Sunday, August 09, 2009

Rendra dan Suluk Indonesia

-- Herry Dim*

MALAM itu, di pelataran Candi Cetha, Surakarta, menjelang tibanya pergantian waktu memasuki masa millenium ke-3, sejumlah orang dari berbagai latar agama berkumpul membentuk lingkaran. Sebagian lagi adalah penyair, seniman/budayawan, aktivis, dan masyarakat setempat. Yang tidak ada adalah wartawan atau kalangan pers; dalam arti mereka yang hadir cenderung memosisikan diri sebagai "orang biasa" ataupun sebagai insan budaya. Maka yang terjadi tidaklah menjadi berita karena memang bukanlah itu tujuannya. Kelak setelah separuh hari memasuki abad baru, barulah Rendra membacakan "Suluk Penyair" secara terbuka di Taman Budaya Surakarta.

Di bawah cahaya rembulan dan tanpa bantuan cahaya lain di pelataran Cetha, gerimis tetapi semua orang tak beranjak; acara dibuka dengan wayang suketnya Slamet Gundhono, disambung dengan pembacaan puisi indah karya Ahmad Subhanuddin Alwy dalam bahasa Cirebon, lantas tarian Ine Arini di bibir tebing gerbang candi, untuk kemudian beralih ke pembacaan doa secara bergilir dari masing-masing agama.

"Ada yang gawat di depan kita, Kang. Karena itulah Mas Willy (panggilan akrab Rendra-Red) menyelenggarakan acara ini demi persiapan kita semua. Bangsa ini akan menghadapi masa yang berat di awal abad baru yang akan datang," bisik Ken Zuraida jauh sebelum acara di Cetha itu berlangsung.

Kegawatan yang diduga akan terjadi di masa depan itu tentu saja bukanlah ramalan ilmu nujum. Mas Willy melihat akan adanya kegawatan itu berdasarkan kenyataan yang sebelumnya terjadi di negeri ini. Di dalam "Suluk Penyair" antara lain terungkap sebagai berikut: "Tetapi segera aku terkesiap. Terbayang di dalam pikiran hutan di Kalimantan bergetah darah. Kebun nilam di Aceh berbunga luka-luka. Di Ambon ombak lautan berwarna merah dan menjelma menjadi kobaran api... tiba-tiba aku mendengar pekik pilu cenderawasih yang terluka menggelepar, tersangkut di ranting pohon di hutan Irian Jaya."

Itulah metafora dari sesusunan peristiwa Sampit, rangkaian tindak kekerasan di Aceh, perang lokal di Ambon, tercabiknya nasib sebagian masyarakat Papua oleh ketidakadilan. Rendra melihat bahwa riwayat perih tersebut berpotensi mengembang dan/atau secara langsung atau pun tak langsung beranak-pinak ke dalam berbagai bentuk konflik dan kekejian yang lain. Akarnya, tercermin di bagian lain suluk itu, "...ruh dan iman telah menyerah kepada fitnah. Kehilangan pendirian... Akal sehat merosot menjadi tipu daya... agama menjadi sekadar pakaian dan lencana..."

Kemudian pada bagian lain suluk tersebut, "...kami telah mengazab diri kami sendiri, rela ditindas oleh pemerintah, para politisi, para birokrat, dan teknokrat yang melecehkan intelektualitas, nilai-nilai moral dan budaya..."

Seperti kita ketahui, setelah "ramalan" itu, berbagai kejadian dalam bentuk rangkaian peristiwa bom saja terjadi sebagai berikut: Tahun 2000, di Kedubes Filipina, Jakarta; Kedubes Malaysia, Jakarta; Gedung Bursa Efek Jakarta; dan malam Natal, Jakarta. Tahun 2001 di Plaza Atrium Senen, Jakarta; Restoran KFC, Makassar; dan sekolah Australia, Jakarta. Tahun 2002, malam Tahun Baru di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta; Bali 12 Oktober; dan Restoran McDonald`s Makassar. Tahun 2003, di Kompleks Mabes Polri, Jakarta; Bandara Cengkareng, Jakarta; dan J.W. Marriott, Jakarta. Tahun 2004 di Cafe, Palopo, Sulawesi; Kedubes Australia, Jakarta; dan Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah. Tahun 2005, dua bom di Ambon; Pamulang, Tangerang; Bali; dan Palu. Tahun 2009, di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta.

Chaotic yang mengguncang Indonesia terjadi pula pada tataran politik, gonjang-ganjing lembaga hukum, keterpiuhan dan krisis ekonomi, dan bahkan amuk alam dalam berbagai bencana seperti tsunami, gempa, tanggul jebol, sejumlah pesawat jatuh dengan korban massal, hingga lumpur Sidoarjo, dan lain-lain.

**

Seperti yang kemudian tercetus di dalam salah satu sajaknya: Kesadaran adalah matahari//Kesabaran adalah bumi//Keberanian menjadi cakrawala//Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata//. Rendra tak mau berhenti hanya di batas pembacaan suluk, orasi, atau pidato. Ia dengan segala keterbatasan dan/atau secara swadaya, menggalang sejumlah kerabat untuk berkeliling dari satu kota ke kota lainnya, dari satu kantung komunitas ke kantung komunitas lainnya.

Forum-forum yang dijalankan pun beragam karena bergantung titik tujunya masing-masing. Bisa semodel penyadaran demokrasi yang kerap juga dipandu oleh Eep Saefulloh Fatah, temu wicara, diskusi, pentas seni, hingga pemberdayaan komunitas (community development). Sebagai catatan, sebatas yang sempat penulis ikuti saja adalah forum-forum yang berlangsung di Surabaya, Surakarta, Batu (Malang), Bandung (Studio Pohaci dan Rumah Nusantara), Aceh, dan tentu saja Jakarta.

Kontak telefon yang paling terakhir terjadi dengan penulis, ia sempat berencana dalam semangat kebangkitan serta perjuangan yang sama. Di dalam percakapan yang berlangsung tak kurang dari empat puluh menit itu, Mas Willy berkata, "Kita bikin pameran lukisan, Dik Herry... tapi kita pilih seniman-seniman muda yang punya semangat juang... jika perlu, malah jangan ragu-ragu pakailah puisi-puisi saya untuk lukisan-lukisan itu..." Disebabkan ia bertanya siapakah kiranya dari Bandung yang mungkin diajak, maka pada malam percakapan terakhir dengan penulis itu, saya menyebut Tisna Sanjaya, Diyanto, Acep Zamzam Noor, Isa Perkasa, Arman Jamparing, Dede Wahyudin (maaf, memang sebatas itulah yang melintas di dalam percakapan yang tiba-tiba tersebut).

Di seberang sana, Mas Willy menutup percakapan dengan mengatakan, "Baik, pekan depan saya akan ke Bandung, kita ketemu dan kita bicarakan ini ya..."

Saya menunggu, tetapi yang muncul beberapa pekan kemudian adalah berita Mas Willy masuk rumah sakit, sampai akhirnya ia berpulang.

Di atas kendaraan menuju Bengkel Teater, Cipayung Jaya, Depok, saya membaca SMS kiriman Tisna Sanjaya, "Innalillahi wa innailaihi roji`uunn... kami turut berduka cita atas wafatnya Mas Willy (Rendra), seniman sejati, guru bangsa, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Lailahailallah." Amin.***

* Herry Dim, pelukis, aktivis teater, budayawan.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Agustus 2009

No comments: