Sunday, August 09, 2009

[Refleksi] Sang 'Messiah'

-- Djadjat Sudradjat

SEORANG besar, seorang raksasa kata-kata, telah berpulang. Kami meratapinya dengan kesedihan tak terperikan. Seorang yang tanpa lelah terus melawan keadaan untuk menyelamatkan Indonesia, menyelematkan orang-orang yang terpinggirkan. Ia berpulang dalam keagungan, diriiringi sedu-sedan juga doa orang-orang yang mencintai.

Willybrodus Surendra Broto Rendra, orang besar itu, Kamis (6-8), telah menutup seluruh perjalanan hidupnya yang panjang sejak ia dilahirkan 7 November 2009. Jantungnya yang bermasalah tak memberi kesempatan seluruh nadi memompakan darah ke seluruh tubuh, ia bernapas lebih panjang. Tapi, akhirnya kita harus percaya pada sebuah takdir: bahwa kematian suatu yang niscaya.

Inilah perkabungan saya untuk yang ke sekian kali karena kehilangan orang besar yang berkhidmat di bidang kebudayaan. Sekurangnya inilah yang saya rasakan ketika Sutan Takdir Alisyahbana, Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Teguh Karya, dipanggil Sang Khalik. Mereka orang-orang yang menjadi lokomotif kereta kebudayaan.

Kami menyapa orang besar yang baru menghadap Sang Khalik itu, Mas Willy. Orang ramai mengenalnya sebagai W.S. Rendra (Wahyu Sulaeman Rendra), nama yang dilekatkan sejak ia berpindah agama dari Katolik ke Islam pada 1970-an. W.S. Rendra seorang seniman yang lengkap. Seorang penyair, dramawan, aktor teater/film, pembaca puisi yang tak tertandingi, dan aktivis kemanusiaan yang tekun dan berani.

Dalam banyak kesaksian, Mas Willy adalah guru yang mengharuskan para muridnya lebih pandai dan boleh memarahi gurunya jika sang guru bersalah. "Sebagai guru, ia menjadi sangat istimewa. Sebab, selalu mau membagikan seluruh ilmunya. Posisi almarhum sungguh tak bisa tergantikan. Ia terlalu besar," kata dramawan Putu Wijaya yang pernah menimba ilmu di Bengkel Teater Rendra.

Pada tahun 1970-an W.S. Rendra keluar masuk kampus, membacakan sajak-sajaknya di Universitas Indonesia, Istitut Teknologi Bandung, dan almamaternya sendiri, Universitas Gadjah Mada. Ia memberi penyadaran bahwa kaum intelektual mestilah paham akan realitas masyarakatnya. Bahwa kekuasaan yang represif mesti "dicairkan".

Menurut sang penyair ini "perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Dan ia meyakini mantra kata-kata itu. Ia ikrarkan sajak-sajaknya sebagai perlawanan. Dan, pasti, kekuasaan Orde Baru yang represif memenjarakannya. Setelah bebas, ia tetap dilarang beraktivitas di atas pentas, dan hak hidupnya sebagai manusia dibatasi. Ia dipersulit mencari penghidupan....

***

TETAPI, nyali penerima banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri, itu tak patah. Ia bahkan mengkritik pedas, "penyair-penyair salon/yang bersajak tentang anggur dan rembulan/sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya/dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan/termangu-mangu di kaki dewi kesenian." (Sajak Sebatang Lisong, 1977).

Mas Willy, semua karya dan aktivitasmu menyatu. Tak ada perbedaan antara yang tersurat dengan laku hidupmu. Sebagai penyair kau hidup di tengah realitas Indonesia yang sesungguhnya, bukan di dunia lain. Kau telah memilih seni yang terlibat. Karena itu, kau marah pada negara yang bertekuk lutut pada asing dan tak berdaya membebaskan rakyat dari kemiskinan.

Mas Willy, ada sesal yang tak tertahankan, sebab niat menjengukmu ketika masih dirawat di rumah sakit tak jua terlaksana. Dan, kabar mautmu menutup seluruh niat perjumpaanku denganmu. Pasti.

Saya mengenangmu pada pertemuan pertama. Inilah kekaguman yang tak tertahankan. Ketika pertama kali melihatmu, di forum "20 Sastrawan Bicara" di Taman Ismail Marzuki, 1982. Dengan baju seragam sekolah menengah, kami (saya dan beberapa kawan) memandang tak berkedip sosokmu yang penuh marwah. Duduk di balkon mengenakan kaus putih, jins, dan rambut gondrong khas anak muda masa itu. "Inilah Si Burung Merak yang istimewa itu," saya membatin.

Saya bergetar ingin membuka kata tapi tak sampai. Saya hanya ingin mengatakan maaf, karena pernah mengklaim sajak Surat Cinta yang menggetarkan itu sebagai sajakku. "//Kutulis surat ini/kala hujan gerimis/bagai bunyi tambur yang gaib,/Dan angin mendesah/mengeluh dan mendesah,/Wahai, dik Narti,/aku cinta kepadamu!//" Saya ganti "dik Narti" dengan nama "bidadari" di kelas kami, heemm.

Sejak itulah sajakmu, Mas Willy, kian menyihirku setiap kau membacakan sajak-sajaknya. Sebab, kata-kata menjadi berjiwa. Saya, mungkin juga ribuan yang lain, terinspirasi oleh kata-kata berjiwa itu.

Saya masih ingat ketika wawancara di sebuah rumah di Jalan Mangga, Depok, Jawa Barat. Sebuah rumah yang sempit, tetapi dihuni oleh orang besar. Saya memesan sajak untuk sebuah edisi khsusus Media Indonesia, sang penyair memintanya bayar di muka. Begitu selalu adatnya setiap kami memesan puisi kepadanya. Tetapi, kami suka.

Mas Willy, pada perkabungan yang dalam ini, saya mengenangmu suatu hari di Bengkel Teatermu, di Citayam, di rumah panggung bergaya Lampung, kami makan siang nasi merah, sambal terasi, dan aneka sayur. Mas Willy, saya terus mengingat bicaramu yang penuh pesona tentang "daulat manusia", "daulat hukum", juga tentang tradisi yang dihancurkan. Padahal, seperti dalam kesaksianmu tradisi adalah sumber karya-karyamu. Tradisi telah membimbingmu.

Mas Willy, meskipun Indonesia yang kau "bebaskan" belum berjalan lempang, saya percaya Anda berpulang dengan bahagia. Selamat jalan, sang messiah. ***


Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Agustus 2009

No comments: