MENINGGALNYA seniman besar Wahyu Sulaeman Rendra (W.S. Rendra), Kamis (6-8), terus menyisakan duka mendalam. Di berbagai kota, rasa kehilangan itu diekspresikan dengan berbagai bentuk untuk memberi penghormatan terakhir kepada dramawan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 itu.
Penghormatan terhadap W.S. Rendra dengan doa, pembacaan puisi, dan renungan, selain digelar di Bengkel Teater Cipayung, Depok, juga di lakukan Solo, Jember, Gorontalo, dan Palembang. Sangat mungkin acara serupa akan terus berlangsung di berbagai tempat, mengingat sajak dan aktivitas W.S. Rendra memang sangat melekat di hati masyarakat Indonesia. Ia memang seniman menulis dan "bertindak".
Tadi malam, Bengkel Teater menggelar tahlilan yang dilakukan para seniman dan masyarakat sekitar. Menurut anggota Bengkel Teater Rendra, Kalong Hasibuan, keinginan masyarakat untuk mengadakan tahlilan luar biasa besar. Tahlilan ini, kata dia, adalah bentuk penghormatan masyarakat kepada almarhum. Menurut Kalong, ini juga semacam pesan, agar ia dan kawan-kawan seniman harus terus berupaya menghidupkan kejayaan Bengkel Teater Rendra meskipun sang maestro telah wafat.
"Selain ingin dimakamkan di bawah pohon petai dan pohon kuini,
Rendra juga ingin sekali mementaskan naskah drama Yunani sebelum dia meninggal, tapi tidak sempat tercapai," kenang Kalong menambahkan.
Di Gorontalo, para mahasiswa, aktivis, dan jurnalis membacakan sajak-sajak Rendra di depan pintu gerbang Universitas Negeri Gorontalo. Mereka membacakan sajak-sajak Rendra yang memang sudah sangat melegenda, seperti Sajak Sebatang Lisong, Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta, Nyanyian Angsa, Blues untuk Bonnie, Orang-orang Miskin, Sajak Sebotol Bir, dan Aku Tulis Pamplet Ini.
Sejumlah puisi Rendra sengaja dibacakan di tempat terbuka, mengingat banyak dari karya Rendra yang berbentuk pamflet hingga mudah dimengerti orang awam. Rendra memang penyair yang terlibat secara intens dengan realitas sosial bangsanya. Ia tidak bersajak tentang "rembulan" dan "anggur".
"Yang jelas, bangsa ini kembali kehilangan satu penyair terbaik, dan penyumbang nilai kebudayaan yang patut dicatat dan mendapat tempat," ujar koordinator acara Zulkipli Lubis.
Di Jawa Timur, di tempat masing-masing, mahasiswa Universitas Jember dan mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, juga menggelar aksi serupa. Dengan sangat atraktif para mahasiswa Unair membacakan 80 puisi karya penyair yang dijuluki Si Burung Merak itu.
Koordinator aksi Jongko Susilo mengatakan aksi mengenang W.S. Rendra untuk mengingatkan para seniman agar tidak berhenti berkarya. Seperti yang dilakukan W.S. Rendra yang hingga menjelang kematiannya masih tetap menulis sajak.
Berbagai penghargaan kini juga mulai mengemuka untuk diberikan kepada penyair besar itu. Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) Parni Hardi mengusulkan dibentuknya W.S. Rendra Awards untuk penghargaan bagi kesenian dan kebudayaan di Indonesia.
"Agar nantinya ada W.S. Rendra Awards bagi penghargaan untuk kesenian atau budaya, termasuk mengenai keberanian," kata Parni Hadi. Budayawan dan aktivis politik juga mengusulkan penghargaan serupa.
Indonesia memang kehilangan orang besar seperti W.S. Rendra yang karya-karyanya merupakan kesaksian pergulatan bangsanya. Ia menulis dengan kepekaaan dan memperjuangkannya secara intens dan penuh keberanian. Benar kata penyair Sutardji Calzoum Bachri, Rendra seniman besar dengan kepribadian besar. Seorang besar sesungguhnya tidak akan mati. Nama dan karya-karya W.S. Rendra akan tetap abadi. X-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment