-- Oyos Saroso HN*
W.S. Rendra, sang fambloyan yang akrab disapa Si Burung Merak, wafat Kamis malam, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ia meninggal dengan tenang, Kamis malam (6-8) dalam keadaan Islam.
Bagi sebagian seniman dan masyarakat Indonesia, Rendra--lebih akrab disapa Mas Willy--adalah tokoh besar yang sangat dihormati. Ia bak magnet atau sihir yang membuat orang berbondong-bondong mendekat padanya, ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sahabat yang menenteramkan. Bengkel Teater Rendra yang ia kelola bersama istrinya di atas areal sekitar 2 hektare di Citayam, Depok, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlatih teater, tetapi juga menjadi "universitas kehidupan" bagi banyak orang.
Saya termasuk bagian kecil dari kelompok yang berbondong-bondong itu. Saya merasa beruntung karena bisa menuntaskan ambisi saya untuk bisa bertemu Rendra, belajar padanya, dan mengenalnya lebih banyak. Saya memang tidak seberuntung Sitok Srengenge, kawan lama yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan menjadi kakak kelas saya di Universitas Negeri Jakarta. Pasangan Sitok dan Farah Maulida (Farah juga kakak kelas saya di UNJ) pernah sangat dekat dengan Rendra karena menjadi anggota Bengkel Teater Rendra, sementara saya hanya sesekali saja bertemu Rendra. Namun, saya banyak belajar dari dia: tentang sastra, kebudayaan, dan kehidupan.
Saya ingat pada sebuah penggal sore, saya dan Sitok datang ke rumah pribadinya di Depok pada Oktober 1991. Saya diajak Sitok untuk "merayu" Mas Willy agar mau datang ke UNJ untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka Bulan Bahasa yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mas Willy harus dirayu karena bukan perkara mudah meminta dia menjadi pembicara. Maklum, saat itu merupakan "zaman gawat": Mas Willy dicekal di banyak tempat karena kevokalannya mengkritik Orde Baru.
Ketika Mas Willy memastikan bisa hadir, persoalan baru muncul: berapa saya harus memberi honor Mas Willy. Kata Sitok, "Beri saja yang dibutuhkan dia saat ini! Kalau bisa memberi dia sapi dan kerbau dia akan lebih senang!"
Setelah konsultasi dengan Sitok, akhirnya saya putuskan kami (para mahasiswa jurusan) akan memberi Mas Willy mesin ketik merek Brother! Kalau tidak salah harga mesin ketik itu pada saat itu Rp300 ribu.
Persoalan muncul kembali ketika pihak kampus tidak mau menanggung risiko jika "ada apa-apanya" berkaitan dengan kedatangan Mas Willy. Sebagai ketua panitia, saya harus minta izin kepada Polres dan Kodim Jakarta Timur. Saya menolak dengan alasan seminar merupakan kebebasan mimbar yang menjadi otoritas rektor.
Saya tetap nekat mendatangkan Mas Willy dengan risiko apa pun. Akhirnya Mas Willy pun benar-benar datang. Gedung Teater Besar UNJ penuh pengunjung. Rektor UNJ Prof. Dr. Conny R. Semiawan pun hadir. Bahkan Bu Rektor menjadi peserta aktif. Itulah kali pertama, seingat saya, Mas Willy kembali bisa datang ke kampus setelah beberapa waktu lamanya dicekal dan dilarang berbicara di kampus-kampus di Indonesia.
Saya lebih mengenal Mas Willy ketika saya menyusun skripsi. Karena yang saya teliti adalah drama Panembahan Reso karya Rendra, mau tak mau saya harus sering konsultasi dengannya. Selebihnya saya mengenal dia dari buku-buku yang ditulisnya dan dari para muridnya. Salah satunya yang terpenting adalah dari Jose Rizal Manua, guru teater saya. Mas Jose, orang Padang yang fasih berbahasa Jawa, adalah guru teater yang baik. Ia menurunkan banyak ilmu dari Rendra kepada para anak asuhnya.
Saya merasa berutang budi kepada Mas Willy karena berkat dorongannyalah saya menekuni dunia jurnalisme dan sastra. "Jadi apa pun asal ditekuni dan konsisten pasti akan ada hasilnya," kata dia.
Salah Sangka Tentang Rendra
Rendra lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra, di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Lahir dalam keluarga Jawa lingkungan keratun dan agama Katolik, Rendra akhirnya menempuh hidup "urakan" sebagai seniman teater. Sepulang dari Amerika Serikat, pada 1961 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.
Namun, grup ini tak lama kemudian terhenti karena ditinggal Rendra pergi belajar ke Amerika Serikat. Setelah Rendra pulang belajar dari Amerika, pada 1967 Bengkel Teater kembali hidup. Beberapa tahun kemudian Bengkel Teater pindah ke Citayam, Depok, dan lebih dikenal menjadi Bengkel Teater Rendra.
Selain sebagai seorang seniman--yang melahirkan banyak karya puisi dan naskah drama--publik mengenal Mas Willy sebagai seorang budayawan tangguh. Pemikirannya tentang kebudayaan termasuk brilian. Ia juga terkenal sebagai pribadi yang terbuka dan penolong. Pada era 80-an hingga 90-an, seniman rasanya belum menjadi seniman jika belum pernah mengunjungi Bengkel Teater. Grup teater pun sering akan merasa "absah" jika sudah bisa pentas di Bengkel Teater Rendra. Bengkel Teater Rendra pada masa itu benar-benar menjadi oase bagi para seniman, selain Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Sebagai seniman dan budayawan, tak ada orang yang meragukan konsistensinya. Mas Willy adalah sedikit dari penyair-dramawan Indonesia yang mendedikasikan hidupnya untuk sastra dan drama. Meski begitu, seiring dengan popularitasnya yang tidak pernah pudar sepanjang lebih dari 40 tahun, ada juga sisi hidup Mas Willy yang dinilai minor. Di antaranya soal poligami yang dilakukannya. Tiga istrinya: Sunarti, Sitoresmi, dan Ken Zuraida pernah tinggal satu atap. Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Ketika menikahi Sitoresmi pada 1970, Mas Willy masuk Islam. Nama W.S. Rendra yang sebelumnya kepanjangannya Wilibrordus Surendra Broto Rendra diubah menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Belakangan, ia lebih senang disebut Rendra saja. Proses menjadi mualaf juga menjadi cibiran banyak orang. Banyak orang ketika itu menuding Rendra masuk Islam demi bisa mendapatkan Sitoresmi. Namun, publik akhirnya bisa menilai Rendra tetap Muslim sampai wafatnya. Bahkan, Mas Willy tampak makin zuhud setelah naik haji.
Saya tersenyum simpul ketika membaca penuturan Mas Willy yang minta ampun pada Tuhan karena semua yang dia minum saat berhaji "air zamzam sekalipun" rasanya seperti minuman keras merek Chevas Regal. Itu karena meskipun sudah bergelar haji kebiasaan lama Mas Willy minum minuman beralkohol masih jalan terus.
Kata dia, "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Menurutnya, ia betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga ia ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!"
"Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi." (Albaz-dari buku Saya memilih Islam Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press,
website : http://www.gemainsani.co.id oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com).
Sepak terjang Rendra memang sering membuat orang salah sangka tentangnya. Ketika ia menikahi Sitoresmi, banyak orang menyangka ia gila popularitas. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR dan Rendra datang untuk meneriakkan dukungan dan membacakan puisi, banyak orang menilai ia sedang cari muka. Ketika ia membaca puisi saat deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo di TPA Bantargebang, banyak yang menyangka Rendra sudah partisan. Saya pun termasuk yang salah sangka dan ikut jengkel dalam hati ketika Rendra runtang-runtung dengan Setiawan Jody saat acara konvensi Golkar menjelang Pemilu 2004 lalu.
Setelah saya renungkan, inti dari salah sangka itu lantaran Mas Willy ingin menjadi manusia merdeka yang memiliki moralitas otonom (dalam pengertian Kantian). Ia ingin menjadi dirinya sendiri yang selalu memihak si lemah. Ia tidak ingin berada dalam arus kekuasaan. Makanya, dalam pelbagai kesempatan ia selalu lontarkan ide perlunya daulat rakyat dan mengkritik keras setiap kekuasaan yang mengedepankan daulat raja.
Ya, Mas Willy tetap Mas Willy. Ia tak perlu lagi membuat orang salah sangka terhadapnya. Ia pun tak perlu lagi mengkritik daulat raja. Ia kini dengan tenang dalam daulat Tuhan. Selamat jalan, Mas Willy.
* Oyos Saroso HN., sastrawan, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment