak

KEPERGIAN Wahyu Sulaiman Rendra mengentak kesadaran banyak pihak. Bukan hanya para penggiat seni yang kehilangan ”sang inspirasi”, kehilangan tokoh tempat belajar banyak hal: belajar tentang makna hidup seorang seniman, belajar menjadi berani berekspresi, serta belajar berani menanggung risiko hidup sebagai seorang seniman: dituding, dikejar hukum, bahkan hidup miskin.

Mereka yang bersentuhan langsung dengan hidup WS Rendra tak mampu mengungkapkan kebesaran seorang Rendra dengan kata-kata. Kalimat dan bahasa tak lagi mampu membungkus kebesaran seorang WS Rendra. Seorang besar tak pernah mati, seorang besar karyanya akan terus hidup.

Itulah antara lain yang diungkapkan oleh seniman, musikus, penyair, wartawan, penulis, dan dosen yang dihubungi Kompas secara terpisah Jumat (7/8). Sayap-sayap ”Burung Merak” itu berhenti berkepak, tetapi sisa kepaknya meninggalkan wangi.

Alfons Taryadi (73), penulis

Saya memandang WS Rendra sebagai penyair dan dramawan besar di Indonesia. Pengaruh syairnya besar dan sangat inspiratif. Dia mengungkapkan kepekaan sosial, hati nurani bangsa. Terjemahan Sopphocles pada akhir tahun 1970-an itu sangat inspiratif bagi perjuangan untuk meningkatkan harkat bangsa. Dia banyak tampil di TIM, dengan dewan kesenian, dia pernah kena cekal, namun dia pantang mundur.

Pada awalnya dia sangat orisinal. Dengan kata-kata sederhana dan keseharian tapi mengena, seperti ”Cinta sebagai buah air segar...” dari salah satu puisi Rendra, sebuah ungkapan perasaan yang jauh dari klise. Dia menggunakan kata-kata yang sehari-hari, bukan kata-kata yang muluk-muluk dari seorang pujangga. Bacaannya banyak dan dia juga agak terpengaruh oleh Federico Garcia Lorca, penyair Italia, itu sesuatu yang lain. Setelah era WS Rendra, teater agak mandek akhir-akhir ini. Di media juga jarang ada tulisan-tulisan tentang teater yang segar. Media massa banyak mengejar hal-hal yang sensasional saja.

Goenawan Mohamad (68 ), penyair, wartawan

Dalam dunia seni pertunjukan, Rendra datang dengan sebuah paradigma. Sejak Rendra kembali dari Amerika tahun 1967 dan memperkenalkan apa yang saya sebut ”minikata”, teater pun berubah dari pemanggungan sebuah teks menjadi peristiwa tak punya pusat. Garis batas definitif antara narasi dan bukan narasi hilang. Pelbagai kemungkinan terbuka.

Dalam puisi, Rendra menawarkan paradigma baru setelah puisi tahun 1945: cerah, penuh suara dan warna alam, lincah dan lancar, seakan menghidupkan lagi masa kanak-kanak yang segar dan polos. Ini kemudian memang berubah, bahkan puisi imajistis Rendra seakan-akan tersisih oleh dominasi verbal menjadi ”maksikata”. Tapi, sumbangan Rendra dari masa 1950-an tetap penting dan tak boleh diabaikan.


Jockie Surjoprajogo (55), musikus


Jockie yang antara lain pernah bergabung dalam Kantata Takwa bersama Rendra, Iwan Fals, Setiawan Djodie, dan kawan-kawan. Kalau boleh jujur, sejak mengenal Mas Willy di Kantata Takwa tahun 1989, alam kreativitas dan cara berpikir saya berubah dan menjadi terbuka. Dari Mas Willy, saya memahami fungsi kesenian dan peran serta tanggung jawab seniman dalam tata kehidupan; bahwa seniman tak boleh takut miskin, bahwa seniman mempunyai peran mengekspresikan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di sekitarnya. Ketika lingkungan kehidupan mereka bisa mengapresiasi dengan baik karya seniman, di situlah sebenarnya seniman telah mendapatkan penghargaan.

Dari Mas Willy, saya dan teman-teman musisi lain menyadari bahwa persoalan hidup terus bergulir, dan di situlah seniman berperan dalam mengekspresikan persoalan itu.

Niniek L Karim (60), psikolog, seniman


Dalam pandangan saya, WS Rendra adalah manusia yang setia pada naluri-nalurinya dan berani menjalaninya dengan mantap. Norma baginya adalah norma WS Rendra, bukan norma umum. Dia sangat setia kepada moral bahwa kebebasan tiap manusia harus dihargai dan dipelihara karena dengan begitu, tiap orang bisa melaksanakan suratan tugasnya sehingga bisa berarti bagi diri sendiri ataupun lingkungan. WS Rendra berani nyeleneh karena dia sangat tahu dan yakin akan pilihannya. Dia siap menghadapi telunjuk masyarakat. Untuk semua itu, dia berjalan ringan... sehingga kepak sayap meraknya bisa setinggi langit.

Tidak ada yang bisa membeli integritasnya sebagai pejuang yang merasa harus melaksanakan suratan tugas yang tergariskan baginya, berupa bakat dan minat dalam kesusastraan. Kata demi katanya, menurut Sapardi Djoko Damono, berupa sihir lebih unggul dari bedil. Kita harus berpuji syukur punya Chairil Anwar, punya WS Rendra, punya para seniman pahlawan almarhum/almarhumah lainnya dengan memelihara spirit dan karya mereka. Ingat, kita masih banyak punya seniman-seniman pejuang yang bisa jadi suar harap kaum muda Indonesia, bahwa kita tak perlu jadi bangsa yang kerdil.... Terima kasih para pahlawan, terima kasih Tuhan.

Sitok Srengenge (44), penyair

Secara pribadi saya menganggap Mas Willy sebagai guru, bapak asuh, sekaligus sahabat. Mas Willy orang pertama yang mengingatkanku, seniman itu bukan profesi coba-coba. Seniman itu pilihan hidup, itu jalan hidup. Sitok yang memiliki nama asli Sitok Sunarto bergabung dengan Bengkel Teater Rendra selepas SMA Negeri I Semarang tahun 1985.

Aku bergabung dengan Bengkel karena ingin belajar banyak hal, tidak harus menjadi seniman. Kebetulan juga tidak punya biaya untuk kuliah. Setelah setahun bergabung dan menjalani berbagai disiplin dan pelatihan ketat, saya bisa melanjutkan kuliah di IKIP Negeri Jakarta. Semua biaya kuliah disubsidi Bengkel Teater sampai selesai. Di luar soal itu, Bengkel Teater Rendra mengajarkan soal loyalitas dan pengabdian untuk setia kepada hati nurani. Oleh karena itu, setiap anggota harus disumpah dengan Prasetya Bengkel Teater. ”Dia harus memegang sumpah itu. Sekali menjadi anggota dia tidak bisa keluar sebelum mengundurkan diri dan itu diterima oleh anggota inti,” kata Sitok.

Laksamana (Purn) Sudomo (82), mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

Dengan kepergian Rendra, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Rendra adalah seorang budayawan besar yang berani mengkritik pemerintah melalui puisinya tanpa takut akibat yang timbul.

Sutardji Calzoum Bachri (68), penyair


WS Rendra adalah penyair besar dengan karya besar. Banyak seniman punya karya besar, tetapi tidak punya kepribadian besar. Rendra mempertautkan antara orang besar dan karya besar. Dia punya integritas, dignity.

Ketika Rendra meninggal, saya kehilangan orang, sosok, dan tingkah polah yang bisa menjadi teladan. Tetapi, saya tidak bersedih atas meninggalnya WS Rendra karena Rendra sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar.

Seperti halnya Shakespeare, sekadar menyebut contoh, Sutardji yakin kesenimanan Rendra berikut karya-karyanya akan dikaji ulang dari generasi ke generasi. Kalaupun ada kesedihan, hanya karena bersamaan berpulangnya WS Rendra, ikut pergi pula citra, image, serta integritasnya tinggi. Sikap dan pesona Rendra—baik sebagai pribadi dalam keseharian maupun saat di atas panggung—menarik dan riil.

Dia banyak menyumbang bagi sejarah kepenyairan di Tanah Air. Dalam hal baca puisi, dia menyajikan puisi di atas panggung menjadi menarik. Tidak kaku, formal, atau sekadar pakai piano dan dinyanyikan mengalun-alun. Dia tampil lugas, bagus, dan menggunakan segala perangkat dari unsur-unsur teatrikalnya. Mulai dari vokal, gestur, mimik, tata panggung, blocking, dan sebagainya, untuk memastikan pembacaan puisinya menjadi menarik. ”Yang kita harapkan, munculnya seniman-penyair baru dengan karakter-karakter yang menarik dan—tentu saja—berintegritas tinggi...”

Prof Toety Heraty (75), penyair, dosen filsafat

Guru besar filsafat Toety Heraty mengingat Rendra sebagai sosok yang kepenyairannya memberi pengaruh sangat besar bagi Indonesia. ”Mas Willy adalah simbol dari suatu generasi dan ekspresinya selalu memihak rakyat kecil,” kata Toety.

Toety mengenang tahun 1966 ketika Rendra, yang ketika itu namanya sudah terkenal di dunia kepenyairan, datang mengunjungi Toety di rumahnya. Toety ketika itu baru pindah ke Jakarta. ”Saya mendapat kehormatan ketika Rendra datang dan menganggap saya sebagai sesama penyair. Saya waktu itu baru mulai menulis,” kenang Toety, yang bersama-sama Rendra membacakan puisi saat guru besar sastra dari Universitas Leiden, Belanda, A Teeuw, yang menaruh perhatian terhadap sastra Indonesia membuat pidato perpisahan pada pertengahan 1980-an.

Menurut Toety, terutama pada masa mudanya, Rendra sangat berpengaruh dan memberi inspirasi kepada banyak orang, termasuk dirinya. Dia menyebut puisi-puisi Rendra sudah memesona, ditambah dengan cara Rendra membawakan, memberi pengaruh yang besar. ”Kami bersama-sama menjadi anggota Akademi Jakarta. Saya tidak bisa membayangkan Mas Willy tidak hadir lagi di dalam pertemuan kami,” kata Toety, yang setahun lebih tua.

Toety mengaku agak merasa bersalah karena berniat menjenguk Rendra dua pekan lalu, tetapi tidak sempat karena satu dari dua putri kembarnya harus berobat dan yang lainnya menikah. Kamis (6/8) pagi Toety mendapat kabar Rendra berada di rumah putrinya di Depok dan berniat menjenguk, tetapi mendapat jawaban Rendra tidak dapat ditengok karena sedang berobat jalan. Toety mendengar kabar berpulangnya sang penyair ketika di Bandung untuk menemani tamunya dari Sri Lanka ke perkebunan teh Malabar, Jawa Barat. (CAN/IAM/ISW/KEN/NMP/OSD/XAR)

Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009

No comments: