Tuesday, April 29, 2008

Rumah Soekarno: Keluarga Meminta Wacana Dihentikan

Blitar, Kompas - Keluarga ahli waris Soekarmini Wardoyo, kakak kandung Bung Karno, meminta seluruh kalangan menghentikan polemik terkait wacana penjualan rumah bersejarah di Jalan Sultan Agung 59, Blitar.

Hal itu disampaikan Satria Soekananda, cucu tertua Soekarmini Wardoyo, Senin (28/4) di Blitar. ”Di atas kepentingan para ahli waris, ada kepentingan yang lebih besar, yakni kelestarian sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menjadi dasar tindakan yang diambil keluarga,” ujarnya.

Menurut Satria, ahli waris masih mampu menanggung perawatan rumah Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Hanya untuk renovasi, mereka minta bantuan Pemerintah Kota Blitar.

Satria menyatakan, pengalihan atas tanah dan rumah belum bisa dilaksanakan karena masih ada ahli waris yang belum setuju. Jika nanti seluruh ahli waris telah sepakat untuk mengalihkan hak atas tanah dan rumah seluas 1,4 hektar itu, pemerintah akan diprioritaskan.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Blitar Kasmiadi yang mendampingi Satria mengatakan, rumah keluarga Bung Karno sudah dilindungi sebagai cagar budaya dan ditetapkan dalam Surat Keputusan Wali Kota Blitar Nomor 24 Tahun 2001.

Berdasarkan UU No 5/1992 tentang Cagar Budaya, demikian Kasmiadi, aset yang bernilai sejarah yang dimiliki pribadi secara turun-temurun hanya boleh dijual kepada pemerintah. Menurut Kasmiadi, pihaknya sudah menawarkan kerja sama pengelolaan rumah sebagai aset pariwisata dan dibantu APBD, tetapi ditolak oleh ahli waris. (NIK)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 April 2008

Seni Tradisi: Muri Catat Rekor Pantun 6 Jam

[JAKARTA] Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) mencatat berbalas pantun selama enam jam yang dilakukan dua kelompok di halaman Taman Ismail Marzuki, Minggu (27/4) malam, sebagai rekor terlama. Rekor berbalas pantun terlama itu dibuat dua kelompok yang saling beradu pantun secara spontan, yakni Kelompok Tuah dan Kelompok Jebat. Kedua kelompok ini masing-masing terdiri dari tiga orang dan berbalas pantun mulai pukul 23.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB.

"Dewan juri dari pihak MURI melakukan penilaian berdasarkan catatan waktu terlama saling berbalas pantun, keteraturan kalimat, tema pantun yang mencakup politik, ekonomi, budaya, sosial, serta tidak meninggalkan unsur komedi," kata Ketua Panitia Festival Asrizal Nur seperti dikutip Antara.

Asrizal mengatakan rekor berbalas pantun terlama belum pernah ada di Indonesia dan belum pernah dicatatkan di MURI. Berbalas pantun sulit bagi orang yang belum terbiasa melakukannya karena setiap kelompok diharuskan membuat pantun dalam waktu singkat dan memberi jawaban dengan tepat.

"Kesulitan yang dialami kedua kelompok ini juga dalam melawan rasa kantuk, karena itu panitia menyediakan minuman kopi dan rokok untuk mencegah rasa kantuk," tambahnya.

Pemecahan rekor ini merupakan bagian dari acara Festival Pantun Serumpun se-Asia Tenggara yang berlangsung di Jakarta, 25-29 April. Festival diikuti pemantun dari Banjarmasin, Bengkalis, Deli Sergai, DKI Jakarta, Pontianak, Samarinda, Malaysia, dan Brunei Darussalam. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 29 April 2008

Seni Tradisi: Seni Berpantun Dilirik Generasi Muda

[JAKARTA] Seni berpantun telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu. Belakangan ini, seni berpantun hanya digemari generasi tua kini mulai dilirik generasi muda.

"Selama ini, pemantun didominasi orang-orang tua saja, tapi sekarang mulai dilirik anak-anak muda karena ada banyak kegiatan untuk merangsang mereka ikut serta melestarikan salah satu seni budaya Melayu ini," kata Kepala Bagian Sosial Budaya Sekretariat Pemerintah Daerah Deli Sergai, M Ifdal, di Jakarta, Senin (28/4).

Seperti dikutip Antara, Ifdal menjelaskan kegiatan berpantun sering dilakukan dalam berbagai kegiatan formal, misalnya upacara pernikahan dan sebagai pembuka acara-acara di kantor pemerintah. Di Deli Sergai, sekolah-sekolah mulai SD hingga SMA juga mulai memberikan pelajaran seni berpantun.

"Seni berpantun telah berakar dalam masyarakat Melayu, sehingga hal ini juga perlu diwariskan pada generasi muda," katanya.

Sementara itu, pemantun dari Brunei Darussalam, Awang bin Hussein mengatakan seni berpantun di negerinya mulai ditinggalkan anak-anak muda. Kesenian ini dianggap kurang populer dan sebagaian lebih tertarik seni kontemporer daripada seni tradisi.

"Kami ikut Festival Berpantun karena ingin berbagi pengalaman juga dengan pemantun di Indonesia, bagaimana kiat sukses melestarikan seni berpantun pada generasi muda," tambahnya.

Ketua Yayasan Panggung Melayu, Asrizal Nur mengatakan dalam kesusastraan Indonesia, seni berpantun menjadi bagian tonggak kesusastraan dan bagian dari budaya Indonesia yang kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.

"Seni berpantun bisa dilestarikan dengan berbagai cara salah satunya dengan menggelar kompetisi berpantun dalam sebuah festival," katanya.

Asrizal mengatakan Festival Berpantun Se-Asia Tenggara yang berlangsung di Jakarta (25-29 April) juga merupakan salah satu upaya melestarikan budaya tersebut. Kegiatan ini diselenggarakan Yayasan Panggung Melayu bersama Pemerintah Kota Tanjungpinang.

Asrizal mencontohkan, sejumlah anak muda yang kini mulai menyukai seni berpantun ternyata mampu menorehkan prestasi dengan menyabet Rekor Berpantun Terlama yang dicatatkan di Museum Rekor Indonesia (27/4).

"Para pemantun muda asal Kota Tanjungpinang ini masih bersekolah di SMA dan beberapa perguruan tinggi, mereka mematahkan anggapan sebagian masyarakat bahwa seni berpantun hanya digemari generasi yang sudah tua saja," tambahnya.

Kegiatan yang pertama kalinya di Indonesia ini menghadirkan sejumlah kegiatan selama sepekan.

"Semoga kreativitas ini dapat memicu kreativitas pemantun-pemantun muda Indonesia, berpantun juga dapat memperkuat jati diri kita sebagai negeri dengan beragam seni budaya," demikian Asrizal. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 29 April 2008

Monday, April 28, 2008

Perempuan Blog: Makna Kartini di Era Informasi

-- Ventura Elisawati*

SETIAP tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Raden Ajeng Kartini, yang lahir di Jepara, 21 April 1879, dan meninggal di Rembang, 17 September 1904, adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Sejak pagi di radio-radio, sekolah-sekolah, bahkan sejumlah kantor, lagu Ibu Kita Kartini dikumandangkan. Anak-anak sekolah sudah sibuk sejak beberapa hari sebelumnya menyiapkan busana daerah untuk perayaan Kartini di sekolahnya. Tak kalah dengan anak-anak, para perempuan dan ibu-ibu pun sibuk. Mereka berdandan khusus, berkebaya, dan beberapa di antaranya dalam menyapa menyelipkan ucapan ”selamat hari Kartini, ya.”

Itulah pemandangan rutin yang muncul setiap 21 April. Kebaya, perlombaan busana nasional, sesekali diwarnai sejumlah dialog tentang peran ganda perempuan. Ritual yang sama terus diulang, dan lagu Ibu Kita Kartini pun diputar, hanya saat perayaan itu. Tanpa upaya memaknai Kartini dan perjuangannya sesuai dengan zamannya, perayaan kelahiran Kartini rasanya jadi kehilangan nilai ketika pergolakan pemikiran Kartini tak menjadi napas dari perayaan itu sendiri.

Melalui Wikipedia Indonesia, telusuri apa sejatinya yang telah dilakukan putri yang mulia dan cita-citanya pada masa itu sehingga kita bisa meneruskan kemuliaannya di era sekarang. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja menyebut putri Rembang ini sebagai pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern.

Kartini adalah pengguna teknologi komunikasi informasi pada zamannya. Ia pelanggan produk teknologi komunikasi informasi saat itu, yaitu menjadi pembaca setia surat kabar terbitan Semarang, De Locomotief. Dia juga membaca majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie.

Dia juga orang yang tak segan berinteraksi dengan berbagai pihak untuk berdiskusi dan bertukar pikiran tentang berbagai hal. Dia berkirim surat kepada para sahabat penanya, tentang kebudayaan, kehidupan perempuan, pendidikan, dan juga agama. Beberapa sahabat penanya, seperti Tuan dan Nyonya JH Abendanon, serta Estelle alias Stella Zeehandelaar, cukup intensif memberikan tanggapan atas pemikiran, keluhan, dan juga curhat Kartini.

Kumpulan surat-surat Kartini dengan JH Abendanon, setelah Kartini meninggal, diterbitkan menjadi buku Door Duisternis tot Licht yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan pada 1911 dan menjadi best seller saat itu karena dicetak sampai lima kali.

Intuisi Kartini

Yoyce Meyer dalam bukunya berjudul, The Confident Women, mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang diberi anugerah khusus, karena mereka ”creative, sensitive, compassionate, intelligent, talented”. Yoyce mengungkapkan, perempuan juga memiliki indera keenam, yaitu intuisi perempuan, yang katanya tidak diberikan Tuhan kepada lelaki. Barangkali itulah yang ada pada diri Kartini sehingga pemikirannya masih tetap aktual sampai saat ini.

Pemikiran Kartini sangat kritis. Salah satu kritik tajamnya terhadap agama bisa jadi masih relevan sampai saat ini. Kartini berpendapat, ”Mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami.”

Ia mengungkapkan pandangannya, ”Dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. ... Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu....”

Kartini juga mengungkapkan pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi, misalnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Di sinilah Kartini menuntut kesetaraan kaum perempuan dengan kaum lelaki. Karena itulah ia juga disebut sebagai pejuang emansipasi perempuan.

Ibu beranak satu ini bukan cuma pemikir, tetapi juga melakukan transformasi pemikirannya kepada banyak orang. Transformasi itu dilakukan melalui sekolah wanita yang didirikan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Kartini juga menginspirasi keluarga Van Deventer untuk mendirikan Yayasan Kartini, yang kemudian mengembangkan Sekolah Kartini di sejumlah kota, seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Kartini ”ngeblog”

Menurut saya, apa yang dilakukan Kartini saat itu—menuangkan pemikiran, memanfaatkan teknologi komunikasi informasi untuk berinteraksi, melakukan transformasi dan memberikan inspirasi—sebenarnya tak jauh dari apa yang kini tengah populer di dunia teknologi komunikasi informasi sekarang ini. Salah satunya, ngeblog. Blogging secara positif adalah menuangkan berbagai pemikiran, dalam personal web site (blog) untuk kemudian mendapatkan tanggapan dalam diskusi interaktif yang positif tentunya. Yang pada akhirnya bisa ditransformasikan dan bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal-hal yang positif.

Karena itu saya yakin bila Kartini hidup di zaman sekarang, dia pasti ngeblog, supaya lebih banyak orang berani berpendapat menyampaikan pikirannya. Dan buntutnya makin banyak orang pintar dan terjadi social networking yang positif.

Data dari APJII menyebut ampai akhir 2007 pengguna internet di Indonesia mencapai 25 juta dengan tingkat pertumbuhan sekitar 39 persen. Tahun 2012, jumlah pengguna internet di Indonesia akan sama besarnya dengan jumlah pengguna internet di Asia Tenggara. Itu menggambarkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah dengan sangat cepat.

Sementara jumlah blogger Indonesia yang memiliki situs di Blogspot sekitar 247.000, di Wordpress 125.000, blog service lainnya sekitar 75.000 (data Internet World Stats December 2007 Report). Penambahan fitur bahasa Indonesia di Wordpress dan Blogspot menunjukkan bahwa potensi blog besar dan terus tumbuh. Jika tarif internet maupun telekomunikasi makin murah, potensi pertumbuhannya akan makin tinggi, termasuk potensi pengguna mobile blogging, yang jumlahnya sebangun dengan penetrasi pengguna telepon seluler yang sudah mencapai lebih dari 100 juta orang

Di era dunia tanpa batas dan kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang, mestinya Indonesia bisa memunculkan banyak kartini yang sesuai kompetensinya. Inilah makna sesungguhnya dari peringatan Hari Kartini di era digital, dan bukan sekadar lomba berkebaya.

* Ventura Elisawati, Blogger, Bekerja pada Salah Satu Operator Seluler Indonesia.
Blog: vlisa.com.
E-mail: venturaelisawati@ yahoo.com

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

Buku Baru: Hidup yang Terus Mengalir

-- AJ Susmana*

SEJARAH seringkali dikonstruksi dalam bingkai ”sejarah negara”. Kadang, perjuangan yang dihidupi dengan jiwa dan raga tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekecewaan dan rasa sesal pun melanda di hati. Akan tetapi, itu tampaknya tidak berlaku bagi wanita-wanita mantan prajurit gerilya yang telah menghabiskan sebagian hidupnya dalam perjuangan gerilya nan panjang di hutan tropik Semenanjung Melayu.

Itulah sepenggal kisah beberapa perempuan yang angkat senjata berjuang menentang kolonialisme, yang dikisahkan di dalam buku Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai: Wanita dalam Perjuangan Anti-Kolonial Malaya, Sejarah Lisan suntingan Agnes Khoo. Cita-cita perjuangan mereka memang tidak berhasil dan kini hidup dalam perlindungan Kerajaan Thailand, tetapi mereka tak menyesali atas jalan yang pernah ditempuh. Kisah seperti ini, dalam beberapa hal, tentu saja bukan kisah yang baru dalam perjuangan antikolonialisme di Indonesia.

Membaca buku ini, tak pelak lagi, Anda akan diingatkan pada novel Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, yang diterbitkan setelah kecamuk perang revolusi kemerdekaan Indonesia berangsur surut. Dalam Keluarga Gerilya diceritakan bagaimana anak tega membunuh bapaknya karena bapaknya bekerja sebagai tentara penjajah kolonial; adik menyerahkan keperawanan kepada musuh demi pembebasan kakaknya dari tawanan, walau toh akhirnya ia dikhianati dan kakaknya tetap tak dibebaskan tetapi malahan dijatuhi hukuman mati. Dan sang ibu menjadi gila lantaran menyaksikan anak-anak dan keluarganya tercerai-berai. Inilah gambaran kehidupan sebuah keluarga gerilya yang anak-anaknya tanpa pamrih berjuang demi kemerdekaan Tanah Air dan rakyatnya dari penjajahan kolonialisme.

Buku ini memiliki keistimewaan sendiri, seperti diungkapkan oleh Chong Ton Sin dalam pengantar buku ini, yakni menonjolkan peranan wanita dengan penulisan berperspektif feminis. Isinya mampu mencerminkan peranan wanita di Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam keluarga, masyarakat, dan pergerakan politik antara tahun 1930-an hingga 1980-an akhir, termasuk dalam politik bersenjata dan perang gerilya yang berlangsung lama di hutan belantara. Lebih jauh, para mantan prajurit wanita ini kebanyakan berasal dari lapisan bawah masyarakat yang miskin yang seringkali terlupakan peranannya dalam penulisan sejarah yang lebih mengedepankan para tokoh dan pucuk pimpinan.

Hidup disadari dan dimaknai sebagai perjuangan tanpa henti untuk memperbaiki dan memajukan harkat kemanusiaan; mengalir dari detik ke detik kehidupan dalam suka dan duka bagaikan aliran sungai. Inilah pesan yang menonjol dari penulisan buku ini. Bukankah perjuangan sendiri kadang tak berbuah manis seperti yang diharapkan, tetapi justru pahit dan menjadi cemoohan atau ejekan karena tiadanya sukses sebuah perjuangan bahkan dari segi materi sekalipun? Dalam situasi yang gamang ini, hanya keyakinan perjuanganlah yang menjadi sandaran dalam menempuh hidup di sepanjang aliran sungai sejarah ini. Sejarah pun tiba-tiba menjadi penting dan bernilai untuk meletakkan diri dalam berbagai aliran sungai sejarah dan tujuan hidup selanjutnya.

Hidup terus mengalir dan dunia pun kini mengalami perubahan. Perang dingin pasca-Perang Dunia II yang mencekam telah berakhir. Berbagai bangsa dan negara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia, memasuki ruang hidup dan tata cara pergaulan yang baru. Begitulah juga Agnes Khoo, penulis buku ini, dan mungkin juga generasi seangkatannya yang hidup tanpa cengkeraman dan penindasan nyata kolonialisme, tetapi sangat ingin tahu sosok orang-orang yang diberi label komunis dan digambarkan sebagai ”teroris bertanduk dua” oleh penguasa negeri Singapura.

Dalam usaha ini, Agnes Khoo akhirnya sampai di sempadan Malaysia-Thailand dan menemukan kampung suaka politik bagi anggota Partai Komunis Malaya (PKM). Perkampungan itu disediakan Pemerintah Kerajaan Thailand sebagai hasil penandatanganan Persetujuan Perdamaian Tiga Pihak, yakni Pemerintah Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand di Haadyai, bagian selatan Thailand, pada 2 Desember 1989. Persetujuan ini mengakhiri perang gerilya PKM yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan PKM memutuskan untuk memusnahkan sendiri semua senjata mereka, meninggalkan hutan tropik di sempadan Thailand-Malaysia, dan mulai membangun hidup baru di perkampungan yang berada di bawah naungan Puteri Chulaporn Thailand. Kampung- kampung ini kemudian dinamakan Kampung Perdamaian PKM. Sebagian sempalan PKM pun mendirikan Kampung Persahabatan.

Sejarah lisan

Buku ini merupakan sejarah lisan yang disusun Agnes Khoo berdasarkan wawancara terhadap 16 wanita mantan prajurit gerilya PKM yang tinggal di Kampung Perdamaian tersebut, kecuali seorang bernama Xiao Hua yang kini menetap di Hong- kong. Karena keterbatasan dana dan waktu, Agnes Khoo hanya mewawancarai mantan gerilyawati PKM yang tinggal di tiga Kampung Perdamaian, yakni Betong, Banlang, dan Sukirin. Walau begitu, buku ini sudah cukup berhasil menggambarkan kisah hidup wanita-wanita pemberani dari Thailand, Malaya, dan Singapura ini, termasuk usaha yang berani dari Agnes Khoo sendiri.

Agnes Khoo pun akhirnya memahami dan menemukan kisah lain dari sejarah perjuangan bangsanya melalui tuturan 16 wanita ini. Ia mengungkapkan, ”Setelah mengenali wanita-wanita ini, mendengar kisah hidup mereka, harapan dan pilihan hidup mereka, saya merasa telah menjadi lebih matang sedikit. Saya tidak lagi naif seperti dahulu ketika saya seorang rakyat Singapura yang tidak berminat terhadap sejarah tanah air. Melalui penulisan buku ini, saya telah lebih yakin diri. Saya mulai tahu siapakah diri saya, makna sebagai rakyat Singapura, bagaimana kami menjadi rakyat Singapura dan apakah yang membuat saya menjadi seorang Singapura” (hlm 372).

Untuk menyelesaikan buku ini, Agnes Khoo menghabiskan waktu lima tahun. Ia telah mengarungi perjalanan yang paling kesepian dalam hidupnya, dengan meninggalkan kehidupan mewah dan modern, baik di Singapura maupun di Hongkong. Penulisan sejarah lisan ini, bagi Agnes Khoo, adalah perjalanan penyembuhan diri dari rasa ngeri akibat kampanye sejarah yang gencar versi pemerintah tentang kekejaman teroris komunis, sementara ia sendiri tak pernah bertemu dengan wujud nyata sang ”teroris” itu. Inilah yang membawa Agnes Khoo mencari kebenaran sejarah dari sudut yang berlainan. Sebagaimana Indonesia di bawah Orde Baru, orang takut membela orang-orang komunis yang teraniaya bahkan dari sudut kemanusiaan, begitulah juga rakyat Singapura dan Malaysia. Mereka terpaksa mengelak memperbincangkan kaum komunis dan membisu demi melindungi diri karena takut akan disekap ke dalam penjara di bawah Internal Security Act (ISA).

Oleh karena itu, buku ini tentu saja bukan sekadar kisah dan profil 16 mantan gerilyawati, tetapi adalah juga salah satu catatan perjuangan anti-kolonialisme di dunia dan peran wanita dalam perjuangan itu, terutama dalam perang gerilya yang panjang. Tak hanya menjadi pelengkap atau barisan belakang (baca: memasak, menjahit baju pasukan, dan mengobati yang terluka) dari pasukan gerilya. Sebagian dari 16 wanita dalam buku ini merupakan prajurit gerilya yang juga mengangkat senjata dan bertempur di garis depan. Bagaimana sulitnya menjadi gerilyawati di hutan belantara Semenanjung Melayu dengan seluk-beluk kewanitaan seperti haid, melahirkan, hubungan cinta, dan benci pada keluarga, sesama, dan perkawinan diungkapkan oleh mereka.

Buku ini pun menjadi semakin penting bila diletakkan dalam konteks sejarah perjuangan rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dari penindasan kolonialisme terutama di Asia Tenggara. Bagi kita di Indonesia, buku ini juga penting untuk dibaca dan diketahui agar kita pun sanggup menghubungkan dan memaknai perjuangan semesta melawan penjajahan kolonialisme yang dalam jangka waktu tertentu nyata menancapkan kuku-kuku kolonialnya di bumi Nusantara. Buku ini pun setidaknya telah memberikan gambaran yang berbeda dari sejarah resmi kemerdekaan Singapura dan Malaysia yang selama ini dinyatakan sebagai hasil diplomatik tanpa perjuangan bersenjata. Bagaimanapun kemerdekaan Singapura dan Malaysia itu telah dilandasi perjuangan bersenjata anti-kolonialisme Inggris dan anti-pendudukan fasisme Jepang.

* AJ Susmana, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

Kesusastraan: Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra

Semarang, KOMPAS - Munculnya banyak penulis baru, buku baru, dan genre sastra tidak diimbangi dengan perkembangan kritik sastra. Akibatnya, hiruk pikuk dalam dunia sastra tidak mampu membawa sastra ke arah yang lebih maju.

Hal itu terungkap dalam seminar ”Membuka Tabir Dunia dengan Sastra: Telaah Jejak Para Inspirator”, Minggu (27/4) di Auditorium Imam Bardjo, Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, untuk memperingati wafatnya sastrawan pelopor angkatan ’45, Chairil Anwar.

Putu Wijaya, sastrawan serba bisa yang menjadi pembicara, mengatakan, pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra.

Menurut dia, hal itu terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup punya wibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. ”Kalau dulu, ada HB Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil. Sesudah HB Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas,” katanya.

Minimnya peran kritikus sastra juga dikatakan pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Redyanto Noor. Keberadaan para ahli sastra saat ini justru tenggelam di antara para ahli di bidang lain, seperti ahli politik, ahli ekonomi, bahkan ahli olahraga dan kecantikan. Padahal, tugas menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat terhadap karya sastra berada di tangan ahli sastra.

Salah seorang pembicara, Ahmad Tohari, penulis Ronggeng Dukuh Paruk, lebih menyoroti perkembangan sastra termutakhir. Menurut dia, geliat perkembangan sastra ditunjukkan anak muda yang banyak berkarya.

Namun, ia prihatin dengan penggunaan kata-kata gaul dan kata-kata asing, misalnya kata loe, gue, dan try out. ”Padahal, kalau diminta berbahasa asing sebenarnya juga tidak bisa. Rasanya seperti tidak ada rasa tanggung jawab untuk menjaga integritas bahasa Indonesia. Ini arahnya mau ke mana?” ujarnya.

Sementara itu, pada rangkaian Temu Penyair Lima Kota bertema ”Peran Media di Mata Penyair”, 27-29 April 2008, di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, penyair Iyut Fitra menyatakan, kendati media bermunculan, para penyair masih memperhitungkan peran media cetak sebagai penyebar luas karya sastra mereka. Media cetak dinilai mempunyai penyaring karya yang bisa dimuat.

Media internet, menurut Iyut, punya kelebihan dan kekurangan. Penyair bisa memasukkan karya apa pun tanpa ada proses seleksi dan kuota pemuatan karya. Di sisi lain, kemudahan ini melahirkan kritik bahwa karya yang dimuat tidak melalui proses seleksi dari pihak ketiga.

Puluhan penyair dari lima daerah, yakni Bali, Yogyakarta, Bandung, Lampung, dan Sumatera Barat, bertemu pada forum itu guna membahas peran media pada sastra. (A09/ART)

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

Langkan: Orasi Budaya Mengenang Chairil Anwar

Komunitas Planet Senen (KoP’S) menggelar baca puisi dan musikalisasi puisi karya Chairil Anwar untuk mengenang penyair tersebut, Senin (28/4) di Gelanggang Planet Senen, Jalan Stasiun Senen, Jakarta Pusat. ”Chairil Anwar adalah penyair angkatan ’45 terkemuka dan penyair serius. Ia bisa sabar mencari satu kata yang tepat untuk satu baris sajaknya, bisa berminggu-minggu,” kata panitia pelaksana, Irmansyah, Minggu di Jakarta. Acara dimulai di Rumah Sakit CBZ (RS Cipto Mangunkusumo) mengenang kepergian Chairil tanggal 28 April 1949 di usia 26 tahun 9 bulan 11 hari. Seniman dan sastrawan yang berpartisipasi antara lain Giyanto Subagio, Viddy Ad, Slamet Raharjo, Sihar Ramses Simatupang, Rara Gendis, dan Grup Denting. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

Jusuf Kalla: Pembajakan Matikan Daya Cipta

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengemukakan, jika terus dibiarkan, pembajakan akan mematikan daya cipta sebuah bangsa. Bangsa tidak akan maju tanpa daya cipta yang muncul dari pemikiran dan kemampuan bangsa itu membuat inisiatif.

”Daya kreatif kita sebagai bangsa jika tidak dilindungi akan habis. Agar diperlakukan sama, kita juga harus melindungi daya kreatif dari luar negeri,” ujar Wapres dalam sambutan sebelum jalan sehat dalam rangka peringatan hak atas kekayaan intelektual sedunia ke-8 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (27/4).

Wapres mengemukakan, untuk kemajuan sebuah bangsa, pada awalnya memang bisa dilakukan dengan meniru. Sejumlah negara telah maju dengan meniru, seperti Jepang yang meniru Amerika Serikat, Korea meniru Jepang, dan China meniru Korea.

”Namun, itu hanya pada awalnya. Setelah itu tidak meniru lagi karena sebuah bangsa tidak maju dengan meniru atau membajak. Karena pembajakan, orang akan malas berkreasi,” ujarnya.

Untuk mematikan pembajakan, Wapres minta aparat kepolisian memperbaiki kemampuan mencegah dan mematikan sindikat pembajakan. Wapres menilai, selama ini sindikat pembajakan bekerja lebih cepat daripada kerja aparat kepolisian.

Wapres menyebut film Ayat-ayat Cinta yang telah dibajak seminggu setelah beredar di bioskop sebagai contoh kecepatan sindikat pembajakan.

Acara jalan sehat diikuti sejumlah pejabat, artis, dan masyarakat. Mereka yang hadir antara lain Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. (INU)

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

Bangunan Bersejarah: Mennegpora Kunjungi Rumah Keluarga BK

Blitar, Kompas - Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, Sabtu (26/4), mengunjungi rumah keluarga besar proklamator Republik Indonesia Soekarno di Jalan Sultan Agung, Kota Blitar.

Mennegpora datang bersama sejumlah artis seperti Pong Harjatmo, Yati Octavia, Eksanti, Berliana Febrianti, Fuad Baradja, serta pejabat Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.

Adhyaksa Dault mengatakan, tujuan kunjungan ke rumah keluarga Bung Karno adalah untuk melihat langsung kondisi rumah yang biasa disebut Istana Gebang. Rumah yang sekaligus museum dan gedung kesenian rakyat itu belakangan menjadi polemik terkait wacana penjualan oleh para ahli warisnya.

Menggalang dana


Mennegpora bersama sejumlah artis siap melakukan penggalangan dana untuk membeli rumah tersebut agar tidak jatuh ke tangan pihak asing. Selanjutnya, rumah bernilai sejarah tinggi itu akan diserahkan kepada negara.

”Tahun ini adalah 100 tahun kebangkitan nasional. Kalau rumah ini sampai dibeli oleh bangsa lain, hancur kita. Ini rumah proklamator kita,” ujarnya.

Adhyaksa juga bertemu Wali Kota Blitar Djarot Syaiful Hidayat untuk meminta kejelasan status rumah milik Soekarmini Wardoyo yang merupakan kakak kandung Bung Karno itu.

Soal harga yang ditawarkan, Adhyaksa berharap tidak terlalu mahal atau sesuai dengan harga yang berlaku dan wajar sebab tujuan pembelian rumah itu bukan untuk kepentingan pribadi melainkan menyelamatkan aset bangsa.

Terlalu mahal

Wali Kota Blitar Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana menghimpun dana untuk membantu membeli rumah keluarga Bung Karno. Akan tetapi, prosesnya harus jelas dan transparan serta bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Djarot, harga yang ditawarkan oleh pihak ahli waris sebesar Rp 50 miliar terlalu mahal. Menurut kajian Pemkot Blitar, berdasarkan harga tanah di lokasi tersebut serta kelayakan bangunan, nilai rumah itu Rp 20 miliar. (NIK)

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

Diskusi: Ada yang Salah dengan Sastra Kita

DALAM pandangan Putu Wijaya, era 1945 merupakan masa ideal bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Saat itu, lahir sekaligus eksponen penyair dan kritikus sastra yang kuat. Sinergi mereka menciptakan iklim sastra yang dinamis dan progresif.

Dalam hal ini, Chairil Anwar dan HB Jassin menjadi ikon paling tipikal. Chairil mendobrak kecenderungan sastra Pujangga Baru yang penuh bunga-bunga kata. Sajak-sajaknya plastis dan mengusung aforisma. Dia hadirkan realitas dalam kata demi kata. Tak hanya itu, karya-karya Chairil juga memberi saham bagi kemajuan bahasa Indonesia.

HB Jassin hadir dengan kritik yang cerdas dan bernas. Tokoh berjuluk Paus Sastra Indonesia itu menjadi semacam batu asah yang menajamkan mata pisau estetis Chairil dan sastrawan seangkatannya.

“Selepas angkatan 1945, sastra Indonesia kehilangan kritikus yang teliti dan mumpuni seperti HB Jassin. Kondisi itu tak memenuhi prasyarat bagi kelahiran iklim sastra yang ideal,” kata Putu Wijaya, dalam diskusi “Membuka Tabir Dunia dengan Sastra: Telaah Jejak Para Ispirator” yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) di auditorium Undip Pleburan, kemarin.

Diskusi dalam rangka peringatan Chairil Anwar 2008 itu juga menghadirkan sastrawan Ahmad Tohari, penulis kumpulan cerpen Marketplace, Aca, serta dosen Fakultas Sastra Undip Redyanto Noor MHum.

Sejatinya, ujar Putu, banyak sastrawan sekelas Chairil Anwar yang lahir sesudahnya, taruh misal Sutardji Calzoum Bachri atawa WS Rendra. Namun ketiadaan kritikus andal membuat eksistensi mereka tak terlampau luar biasa. Masyarakat seperti dibutakan oleh kehadiran para pendobrak itu. Karya mereka yang bagus menjadi tak terjelaskan.

“Sastra Indonesia dikatakan sehat jika prasyarat pendukung terpenuhi, antara lain ada sastrawan, karya, kritikus, penerbit, apresian, dan proses pembelajaran.”

Di sisi lain, metode pembelajaran saat ini juga punya andil. Secara ekstrem, Putu menyebut ada yang salah dengan sistem pembelajaran sastra. Di sekolah-sekolah, pelajaran bahasa beroleh porsi lebih ketimbang sastra. Pengajar pun kebanyakan berlatar pendidikan linguistik. Butuh metode baru untuk mengubah keadaan.

Ahmad Tohari pun menyebut sastra Indonesia saat ini sebagai korban pragmatisme dan materialisme. Sastra semestinya memberikan ruang pada hal-hal yang bersifat batiniah. Namun, ruang itu kini hilang ditelan berhala pasar. “Ya, pasar lebih berperan,” ujar penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Sastra Abad XXI
Secara terpisah, sastrawan Eko Tunas menilai belum ada penyair di Indonesia pada era kekinian yang memiliki pencapaian estetika setara Chairil Anwar. Karya sastra saat ini, dalam pandangan subjektif Eko, lebih mengedepankan pemujaan pada kebendaan. ’’Akibatnya, kedalaman yang jadi identitas karya sastra, termasuk puisi, terabaikan. Di sisi lain, karya sastra kini minim warna humanis,’’ nilai dia.

Eko menytakan hal itu pada diskusi Malam Peringatan Chairil Anwar di Kedai Astina, Ungaran, Sabtu (26/4) malam. Pada diskusi itu, Eko mengupas tema ’’Sastra Indonesia Abad XXI’’ bersama Gunawan Budi Susanto. Diskusi itu diselenggarakan Laboratorium Budaya Amongsendang bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Ungaran.

Di sisi lain, Gunawan menyorot kemunculan fenomena karya sastra salah kedaden sebagai ciri utama karya sastra masa kini. Karya sastra salah kedaden memiliki ciri bercanggih-canggih dengan moda ungkap, tetapi kosong isi. ’’Ciri lain, mengusung tema atau persoalan berat, tetapi kering estetika.’’ (Rukardi, Achiar M Permana-53)

Sumber: Suara Merdeka, Senin, 28 April 2008

Saturday, April 26, 2008

Kesusastraan: Puisi, Siapa Masih Peduli?

-- Marwanto*

KONON, penetapan 28 April - tanggal wafatnya penyair Angkatan 45, Chairil Anwar - sebagai Hari Puisi Nasional masih menjadi perdebatan. Namun, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.

Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum Hari Puisi Nasional. Dengan tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan seterusnya, mesti diakui Chairil Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khazanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.

Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenting Chairil Anwar adalah ”pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.

Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair, kita bisa becermin pada sosok Chairil Anwar. Dari pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya, Senja di Pelabuhan Kecil, kita bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat ”Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Dari sinilah sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berjasa (pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini?

Bisa jadi, bukan karena RA Kartini lebih ”hebat” daripada Chairil Anwar, tetapi lebih karena di zaman yang serba pragmatis saat ini, keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di zaman yang serba susah di mana banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?

Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.

Pun ungkapan terkenal dari John F Kennedy, ”bahwa jika politik bengkok, maka puisi yang akan meluruskan”. Pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tersebut akan janggal jika kita terima secara mentah apa adanya (tersurat).

Dulu, salah seorang anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, almarhum KH Yusuf Muhammad, sering membaca puisi saat sidang di parlemen mencapai titik buntu.

Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, misalnya politik, seperti yang dilakukan KH Yusuf Muhammad di atas, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung.

Perdebatan di gedung wakil rakyat akan terus berjalan alot meski seribu puisi dikumandangkan. Korupsi juga masih jalan terus meski puisi dihadirkan. Namun, paling tidak, pada saat ”kesadaran kemanusiaan” kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan. Maka, kiranya hanya orang yang tak beradab yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya koran bar-bar yang tak memberi ruang (rubrik) kepada puisi.

Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-bar. Namun, kita tak risi sedikit pun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat.

Ini berarti, dalam persepsi masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan keberadaban sebuah bangsa. Mengapa?

Tak dianggap penting

Mengapa masih saja keberadaan puisi tak dianggap penting? Berapa persen dari pembaca surat kabar yang menyempatkan dirinya membaca (atau sekadar melihat sekejap) rubrik puisi? Dan berapa persen dari masyarakat yang hobi membeli buku tiap bulan menyisihkan uangnya guna membeli buku-buku puisi?

Dari sini kritik terhadap keberadaan puisi wajar dilontarkan. Salah satu jawaban yang paling mungkin dikemukakan adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita kehidupan.

Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab, pascajaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang mengusung ”puisi sosial”, kini terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang menggetarkan.

Kebanyakan puisi yang kini hadir relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.

Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: setiap episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang ”bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, menggugah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga hilang pedih peri….

* Marwanto, Sastrawan, bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA), Kulon Progo, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 April 2008

Esai: Sastra yang Meretas Kabut Sejarah 1965

-- Asep Sambodja*

SAYA sangat yakin bahwa pembaca akan terkejut bila membaca pengakuan 10 perempuan korban perkosaan pasca 30 September 1965 yang dihimpun dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 (SPKT 65) karya Ita F Nadia (2008: cetakan ketiga). Membaca pengakuan kesepuluh perempuan itu saya sampai pada titik kebimbangan: apakah yang ditulis oleh Ita F Nadia itu fakta atau fiksi?

Kalau fakta, maka pengalaman traumatik yang dialami perempuan itu sangat sulit dipahami dengan bahasa hati nurani dan kacamata kemanusiaan. Jeritan kaum perempuan itu sudah melampaui batas imajinasi kita. Apa yang dialami Yanti, misalnya, yang ketika ditangkap pasca 30 September 1965 masih berumur 14 tahun, meruntuhkan pengetahuan kita akan peristiwa lubang buaya yang tertera dalam buku sejarah bangsa Indonesia.

Peristiwa lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha pada 1965, yang antara lain menyebutkan perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai penyiksa dengan tingkat kesadisan yang melewati batas—yakni menyiksa para jenderal dengan menyungkil matanya dan memotong kemaluannya sambil menari-nari telanjang—yang dulu dianggap fakta yang melatari permakluman atas pembantaian jutaan orang pada 1965/1966, kini terbaca sebagai fiksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam kehidupan berbangsa kita, terlebih kalau kita mengacu pada hasil visum et repertum yang terbaca oleh Ben Anderson (lihat Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam, 2004).

Kalau cerita atau pengakuan 10 perempuan itu dikategorikan sebagai fiksi, maka buku ini layak mendapat penghargaan sebagai karya fiksi terbaik, karena cerita yang disampaikan kesepuluh perempuan itu sangat menyentuh dan menggedor-gedor nurani pembacanya. Siapa pun yang membaca buku ini, apalagi perempuan, bisa dipastikan akan merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kembali kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, serta kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan China pada Mei 1998. Saya menilai buku SPKT 65 itu sebagai sebuah data yang berisi fakta-fakta yang perlu dibuktikan kebenarannya oleh sejarawan.

Dalam pengantar novel Lubang Buaya, Saskia Wieringa (2003), novelis itu menulis, banyak sejarawan masa kini berpendapat bahwa semua sejarah adalah fiksi. “Tidak ada fakta, hanya discourse yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan,” kata novelis yang juga antropolog itu. Kalau sejarah adalah fiksi, apakah fiksi juga berarti sejarah?

Saya tidak ingin terjebak dalam labirin telur ayam: mana yang lebih dulu di antara keduanya. Yang jelas, sedikit berbeda dengan Saskia, saya berpendapat bahwa sebuah karya sastra yang baik senantiasa merekam denyut nadi masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Sastrawan sebagai representasi masyarakatnya merekam dengan baik pikiran dan perasaan masyarakat sezamannya.

Lebih lanjut, Saskia Wieringa mengakui bahwa novel Lubang Buaya berangkat dari hasil penelitiannya pada 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Gerwani. Hasil penelitian itu pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (1999). Tidak mengherankan jika ada fragmen dalam novel itu yang terbaca dengan jelas sama dengan pengakuan Yanti dalam buku SPKT 65.

Yang cukup mengherankan adalah adanya kesamaan fragmen dalam Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dengan pengakuan Darmi dalam buku SPKT 65. Dalam novel Seno itu, seorang gadis kecil menyaksikan pembakaran rumahnya dan pembunuhan seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, hanya karena ayahnya dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena gadis kecil itu tidak bisa menerima kenyataan yang dilihatnya, dan tidak mampu memahami peristiwa itu dengan akal sehatnya, akhirnya ia menjadi gila. Berangkat dari sinilah cerita Seno bergulir hingga menarik pembaca untuk segera menuntaskan pembacaan atas novel setebal 234 halaman itu.

Sementara dalam SPKT 65, Darmi yang saat itu menjadi penari istana di zaman Soekarno, tidak saja menyaksikan suami dan kedua mertuanya dibunuh dan rumahnya dibakar, melainkan ia mengalami penyiksaan mental yang luar biasa. Ia bukan anggota Gerwani, ia hanya penari, tapi suaminya anggota PKI.
Gara-gara itulah ia diarak oleh orang banyak yang anti-PKI dalam keadaan telanjang bulat, berjalan kaki mengelilingi desa, dan begitu sampai pada tahap pemeriksaan di pos tentara, ia disuruh menari di atas meja dalam keadaan telanjang bulat. Dan, jika ia menolak menari dan menolak diperlakukan tidak senonoh, maka tawanan lain akan dijadikan sasaran penganiayaan.

Selama 30 tahun di masa pemerintahan rezim Soeharto, setiap mendengar gamelan Bali, Darmi mengalami trauma yang luar biasa. Ia merasa bahwa tari adalah jiwanya, dan bunyi gamelan selalu memanggil-manggilnya untuk menari. Namun, bersamaan dengan bunyi gamelan itu, saat itu pula ia merasa takut dan membencinya. Ini akibat penganiayaan yang terjadi pasca 30 September 1965 yang dialaminya di Bali.
Dengan demikian, fakta yang terbaca dalam SPKT 65 lebih mengguncang nurani pembacanya dibandingkan dengan cerita dalam novel Lubang Buaya dan Kalatidha. Meskipun begitu, apa yang dihasilkan Saskia dan Seno tersebut memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi untuk mengungkap kabut politik yang terjadi di negeri ini, termasuk peristiwa pembunuhan massal 1965/1966 dan peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998.

Dalam diskusi novel Kalatidha di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, sejarawan Hilmar Farid mengatakan bahwa dalam menggambarkan korban kekejaman 1965/1966, Seno sengaja menggunakan tokoh aku yang gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkap kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta.

Batas antara fakta dan fiksi menjadi hilang, kadang-kadang tokoh aku dalam Kalatidha menggambarkan kenyataan, kadang-kadang berada dalam dunia kabut yang tak terumuskan. Dalam pembacaan Hilmar Farid, sastra bisa menjadi medium untuk mengungkap fakta, kenyataan, dan kebenaran.

Sementara Melani Budianta, Guru Besar FIB UI yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, menambahkan bahwa fiksi seperti yang ditulis Seno tersebut berpeluang untuk menyembuhkan luka yang terjadi di masa lalu. Tokoh perempuan kembar dalam Kalatidha dibaca Melani sebagai metafora yang digunakan Seno untuk menggambarkan peristiwa 1965/1966.

Tokoh yang satu mati terbunuh, yang menyimbolkan masa lalu yang penuh kekerasan. Tokoh yang satu lagi menjadi gila karena tak mampu melihat kekerasan, yang menyimbolkan masa kini yang masih gagap melihat sejarahnya sendiri. Dilihat dari tataran mental psikologi, novel Kalatidha menampung atmosfer refleksi, kegilaan, perasaan marah dan dendam, bangkitnya belas kasih, pemulihan dari luka, dan transendensi. “Semuanya ada dalam novel itu,” kata Melani.

Meskipun dalam diskusi tersebut Seno mengakui bahwa Kalatidha merupakan novel pesanan, karena ada pihak yang memesannya untuk menuliskan peristiwa kekerasan itu, saya tetap menganggap bahwa Kalatidha merupakan novel Indonesia modern yang penting, yang menurut saya menjadi novel terbaik pada 2007, karena merefleksikan sebuah peristiwa yang tidak mungkin terlupakan oleh bangsa Indonesia: pembunuhan massal 1965/1966. Tapi, bukan hanya karena itu novel ini menjadi novel terbaik. Bahasa yang digunakan Seno sangat kuat. Ia seperti memainkan sebuah orkestrasi yang demikian indah, meskipun lagunya menyayat hati.

Novel Kalatidha mengajak pembacanya untuk mengungkap kabut politik yang menyelimuti sejarah nasional Indonesia.

* Asep Sambodja, penyair dan dosen sastra FIB UI.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 26 April 2008

Festival Pantun Serumpun: Karena Serumpun, Kami Mengerti

-- Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - Gelombang laut susun bersusun/ Emas perak berlapis suasa Dengan Festival Pantun Serumpun/ Kita pererat Persaudaraan Bangsa Indah budi karena bahasa/ Indah laku karena pekerti Pantun julang marwah bangsa/ Tanah melayu majukan negeri.

Lagu berlanggam Melayu terdengar melantun pembukaan Festival Pantun Serumpun (Se-Asia Tenggara) (25-29/4). Di tengah terik matahari siang di depan Galeri Cipta II pelataran Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat (25/4), seusai para peserta mendaftar, Festival Pantun Melayu yang dikoordinatori Sekretariat Yayasan Panggung Melayu dengan koordinator Asrizal Nur ini pun dibuka.

Di sinilah Delegasi Peraduan Pantun, dari Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Banyuasin (Sumatera Selatan), Bengkalis (Riau), Brunei Darussalam, Deli Sergei (Sumatera Utara), DKI Jakarta, Kabupaten Pontianak (Kalbar), Kota Pontianak (Kalbar), Lingga (Kepulauan Riau), Medan (Sumatera Utara) dan Samarinda (Kalimantan Selatan) berkumpul.

Suasana berbalas pantun, yang dimulai sejak siang terik memang belum begitu terasa. Di antara tatapan penonton yang duduk di kursi di bawah tenda itu, para peserta yang bergantian ke atas panggung mulai mengajukan pantun dan menunggu balas dengan suara vokal yang bersemangat. Sesekali lantunan segar, celotehan yang tetap bergaya pantun dilontarkan baik oleh peserta dan seorang MC yang memoderatori acara berbalas pantun itu.

“Tumbuh berumpun si batang tebu, tempat bersarang si ular lidi. Berbalas pantun berhenti dulu, jika menang kami kembali,” ujar tiga lelaki peserta dari Bengkalis pada peserta lawannya, yang spontan mengundang respons penonton karena penyataan yang penuh percaya diri itu.

Peserta lain pun menyahuti peserta yang terdiri dari perempuan: “Sudah terang lagi bersulang, anak nelayan menangkap ikan. Cik Ayu sayang janganlah gaduh, balasan sayang kami berikan...”

Ibnu Salman, delegasi dari Deli Serdang, mengatakan bahwa penyelenggaraan Festival Pantun Serumpun yang selain berupa peraduan pantun juga menggulirkan acara Pencatatan Rekor Berpantun Terlama, Cerdas Cermat Pantun, Eksibisi Pantun, Kajian Pantun, Kedai Pantun, hingga Launching Buku Negeri Pantun dan Opera Negeri Pantun ini penting untuk mempererat silaturahmi dan membesarkan budaya Melayu.

“Agar tak hilang ditelan waktu supaya tak lekang ditelan zaman,” ujar Ibnu yang mengaku antusias dengan acara ini.

Beda Langgam

Ibnu mengakui ada perbedaan langgam, dialek, peribahasa dan kosakata. Namun, menurutnya mereka tetap bisa saling menyambung selama dia orang Melayu, sehingga orang yang betul-betul Melayu pasti tahu dan mengerti. “Makanya, dibilang Melayu serumpun,” tambah Ibnu.

Dari Deli Serdang Bedagai, ada tiga peserta dan seorang ofisial. Sejak pukul 10 setiap peserta sudah mengikuti technical meeting.

“Persiapan kami biasa saja karena sudah tradisi kami untuk menggunakan pantun. Kami antusias, karena itu dari jauh pun kami tetap hadir, sekalipun mengeluarkan biaya besar yang ditanggung Pemda. Untuk acara ini, kami bersedia meluangkan waktu meninggalkan pekerjaan di sana,” ujar Ibnu yang menjabat Kepala Sekolah di sebuah Sekolah Dasar di Serdang Bedagai.

Peraduan Pantun yang berlangsung selama dua hari, Jumat dan Sabtu (25-26/4) itu menurutnya hanya mereka persiapkan spontan.

“Kami hanya persiapkan sampiran sedangkan kalau isi pantunnya tetap situasional, isi itu telah kita sesuaikan dengan sampiran yang kita punya,” paparnya.

Syahril Tambesi dari kontingen Medan mengatakan bahwa motivasinya mengikuti peraduan pantun ini adalah untuk mempertahankan budaya.

“Kami berharap generasi muda mempelajari bagaimana pantun, agar jangan sempat hilang. Kami dari Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia merasa terpanggil untuk hadiri pantun ini. Dan berharap berkesinambungan tak hanya di daerah saja, tak hanya antara lain sampai Kalbar, Riau tapi juga bertambah bahkan dari Negara Brunei Darussalam menyambut baik kegiatan ini,” paparnya.

Perbedaan bahasa ada kriterianya sehingga setiap peserta dapat mengerti secara umum. Selain Syahril, peserta dari Malaysia, Siti Fairus binti Mohd Rawi, bersama dua kawannya yang juga mahasiswi dari Aswara (Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan) diberangkatkan Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia untuk mengikuti peraduan pantun ini.

“Ini pertama kalinya saya mengikuti. Saya memang tak pernah mendengarnya secara langsung. Kalau bahasa yang digunakan, karena serumpun, kami paham. Karena bila ada yang masih kurang paham, di tempat kami diajarkan juga Pengantar Kesusasteraan Melayu. Walau tadi ada juga seperti peserta dari Bengkalis, beberapa kata kami sempat pikirkan,” ujar Siti Fairus.

Soal gurindam, yang dia tahu adalah gurindam 16 dan 17 dengan langgam bunyinya. “Kami juga belajar pola penggunaan rima a-b-a-b dalam bunyi pantunnya,” ujarnya. n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 26 April 2008

Para Pengarang yang Terlilit Utang

-- Damhuri Muhammad*

KETIDAKNYAMANAN personal paling parah yang kerap dialami seorang pengarang adalah ketika ia dihadang pertanyaan, apa pekerjaan Anda? Pengarang itu selalu kesulitan merumuskan jawaban. Sebab, "pekerjaan" menurut pemahaman umum tentulah sebuah profesi permanen yang memungkinkan seseorang memiliki seragam kerja, institusi (tempat ia bekerja), dan yang paling mutlak adalah standardisasi gaji resmi, (bila perlu harus dijelaskan pula perihal kemungkinan pendapatan tak resmi).

Barangkali agak naif bila pengarang itu jujur menjawab, pekerjaan saya adalah mengarang. Kalimat itu hanya akan mengerinyutkan kening si penanya. Sebab, jawaban si pengarang tidak menunjukkan indikasi bahwa setiap hari ia ngantor, tidak pula menunjukkan selama ngantor ia memakai seragam kerja, apalagi soal standardisasi gaji. Dan, akan lebih membingungkan bila jawabannya, pekerjaan saya mengarang fiksi. Aha, apa pula itu?

Kebingungan macam ini sudah jamak di kalangan pengarang yang hidup di sebuah kurun di mana menjadi kaya lebih terhormat daripada menjadi tekun dan teguh pada sebuah pilihan. Oleh karena itu, yang sesungguhnya hendak ditanyakan bukanlah soal pekerjaan yang sedang ditekuni, melainkan lebih ditekankan pada berapa banyak uang yang bisa diraup dari pekerjaan itu. Celakanya, si pengarang tidak pernah mampu memberi jawaban memadai. Maka, sepanjang ia menjawab bahwa pekerjaannya adalah mengarang, jawaban itu tidak akan pernah memuaskan. Sebab, (bagi si penanya) aktivitas mengarang bukan (setidaknya belum layak disebut) sebuah pekerjaan.

Ranah sastra (puisi, cerpen, dan novel) memang medan yang masih rapuh untuk diandalkan sebagai pijakan identitas bagi yang tekun dan bersetia menggelutinya. Seorang cerpenis pernah berkeluh kesah, sejak malang melintang di dunia "percerpenan", belum pernah ia beroleh pengakuan bahwa menulis cerpen adalah sebuah pekerjaan sebagaimana layaknya profesi lain, misalnya dokter, guru, karyawan swasta, pengusaha atau tentara. Alih-alih menemukan justifikasi yang dapat memicu semangat kepenulisannya, justru yang diterimanya tak lebih dari cibiran dan sinisme yang kerap melumpuhkan mentalitas kepengarangannya. Namun, ia nyaris tidak pernah berhenti mengarang. Tak ada kegiatan yang diminatinya kecuali mengarang. Asyik bergumul dengan ide-ide ganjil yang kemudian diterjemahkannya ke dalam paragraf-paragraf cerita. Dikirimkannya ke redaksi koran. Naskahnya ditolak dengan alasan-alasan klise dan basa-basi, lalu dikirimkannya lagi naskah baru, ditolak lagi, dikirim lagi, begitu seterusnya. "Mengirim tulisan ke redaksi koran itu seperti ‘berjudi’, ndak jelas," begitu nasihat Nur Kholik Ridwan (2001) pada cerpenis itu agar ia mencari alternatif lain, selain mengarang. Akan tetapi, ia bersikukuh ingin bertahan sebagai pengarang.

Lain lagi ceritanya dengan cerpenis yang satu ini. Di bagian awal buku antologi cerpennya ia menulis catatan pengantar, "Seandainya saya kaya, punya banyak uang mungkin saya akan menjadi pedagang mobil atau meneruskan sekolah setinggi mungkin. Lalu, menjadi menteri, rektor, wali kota, bupati atau apa saja yang enak-enak. Tapi sayangnya, saya hanya punya mesin tik butut yang dihibahkan secara turun-temurun dari kakak-kakak saya. Setiap malam jari-jari tangan saya menari-nari di atas tuts mesin tik yang makin lama saya rasakan makin menguras energi. Tapi saya melakukannya dengan senang. Saat itu terbayang sejumlah honor dan nama saya terpampang di koran-koran. Tapi, hidup saya lebih sering jungkir balik daripada lurus, mulus apalagi merangkak ke atas." (Teguh Winarsho AS, 2005)

Menurut catatan Alex Supartono (Kompas, 25/04/04), redaktur koran tertentu menerima tak kurang dari 30-40 cerpen per minggu. Bahkan ada satu koran yang kedatangan 60-100 cerpen per minggunya. Diperkirakan tiap tahun, lebih dari 6.000 naskah cerpen menumpuk di meja redaksi beberapa koran yang belakangan ini dianggap sebagai barometer perkembangan cerpen Indonesia. Data ini menjelaskan betapa sulitnya seorang pengarang meloloskan naskahnya untuk bisa dimuat. Lalu, setelah redaktur memuat cerpennya, honorarium yang bakal diterimanya masih jauh dari cukup. Itu pun tidak bisa langsung diterima. Pihak koran punya aturan main tersendiri dalam pencairan honor. Setidaknya, ia mesti menunggu satu minggu terhitung sejak tanggal pemuatan (ini yang paling cepat). Jika belum dikirim, cerpenis itu harus menghubungi divisi keuangan koran tersebut, menagih (mengemis?) agar honornya segera dikirim. Lebih menyedihkan lagi, ada cerpenis yang namanya sudah "jelas-jelas" terpampang di koran tertentu, tapi tidak menerima honor sama sekali. (Mungkin ia kurang berani atau malu menagih, mungkin pula pihak koran yang tak berkesadaran membayar upah "buruh" sebelum kering "peluh" di kuduknya).

Dalam konteks kepenulisan sastra, menulis itu semacam rencana, di mana seorang pengarang ingin membangun estetika hidupnya. Dengan menulis, orang ingin menyatakan apa saja yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Lebih jauh, kepenulisan (schreiben) dan keberadaan-diri (sein) adalah dua hal yang tak terpisahkan (Sindhunata, 2003). Bersenyawanya dua unsur itulah yang menentukan identitas pengarang. Akan tetapi, bagaimana mungkin pengarang dapat membangun identitasnya ketika yang ia miliki hanya ketekunan dan konsistensi (bertahan sebagai pengarang) tanpa penghargaan yang patut pada karyanya? Seterusnya bagaimana mungkin pengarang (baca: cerpenis) dapat hidup layak ketika "harga" satu naskah cerpen hanya cukup untuk "beli kerupuk"?

Khusus dalam kepengarangan cerpen, memang ada cerpenis yang memilih jalur komunikasi informal dengan para redaktur koran dan memanfaatkan "hubungan baik" itu untuk melicinkan jalan agar setiap naskahnya dilayakmuatkan. Jalan ini dapat dimengerti, sebab mereka tak punya pilihan lain. "Dapur mesti ngepul," begitu mereka membela diri. Akibatnya, yang terpampang di rubrik cerpen, nama-nama itu melulu. Seolah-olah nama-nama itu hendak memonopoli ruang sempit yang tersedia hanya sekali seminggu.

Dengan demikian, di manakah identitas kepengarangan dapat terbaca bila proses kreatif hanya demi uang? "Jalan pintas" yang ditempuh para pengarang seperti diceritakan di atas sejatinya amat "berbahaya". Betapa tidak? Mereka tidak lagi (setidaknya abai) mempertimbangkan kualitas karya. Cerpen-cerpen yang mereka lahirkan tak lebih dari kisah picisan yang meski amat puitis dan memikat, tetapi gersang dan kehilangan roh. Meski melimpah, tapi murah. Alih-alih meraih "prestasi literer" atau meningkatkan kualitas capaian estetik, jauh-jauh sebelum naskah cerpen ditulis dan dikirimkan ke meja redaksi, di dalam kepala mereka sudah terbayang sejumlah uang. Lebih fatal lagi, ketika seorang cerpenis nekat mengirimkan satu naskah cerpen untuk tiga koran (sekaligus) hanya dengan siasat mengubah redaksi judul. Kenekatan macam ini tentulah akibat dari murah dan rendahnya harga sebuah karya. "Meski honornya sedikit, tapi jika dimuat di tiga koran lama-lama jadi bukit," begitu biasanya mereka berkilah.

Setelah menempuh "jalan pintas", siasat dan tabiat nekat macam itu, lantas apakah kegiatan mengarang sudah dapat disebut pekerjaan? Jawabannya tentu tidak! Karena, ternyata para pengarang tetap saja mengeluh hidup payah, kere bahkan banyak pula yang terlilit utang. "Pengarang itu memang kere, jika tidak kere bukan pengarang namanya," kelakar seorang kawan pengarang. Tapi, apa boleh buat! Sudah kepalang basah! Mereka tidak akan menyerah. Terus akan mengarang dan mengarang. Setidaknya "mengarang-ngarang" formulasi jawaban yang jitu bila masih ada yang latah bertanya, apa pekerjaan Anda?***

* Damhuri Muhammad, Pengarang

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008

Seni Rupa Mesir dan Jawa

-- Jakob Sumardjo*

TERDAPAT kemiripan yang mencolok antara seni rupa Mesir Purba yang berusia 5.000 tahun dan seni rupa Jawa yang berusia 1.000 tahun. Kemiripan itu terdapat pada cara menggambar tubuh dan peristiwa manusia. Keduanya memecahkan masalah cara menggambar dalam bidang dua dimensi suatu benda yang empat dimensi, yakni sebelah kanan dan kiri serta depan dan belakang.

Kalau kita perhatikan reproduksi lukisan-lukisan kuil atau ruang piramida Mesir Purba, akan terlihat kesamaan cara menggambar dengan seni rupa Jawa zaman Hindu-Budha-Tantra. Pertama yang kita saksikan adalah tidak adanya bingkai gambar. Dalam cara pandang modern kita, semua gambar (lukisan) selalu dibatasi oleh bingkai yang memotong sebuah peristiwa manusia. Kita sudah terbiasa melihat "potongan kepala" dalam bingkai sebagai sebuah lukisan, seolah-olah itulah gambar manusia seutuhnya.

Dalam gambar-gambar purba tersebut, manusia digambar utuh mulai dari kaki sampai kepala. Kalau ada gambar kepala saja, maka itu berarti memang kepala tanpa badan. Misalnya seorang panglima perang Babilonia menenteng kepala musuhnya dan ditunjukkan kepada rajanya.

Bukan hanya manusia digambar seutuhnya, tetapi juga peristiwa dalam waktu digambar tanpa bingkai yang mengotak-ngotakkan peristiwa. Dalam lukisan-lukisan kuil Mesir tadi, semua peristiwa digambar bersambungan sesuai dengan bidang gambar yang ada. Hal ini mirip dengan gambar-gambar pada wayang beber di Jawa atu gambar-gambar Kamasan di Bali.

Pada candi-candi di Jawa, cerita-cerita mitologi dalam gambar relief dinding candi, sudah dipotong-potong dalam kotak-kotak bingkai. Inilah pengaruh pikiran India Utara yang didominasi ras Indo-Germania (Arya). Pemikiran Barat bertolak dari kalangan bangsa-bangsa nomad-pemburu Indo Jerman ini. Sedangkan pikiran Timur didominasi oleh ras-ras bangsa yang hidup dari pertanian basah (hidro-agraria). Bahwa hidup ini mengalir sambung-menyambung sepanjang masa tiada putus-putusnya, bukan dipotong dan dimatikan seketika.

Kembali pada cara menggambar orang-orang Mesir Purba dan Jawa klasik. Gambar-gambar manusia Mesir mirip dengan gambar wayang kulit atau wayang beber. Bentuk manusia digambar sekaligus dari depan dan dari samping. Ciri wajah manusia itu dilihat dari samping, bukan dari depan seperti kebanyakan lukisan modern. Tubuh dari depan, tetapi kaki dan tangan dari samping. Tangan dan kaki dari samping itu serupa, baik tangan dan kaki kiri maupun tangan dan kaki kanan.

Seperti anak-anak kecil, manusia-manusia dewasa masa lampau itu menggambar apa yang ada di pikirannya, bukan apa yang dilihatnya. Gambar visual itu bukan gambar melalui mata, tetapi melalui pikiran.

Yang diketahui itu lebih penting dari apa yang dilihat mata. Jangan percaya pada penampilan. Percayalah pada apa adanya. Gambar bukan tipuan mata seperti dikerjakan orang-orang modern sejak zaman renaissans. Sikap ini sudah dimulai sejak manusia prasejarah menggambar. Kalau mereka menggambar bison, kuda, atau rusa, mereka bukan bermaksud menggambar binatang-binatang tersebut, tetapi menggambar apa yang ada di pikirannya. Mereka menggambar di gua-gua gelap atau tebing tinggi, serta tempat-tempat yang sunyi untuk semedi. Mereka menggambar pikirannya antara sadar dan tidak sadar, contohnya manusia berkepala rusa. Kaki kuda dan manusia sama bentuknya.

Mereka tidak meniru alam dalam gambar. Mereka meniru pikirannya sendiri. Apa yang dialami dan diketahui itulah yang digambar, bukan di luar dirinya tetapi di dalam dirinya. Mereka menggambar pohon kelapa dengan delapan pelepahnya digambar utuh menyamping secara berjajar. Cara-cara menggambar demikian dilakukan oleh seniman-seniman kontemporer yang menolak mimesis, gambar lewat mata. Mereka ini menggambar perasaan dan pikirannya sendiri. Objek gambar adalah dirinya sendiri.

Pikiran, perasaan, pengalaman pribadi itulah yang digambar. Objek di luar dirinya hanyalah media penyampaian. Rusa dan banteng itu hanya sarana untuk menyampaikan pengalaman pribadinya. Hal ini sama dengan ketika nenek moyang kita menggambar wayang. Bentuk tubuh manusia hanya sarana bukan sasaran. Sasaran tetap opininya tentang manusia.

Inilah sebabnya tipuan mata dalam warna juga diabaikan. Orang Mesir, orang Jawa, orang Bali, membubuhkan warna-warna datar dan rata. Warna tubuh manusia bisa putih, biru, merah, hitam, kuning emas. Bahkan warna wajah berbeda dengan warna badan. Itulah sebabnya pelopor-pelopor seni rupa kontemporer Eropa banyak mencontoh cara menggambar Afrika dan Asia. Barat kembali ke Timur untuk menjadi kontemporer. Sedangkan kita yang Timur masih mengikuti yang Barat.

Dalam sebuah gambar dinding Mesir Purba terdapat sekumpulan perempuan duduk berjajar pada kursi-kursi, dan di depan mereka berdiri sosok perempuan menghadap deretan perempuan duduk. Di belakang perempuan berdiri digambar tumpukan atau susunan gambar buah-buahan dari atas ke bawah. Paling bawah terdapat jejeran botol-botol minuman. Cara membaca gambar ini tidak bisa secara modern, yaitu gambar susunan buah-buahan ke atas macam disusun dalam rak. Maksud dari gambar ini adalah aneka buah-buahan tadi terhampar di lantai.

Cara menggambar benda-benda yang dekat dan yang jauh adalah dengan menyusunnya ke atas. Semakin ke atas, semakin jauh dari si penggambar. Jadi tidak digambar dalam tipuan mata kita. Kalau beberapa benda berjajar ke belakang maka yang di depan menutupi yang di belakang. Pikiran kita takluk pada tipuan mata kita.

Ada sebuah lukisan Bali modern yang menggambarkan pertunjukan wayang kulit Bali dari belakang dalang. Dalang tidak digambarkan punggungnya saja, tetapi juga kepalanya yang nampak menyamping. Begitu pula gambar blencong dari belakang, disusul dengan nongolnya sumbu blencong ke samping. Hal ini sama saja dengan kalau Anda menggambar (maaf) seorang lelaki sedang buang air kecil dari belakang, maka wajah lelaki itu akan nampak dari samping, begitu pula kelaminnya akan nongol ke samping dari balik badan.

Dalam melukiskan sebuah cerita, setiap adegan digambar sambung-menyambung satu sama lain, tidak ada batas bingkai adegan, seolah-olah waktu itu mengalir dalam satu kesatuan. Gambar adegan pertama langsung digambar adegan kedua di sisinya, dan seterusnya. Dengan demikian akan terdapat gambar rol. Gulungan gambar itu bisa dibuka dan kita mengikuti jalan cerita sambung menyambung tanpa henti. Seperti kita menonton film. Gambar demi gambar bermunculan di layar yang sama. Itulah sebabnya gambar-gambar tua ini sering disebut komik strip oleh orang modern, atau gambar komik tertua di dunia.

Gambar manusia juga tidak seragam sama tinggi dan lebarnya. Gambar-gambar Mesir purba, manusia raksasa dikelilingi oleh kurcaci-kurcaci kecil, namun bentuk tubuhnya sama. Teknik pembesaran dan pengecilan adalah kehendak pikiran. Apa yang disebut "besar" dan "kecil" di Mesir mungkin berbeda dengan di Jawa. Gambar manusia besar di Mesir untuk raja dan dewa-dewa. Gambar manusia kecil untuk rakyat biasa. Di Jawa, gambar besar bermakna kasar, dan yang kecil halus. Itulah sebabnya kata "seni" untuk Indonesia berawal dari arti "halus" ini. Raja Rahwana digambar besar, bukan karena dia raja, tetapi karena dia kasar, jahat, penuh nafsu, dan merusak. Sedangkan raja Yudhistira digambar kecil, bukan karena lebih kecil kekuasaannya dari Rahwana, tetapi karena lebih halus budi pekertinya. Perempuan yang digambar besar adalah perempuan kasar, misalnya Sarpakenaka. Wayang-wayang perempuan selalu digambar lebih kecil, lebih ramping, karena menggambarkan kehalusan.

Mengapa ada kesamaan-kesamaan mencolok ini?

Bangsa Mesir purba dan Jawa serta Bali adalah masyarakat petani basah (hidroagraris). Pengalaman bersawah adalah pengalaman mengembangbiakkan tanaman padi atau gandum. Pikiran dasar mereka adalah bahwa hidup ini menghidupkan, memelihara, dan ikut mengembangkan yang hidup. Bahkan kematian adalah kehidupan. Hidup ini tak pernah mati, tak pernah tiada. Orang Mesir percaya bahwa hidup di dunia ini akan berlanjut di dunia mati, itulah sebabnya para farao Mesir membawa serta semua benda-benda emas miliknya. Seperti biji gandum, tak mati. Satu biji gandum akan melahirkan banyak gandum.

Kematian tidak pernah menakutkan bagi orang Mesir, Jawa, dan Bali. Kematian sebiji gandum atau padi akan melahirkan banyak gandum dan padi. Hidup ini adalah hidup yang terus berkesinambungan. Ritual kematian sama besarnya dengan ritual perkawinan. Mati adalah berkembang. Kematian harus diterima, bukan ditolak, seperti kita menerima kehidupan ini.

Kehidupan dan kematian, kesadaran dan ketidaksadaran, makrokosmos dan mikrokosmos, semua itu satu, tunggal, seperti halnya depan dan belakang, jauh dan dekat, kanan dan kiri, besar dan kecil, kasar dan halus. Kita tidak memisahkan yang kiri dengan kanan, depan dengan belakang, tadi dan sekarang.***

* Jakob Sumardjo, Budayawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008

Teater: Masih Antigone

-- Silvester Petara Hurit*

KEKUATAN lakon "Antigone", juga lakon-lakon Sophokles yang lain adalah dalam penonjolan watak tokoh dan teknik membangun ketegangan-ketegangan dramatisnya. Tokoh-tokoh di sana berjuang kuat dalam menghadapi nasibnya. Juga mempersoalkan masalah-masalah eksistensial seperti pilihan, penderitaan, keteguhan, keadilan, dan pemahaman atau pengertian sang tokoh di akhirnya.

Lakon yang telah menyimpan kekuatan tragis itu ditafsir dan dipanggungkan dengan durasi sekitar satu setengah jam. Sutradara Yusef Muldiyana tampaknya memilih untuk setia pada teks lakon Sophokles ini dengan menyandarkan kekuatan permainan pada para aktornya. Pertunjukan mengalir dengan tempo yang terjaga secara baik, dan ini merupakan keberhasilan para aktor.

Konvensi estetik klasisisme diwujudkan terutama melalui penataan artistik yang dikerjakan Lucky Lukman. Dua pilar yang tegak di panggung serta mahkota perak menjadi penanda keagungan lakon itu. Keberhasilan visual terasa pada saat layar dibuka perlahan. Penonton segera melihat dua pilar besar yang dilingkari jejaring tali serupa akar. Tampak agung serta garang, dengan perspektif ruang yang kian mengecil dan tekstur latar yang runcing menonjol. Diimbuhi warna monokrom disapu cahaya merah, keagungan bercampur kegetiran, suram, lirih, ganas, dan asing.

Derap kaki, gestur, dan gerak distilisasi. Dalam pementasan klasik, ini dipakai untuk memperkuat efek-efek tragical. Begitu pula dengan penggunaan topeng dan jubah panjang, yang memberi kesan asing sekaligus idealisasi terhadap tubuh aktor menjejak dalam pertunjukan. Tetapi memang ada konsekuensi berupa kurang tajamnya perbedaan karakter sebagai penentu umur, golongan sosial, status, serta watak para tokoh.

Sementara itu, lagu yang dihidupkan dengan gerak tari paduan suara aktor di panggung terkesan terlalu segar. Sepertinya tidak sampai masuk membantu mengaksentuasikan irama, emosi, kekelaman, dan roh tragis lakon. Padahal, rangsangan auditif, entah lewat lagu ataupun efek musik, memainkan peran penting, terutama dalam menghidupkan aspek emosional penonton. Pada bagian tertentu, gerak maupun lagu, semestinya memiliki warna ritualistis yang kuat dan mencekam. Misalnya ketika para wakil rakyat berdoa kepada dewa setelah mendengar meluncurnya nujum mengerikan dari petapa Teirisias.

Penampilan para aktor secara keseluruhan cukup menarik (Creon dimainkan oleh Kemal Ferdiansyah; Antigone oleh Ria Ellyssa; Haemon oleh Lucky Lukman; Ismene oleh Fitriasari; Pengawal oleh Deden Bel; Teiresias oleh Ayi Kurnia; Pembawa Warta oleh Dedi Warsana, dan pemimpin paduan suara oleh Ayi Bukhary). Mereka berhasil menjaga tempo, namun kurang maksimal dalam membangun irama tragis.

Power dan intensitas permainan Creon, misalnya, semestinya lebih mencuat tatkala ia ditentang langsung oleh Antigone, perempuan yang terkesan arogan dan kepala batu di hadapan dirinya yang adalah laki-laki dan raja. Antigone juga seharusnya memperlihatkan kualitas dan kompleksitas pergulatannya yang berbeda ketika ia berbicara seorang diri menjelang hukuman matinya tiba.

Di sisi lain, kehadiran Ayi Kurnia sebagai petapa di saat ketegangan mulai memuncak, terlalu bertenaga dan terlalu gagah, baik dalam gerak maupun suara. Suasana akan jauh lebih mencekam dan bertuah kalau yang ditampilkan bukan kegagahan dan tenaga. Melainkan kerentaan dan kedalaman seorang petapa yang sarat perenungan.

Tragedi selalu menyimpan kekelaman. Tetapi justru di situlah soalnya. Selama ini, Yusef Muldiyana berkecenderungan tampil dengan karakter karyanya yang berupa fragmen-fragmen humoristis dan parodis dengan dialog-dialog rileks dan hangat, serta lagu-lagu dan gerak-gerak segar dengan kecenderungan bermain yang kuat. Kecenderungan itu tampaknya berpengaruh pula pada cara ia mendekati tragedi Sophokles kali ini.

Lagu-lagu yang berkarakter agak pop dan nyanyian ritual Islami juga hadir dalam pertunjukan ini. Kehadiran lagu, karakter, dan nyanyian semacam itu tidak menjadi masalah manakala sutradara sudah jelas dalam memperlakukan lakonnya. Dalam kasus Yusef dengan "Antigone"-nya, konsepnya tampaknya belum jelas benar. Apakah Yusef memilih setia pada konvensi estetik klasisisme Yunani atau hendak melakukan perkawinan (hybrid), atau malah melakukan parodi terhadapnya?

Jika ia memilih setia, dan memang tampaknya demikian, maka kehadiran lagu berkarakter pop dan nyanyian ritual Islami, apalagi dengan eksplorasi yang kurang intens menjadi kurang bersenyawa. Akan lebih menantang jika Yusef beranjak dari sana. Misalnya mendekati dan memperlakukan lakon yang telah menjadi klasik itu secara tuntas dalam kecenderungannya yang khas untuk menghasilkan suatu efek semantik yang baru sama sekali.***

* Silvester Petara Hurit, Mahasiswa STSI Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008

Friday, April 25, 2008

Teropong: Pelurusan Sejarah Boedi Oetomo

-- Ki Supriyoko*

MESKIPUN peringatan 100 tahun kelahiran Boedi Oetomo atau BO yang dijadikan Hari Kebangkitan Nasional masih beberapa minggu lagi, di Yogyakarta telah terjadi ”Hari Kebangkitan Keluarga”. Sejumlah anak cucu pendiri BO yang bergabung dalam Paguyuban Keluarga Besar Pendiri Boedi Oetomo menyatakan bahwa dr Wahidin Soedirohoesodo bukanlah pendiri BO. Mereka menuntut dilakukan pelurusan sejarah.

Pernyataan tersebut barangkali saja sedikit mengejutkan kita. Pasalnya banyak anggota masyarakat, khususnya para pelajar, yang telanjur tahu dan meyakini bahwa Wahidin (bersama Soetomo, dkk) merupakan pendiri BO. Apalagi Wahidin pernah memimpin BO.

Para guru sejarah banyak yang telanjur mengajarkan bahwa Wahidin sebagai pendiri BO. Para kepala sekolah dalam memberi sambutan memperingati Hari Kebangkitan Nasional banyak yang sudah telanjur menyebut Wahidin sebagai pendiri BO. Hal yang sama juga dilakukan oleh sementara pejabat di tingkat desa, kecamatan, dan bahkan kabupaten/kota. Sebagian buku dan situs internet pun ada yang menyebut Wahidin sebagai pendiri BO.

Pendapat ahli sejarah

Tuntutan pelurusan sejarah tersebut mendapat respons yang beragam dari masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Ada yang merespons positif, negatif, dan ada pula yang tak acuh. Bahkan ada yang bertanya ada kepentingan politik apa di balik tuntutan tersebut. Yang lebih menarik ternyata pendapat ahli sejarah berkelas dunia pun tidak sama.

Adalah Djoko Suryo. Guru besar pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta alumnus Department of History, Monash University, Australia, ini berpendapat bahwa untuk menyatakan Wahidin bukanlah pendiri BO harus didukung dengan bukti yang kuat. Implikasinya, keluarga pendiri BO harus mampu menyampaikan bukti-bukti yang mendukung pernyataan mereka tersebut. Tidak cukup satu bukti, tetapi banyak bukti.

Pernyataan Mas Djoko tersebut kiranya bersifat normatif dan berada dalam jalur akademis. Memang demikianlah seharusnya; untuk menyatakan Wahidin bukan pendiri BO harus didukung bukti yang kuat; sama halnya untuk menyatakan Wahidin adalah pendiri BO pun juga perlu bukti yang kuat. Analoginya, untuk menyatakan Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan lain-lain sebagai pendiri BO pun harus didukung bukti yang kuat.

Merle C Ricklefs, guru besar pada Department of History, National University of Singapore (NUS) Singapura, mempunyai pendapat yang langsung menukik ke permasalahan. Ahli sejarah kelas dunia yang minggu lalu mengunjungi saya di Yogyakarta tersebut menyatakan bahwa tuntutan keluarga itu betul. Pak Ricklefs menyatakan bahwa memang benar Wahidin itu mengilhami berdirinya BO, namun sebenarnya bukan Wahidin yang mendirikan BO.

Penekun ilmu sejarah Indonesia tentu sudah membaca buku karya MC Ricklefs, A History of Modern Indonesia, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi Sejarah Indonesia Modern. Di dalam buku tersebut Ricklefs menyatakan bahwa pada tahun 1907 Wahidin telah berkunjung ke STOVIA, mendapat tanggapan sangat antusias dari pelajar di sana sebelum akhirnya para pengajar tersebut mendirikan BO pada Mei 1908.

”In 1907 Wahidin visited STOVIA and there ... he encountered an enthusiastic response from the students. It was decided to create a student organisation to further the interests of the lesser priyayi and in May 1908 a meeting was held at which Budi Utomo was born”; demikianlah tulisnya.

Pandangan Pak Ricklefs tersebut sama dengan informasi dalam situs Wikipedia Indonesia dalam ”Wahidin Sudirohusodo”. Di dalam situs ini secara eksplisit diinformasikan bahwa Wahidin Sudirohusodo, dr (Melati, Yogyakarta, 7 Januari 1852-26 Mei 1917) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walau pun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan oleh para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.

Harus hati-hati

Muatan politik (praktis) dalam tuntutan pelurusan sejarah tersebut kiranya sangat kecil, untuk menyatakan tidak ada. Namun, pemerintah hendaknya hati-hati dalam menyikapinya.

BO adalah organisasi besar dan monumental bagi bangsa Indonesia. BO adalah organisasi modern pertama yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, meski ketika itu terminologi Indonesia itu sendiri masih bersifat embrional. Itulah sebabnya hari lahir BO, 20 Mei, ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Bukan itu saja, ketika kita bicara sejarah Indonesia modern, maka titik awalnya adalah momentum lahirnya BO.

Di sisi yang lain, kalaupun nanti terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa Wahidin bukan pendiri BO, janganlah menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap Wahidin. Bagaimanapun, Wahidin adalah inspirator sekaligus penggagas berdirinya BO; di samping dalam Kongres Ke-2 terpilih sebagai Ketua BO. Belum lagi jasanya berkeliling ke kota-kota besar di Pulau Jawa untuk menyosialisasikan pemikiran perlunya pengumpulan ”dana pelajar”; yaitu dana untuk menyekolahkan pemuda-pemuda Indonesia yang mempunyai keterbatasan ekonomi agar menjadi kaum cerdik-pandai guna memerdekakan bangsanya.

Pelurusan sejarah memang penting, namun menghormati jasa pahlawan kiranya jauh lebih penting!!!

* Ki Supriyoko, Pamong Tamansiswa; Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan (BPPN); Wakil Presiden PAPE, Tokyo, Jepang

Sumber: Kompas, Jumat, 25 April 2008

Teropong: Orang Sunda Paling Suka Daun Muda

MAKAN bukan hanya merupakan upaya manusia untuk mempertahankan diri agar bisa hidup terus. Dengan makan, makhluk hidup apa pun, apalagi manusia, berusaha memenuhi kebutuhannya akan gizi. Tanpa makan, apalagi juga tanpa minum, kehidupannya tidak akan berlangsung lama.

Akan tetapi, makan juga menunjukkan budaya suatu bangsa atau etnis. Makanan pokok bangsa-bangsa Eropa, Amerika, dan Australia berbeda dengan makanan pokok yang dikonsumsi bangsa-bangsa di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Bahkan, dalam satu bangsa sekalipun bisa berbeda-beda. Dulu di bangku sekolah, anak-anak sekolah dasar mengetahui lewat buku-buku pelajaran bahwa orang Madura tidak memakan nasi sebagai makanan pokok. Mereka memakan jagung. Orang Maluku dan Papua memakan sagu.

Namun, seperti etnis lainnya di Nusantara, tradisi makan telah mengalami perubahan, terutama setelah mengalami sukses ”revolusi hijau”. Budidaya tanaman padi diperluas melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi sehingga kita mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984.

Tanpa disadari, keberhasilan itu disusul dengan terjadinya perubahan tradisi makan. Kini hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang tidak menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok mereka. Di Tatar Sunda, tinggal masyarakat Kampung Cireundeu di Kota Cimahi yang melanjutkan tradisi leluhurnya dengan menjadikan olahan singkong sebagai bahan makanan pokok. Jumlah mereka hanya beberapa puluh keluarga.

Tradisi

Bahwa tradisi makan menunjukkan budaya masyarakatnya, tecermin dalam cara makan orang yang egaliter. Tradisi makan masyarakat Sunda yang tinggal di daerah pedesaan memperlihatkan budaya masyarakatnya yang egaliter. Bentuk rumah dan pembagian ruangannya yang sederhana tidak membutuhkan peralatan rumah tangga yang dianggap tidak perlu. Ruang tengah dijadikan ruang keluarga, sekaligus menjadi ruang makan. Ruang ini sering kali tidak dilengkapi dengan meja makan. Mereka makan dengan cara lesehan di atas sehelai tikar yang dihamparkan.

Tradisi makan sebagai budaya suatu etnis bisa juga dilihat dari rumah-rumah makan etnis di berbagai daerah. Jika kita memasuki rumah makan padang, nasi yang dihidangkan sekadarnya saja. Yang paling banyak justru lauk berbagai jenis masakan. Ada ayam pop, ayam goring, daging rendang, goreng dendeng dan limpa, masakan otak, kukus daun singkong atau pakis, dan lainnya. Kuahnya dibuat dengan santan kental. Untuk cuci mulut, disediakan buah-buahan.

Rekan J Mathias Pandoe dari Padang menceritakan, dalam kehidupan sehari-hari, orang Minang bisa menghabiskan separuh penghasilannya untuk makan. Maksudnya, makan tidak asal kenyang, tetapi—ya itu tadi—makanannya banyak mengandung gizi.

Subur

Tatar Sunda adalah daerah yang subur. Curah hujannya tinggi. Dengan demikian, seperti salah satu lagu Koes Plus dan ”Kolam Susu”, tongkat saja jika ditancapkan di daerah ini bisa jadi tanaman. Di Tatar Sunda, berbagai jenis tumbuhan bisa subur.

Namun, bagaimana hubungan antara tingkat kesuburan suatu daerah dan tradisi makan penduduknya, agaknya merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji sebagai kekayaan local genius masyarakat setempat.

Buktinya, walau hidup bertetangga, tradisi masyarakat Sunda dalam memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah. Di daerah yang terakhir ini, berbagai daun-daunan dan tanaman lain yang berkhasiat obat dijadikan jamu. Baik yang dijajakan dengan cara digendong maupun dengan cara diproses lebih dulu, seperti diproduksi industri-industri jamu.

Tradisi itu tidak dijumpai di lingkungan masyarakat Sunda. Berbagai jenis tumbuhan dan biji-bijian yang diperoleh dari kebun, ladang, bahkan dari pematang sawah atau hutan langsung dimakan. Sebagian besar di antaranya terdiri dari daun-daunan yang disebut lalap. ”Orang Sunda paling suka daun muda,” begitu pernah dikemukakan Guru Besar Biologi Institut Teknologi Bandung Prof Unus Suriawiria (alm) yang banyak meneliti khasiat berbagai jenis tumbuhan lalap yang dikonsumsi masyarakat Sunda.

Sebagian besar tumbuhan itu merupakan tumbuhan liar yang bisa dijumpai di sembarang tempat. Bahkan terdapat tumbuhan yang dijadikan pembatas pagar, seperti tumbuhan bluntas. Dengan demikian, jika membutuhkan lalap, siapa pun bisa dengan mudah memetiknya.

Bluntas bukan hanya satu-satunya jenis tumbuhan pembatas pagar yang bisa dijadikan lalap. Masih terdapat tidak kurang dari enam jenis tumbuhan pembatas pagar lainnya yang dijadikan lalap, seperti mangkokan, kastuba, puring, katuk, kedondong cina, dan petai cina. Di luar itu, jenis tumbuhan yang bisa dijadikan lalap-lalapan ternyata sangat banyak jumlahnya.

Dalam penelitian yang dilakukan Prof Unus Suriawiria, pada tahun 1986 ditemukan 70 jenis tanaman lalap yang bisa disantap langsung. Jumlah itu masih belum seberapa karena pada tahun 1993 ditemukan 24 jenis lagi sehingga jumlahnya mencapai 94 jenis. Sampai tahun 2000, ia mencatat tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap.

Yang menarik, dari berbagai jenis tumbuhan itu, tidak kurang dari 60 jenis di antaranya dimanfaatkan berupa bagian pucuk atau daun muda. Dengan demikian, ke mana pun melangkah, tumbuhan yang bisa dijadikan lalap berada di sekitarnya.

Penelitian

Kecuali Prof Unus Suriawiria, penelitian terhadap lalap masyarakat Sunda masih jarang dilakukan. Penelitian selama ini lebih banyak dilakukan terhadap tanaman obat. Tanaman lalap hanya disinggung sepintas saja, sebagaimana ditulis Dr A Seno-Sastroamidjojo dalam Obat Asli Indonesia (1962). Mungkin karena jenis tanaman ini lebih tinggi nilai ekonominya.

Rahasia dan perincian tentang jenis-jenis tanaman lalap justru lebih banyak ditulis oleh orang-orang Belanda sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1931, Dr JJ Osche dan Dr RC Backhuizen van den Brink menulis berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai lalap dalam buku Indische Groenten yang diterbitkan Archipel Drukkerij di Buitenzorg (Bogor). Bahkan, betapa pentingnya tanaman lalap, terbukti buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul Vegetable of Dutch East Indies yang diterbitkan penerbit A Asher & Co, BV di Amsterdam.

Buku lainnya yang menyinggung tanaman lalap dan manfaatnya sebagai sumber makanan maupun obat ditulis Dr K Heyne dalam De nuttige planten van N.I. (1927) dan Atlas van Indische geneeskrachtige planten yang ditulis Ny J Kloppenburg– Versteegh pada tahun 1933.

Lalap

Lalap menjadi hidangan yang disajikan di atas meja makan rumah-rumah makan Sunda mulai berkembang menjelang akhir tahun 2000. Entah karena adanya kecenderungan kesadaran perlunya ”kembali ke alam” atau orang mengalami kejenuhan dengan formalitas yang membelenggu aktivitas kesehariannya, rumah makan Sunda ikut terdongkrak. Rumah makan Sunda itu tidak hanya terdapat di Bandung, tetapi menyebar ke daerah lain, seperti Jakarta, dan bahkan sampai ke Batam.

Agar menimbulkan kesan kuat dengan lingkungan masyarakat Sunda, tempat-tempat yang dijadikan rumah makan tersebut biasanya berusaha mengadopsi tradisi dan nuansa masyarakat Sunda di daerah pedesaan. Bangunannya berupa saung (gubuk) berbentuk sederhana, terbuat dari bahan-bahan lokal seperti bambu dengan atap daun alang-alang yang dilapisi jerami agar tidak bocor pada saat hujan. Tempat makan hanya tersedia meja makan sehingga pengunjung hanya duduk lesehan. Sekeliling rumah makan tersebut biasanya dilengkapi dengan kolam ikan.

Menu utama biasanya ikan mas atau gurami yang diolah dengan berbagai bumbu, dalam bentuk pepes, goreng, atau hasil olahan lainnya. Tambahan menu lainnya yang tidak pernah ketinggalan, antara lain, goreng ikan asin jambal, goreng atau pepes ayam, oncom, sayur asem, dan tentu saja lalap-lalapan. Jika di lingkungan etnis lain jenis lalap seperti jengkol dan petai banyak dihindari, di lingkungan masyarakat Sunda justru sebaliknya. Jengkol dan petai justru merupakan penambah selera makan.

Pasangan lalap biasanya disandingkan dengan sambal. Sejoli ini ada yang disebut sambal terasi karena salah satu bahan yang digunakan terasi bakar. Ada pula yang disebut sambal dadak karena dibuat mendadak. Dinamakan sambal hejo karena menggunakan cabai hijau. Sambal goang yang banyak dikonsumsi petani di daerah pantai utara, terbuat dari cabe rawit dan garam secukupnya. Karena menggunakan bahan oncom, sambal tersebut dinamakan sambal oncom. Namun, dari semua sambal tersebut, bahan baku utamanya tetap cabai karena baru bisa dikatakan sambal jika rasanya pedas. (Her Suganda, Wartawan, tinggal di Bandung)

Sumber: Kompas, Jumat, 25 April 2008

Thursday, April 24, 2008

Arung Sejarah Bahari III: Hukum Adat Sasi untuk Konservasi Bahari

Tidore, Kompas - Peserta Arung Sejarah Bahari III di wilayah perairan dan Kepulauan Provinsi Maluku Utara mencoba mengaktualisasikan hukum adat sasi untuk konservasi bahari. Kearifan lokal itu semakin hilang seiring dengan perubahan tata pemerintahan Orde Baru yang tidak memberi peran kekuasaan masyarakat adat untuk menegakkan hukum adatnya.

Demikian dikemukakan Vidro FM Salamor, peserta Arung Sejarah Bahari III dari Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Rabu (23/4) di Tidore, Maluku Utara. Vidro menulis makalah Sasi sebagai Bentuk Konservasi Lokal dan Sarana Integrasi Bangsa Menuju Maluku Baru, yang masuk nominasi 10 makalah terpilih dari 94 mahasiswa peserta kegiatan tersebut. ”Konflik di Maluku dalam beberapa tahun yang membuat frustrasi sosial juga berdampak generasi muda menjadi tidak peduli kepada hukum adat sasi,” kata Vidro.

Hukum adat sasi bagian dari perencanaan ekologi. Vidro mencontohkan, tanda sasi atau larangan sering diberikan pada kawasan terumbu karang agar tidak dieksploitasi ikannya. Larangan itu dikeluarkan oleh ketua-ketua masyarakat adat atau raja. Sanksi terhadap pelanggaran, menurut Vidro, akan diterapkan berupa denda materi, dikucilkan, atau sanksi bersifat magis, misalnya tiba-tiba sakit dan hanya bisa disembuhkan dengan doa-doa tetua adat atau pemuka agama.

Akademisi Universitas Pattimura, John Pattikaihatu, yang turut serta dalam kegiatan Arung Sejarah Bahari III, mengatakan, hukum adat sasi sebagai kearifan lokal untuk melindungi lingkungan berkembang sejak lama sebelum ada pengaruh dari para pedagang Gujarat Arab yang berdatangan ke Maluku untuk mencari rempah-rempah pada abad VIII, juga penjelajah bangsa-bangsa Eropa pada abad XV. (NAW)

Sumber: Kompas, Kamis, 24 April 2008

Taman Bacaan Kurang Optimal, Anggaran Rp 41 Miliar dalam APBN Dipotong Separuhnya

Kompas - Taman bacaan masyarakat yang ada selama ini masih kurang optimal dikembangkan. Belakangan, anggaran pengembangan taman bacaan masyarakat juga terpangkas seiring dengan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008.

Padahal, taman bacaan masyarakat berpotensi memberdayakan komunitas. Berawal dari upaya memperkenalkan bacaan ke masyarakat sekitarnya, taman bacaan dapat berkembang menjadi wadah aktivitas di komunitas.

Seperti diwartakan sebelumnya, penyediaan bantuan pengembangan perpustakaan dan minat baca di daerah yang semula dianggarkan sekitar Rp 41 miliar kini terpotong separuhnya. Dana tersebut untuk bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat di 33 provinsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga. Adapun anggaran pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile atau bergerak tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya.

Hari Buku Dunia

Dalam peringatan World Book Day atau Hari Buku Dunia 2008 yang dibuka pada Rabu (23/4), sejumlah taman bacaan masyarakat ikut ambil bagian dalam memperkenalkan arti penting membaca dan kehadiran taman bacaan masyarakat. Perayaan Hari Buku Dunia berpusat di Museum Bank Mandiri, Kota, Jakarta, dan akan berlangsung pada 23-27 April 2008.

Pendiri taman bacaan masyarakat Arjasari yang berlokasi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Agus Munawar, mengatakan, kendala pendanaan menjadi persoalan umum bagi taman bacaan masyarakat. Pendiri taman bacaan umumnya membangun taman bacaan masyarakat dengan dana swadaya. ”Kami biasanya berburu ke tempat penjualan buku murah atau ke penerbit,” ujarnya.

Menurut Agus, minat baca masyarakat sebetulnya tinggi. Hanya saja, tidak semua orang sanggup membeli buku yang saat ini harganya masih terbilang mahal.

Hal senada diungkapkan pendiri taman bacaan Mutiara Ilmu, Kabupaten Bekasi, Soimah. Untuk mengelola taman bacaannya, dia mengeluarkan dana pribadi. ”Saya tidak menyesal mengeluarkan dana sendiri, yang penting taman bacaannya berjalan,” ujarnya.

Edi Dimyati, salah satu pendiri taman bacaan Kuartet Cibubur, Jakarta Timur, mengatakan, taman bacaannya tidak sekadar menjadi tempat membaca. Setiap akhir pekan diselenggarakan kegiatan yang bersifat edukatif, seperti permainan, menggambar, menonton film edukatif, dan berkunjung ke museum. (INE)

Sumber: Kompas, Kamis, 24 April 2008

Cagar Budaya: Selamatkan Rumah Keluarga Bung Karno

Blitar, Kompas - Rencana ahli waris menjual rumah milik almarhumah Soekarmini Wardoyo, kakak kandung Proklamator Republik Indonesia Soekarno di Blitar, Jawa Timur, kini menjadi polemik. Selama ini rumah seluas 1,4 hektar tersebut menjadi museum Bung Karno dan sejak tahun 2001 ditetapkan oleh Wali Kota Blitar sebagai cagar budaya Kota Blitar.


Istana Gebang, tempat proklamator dan presiden pertama RI Soekarno menghabiskan masa kecil hingga dewasa, menjadi museum penyimpanan benda-benda milik Bung Karno, Senin (21/4). Karena kesulitan biaya pemeliharaan dan untuk mencegah timbulnya konflik keluarga, rumah milik Soekarmini Wardoyo, kakak kandung Bung Karno, yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini akan dijual. (KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI)


Terkait rencana penjualan itu, Pemerintah Kota Blitar mengajukan diri sebagai penawar pertama. Wali Kota Blitar Djarot Saiful Hidayat mengatakan, rumah yang dikenal sebagai Istana Gebang itu merupakan aset berharga bagi pemerintah. Selain bernilai sejarah tinggi, juga menjadi aset pariwisata.

”Ada tiga tempat tujuan utama wisatawan di Blitar, yakni Makam Bung Karno, Perpustakaan Bung Karno, dan Museum Bung Karno atau Istana Gebang. Di halaman rumah itu sering digelar pertunjukan kesenian tradisional dan perayaan Haul Bung Karno yang dipadati ribuan pengunjung,” katanya.

Masyarakat Blitar yang tergabung dalam Forum Penyelamat Istana Gebang (FPIG) berjanji akan menggalang dana dari masyarakat untuk menyelamatkan Istana Gebang. Bagi masyarakat Blitar, rumah itu bukan sekadar museum tempat menyimpan barang milik Soekarno, tetapi menjadi kebanggaan warga kota.

Ketua Dewan Kesenian Kota Blitar Andreas Edison yang juga penggagas FPIG, Rabu (23/4), mengatakan, pihaknya menyayangkan tindakan ahli waris yang ingin menjual rumah yang penuh dengan kenangan Soekarno itu.

Nilai moral spiritual

”Bagi warga Blitar dan pengagum Bung Karno, rumah itu tidak hanya bangunan fisik, tetapi juga kekuatan moral spiritual. Seseorang yang mengaku nasionalis belum diakui nasionalismenya jika belum menginjakkan kaki di Istana Gebang,” ujar Edison.

Selain berfungsi sebagai museum, Istana Gebang yang terletak di Jalan Sultan Agung 59, Kelurahan Sanan Wetan, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, itu juga memiliki Gedung Kesenian yang menjadi rumah rakyat.

Jika Istana Gebang jatuh ke pihak lain yang tidak peduli dengan nilai moral spiritual itu, masyarakat Blitar bahkan seluruh bangsa tidak bisa lagi melihat kenangan tentang kehidupan proklamator kemerdekaan Indonesia itu.

Menurut Edison, gedung kesenian di Istana Gebang selain melahirkan banyak seniman besar, juga menjadi tempat Guruh Soekarno Putra dan Sukmawati belajar berkesenian.

Menurut Aryo Suka Kusuma, cucu Soekarmini Wardoyo, wacana penjualan Istana Gebang muncul sejak satu tahun yang lalu. Tepatnya ketika rapat keluarga para ahli waris pada 16-17 Juni 2007.

Rapat yang dihadiri oleh enam dari 10 cucu Soekarmini Wardoyo yang masih hidup itu memutuskan untuk menjual Istana Gebang. Alasannya bukan semata masalah kesulitan keuangan untuk membiayai perawatan rumah, melainkan kecemasan akan munculnya konflik keluarga mengingat banyak ahli waris sudah tiada.

Penawaran pertama akan diberikan kepada putra-putri Bung Karno. Apabila tidak ada tanggapan, akan ditawarkan kepada pemerintah.

Dalam rapat, Bambang Soekaputra dan Retno Iriani ditunjuk sebagai perwakilan keluarga yang menangani masalah penjualan rumah. ”Besarnya nilai penjualan rumah yang disepakati oleh keluarga ketika itu adalah Rp 50 miliar,” ujar Aryo. (NIK)

Sumber: Kompas, Kamis, 24 April 2008

Wednesday, April 23, 2008

Cagar Budaya: Arung Sejarah Bahari III Dimulai

Ternate, Kompas - Kegiatan Arung Sejarah Bahari III dimulai Selasa (22/4) dengan titik pemberangkatan di Ternate, Provinsi Maluku Utara. Peserta akan mengunjungi beberapa situs bersejarah yang sebagian besar peninggalan peradaban pada abad XV di wilayah Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo yang merupakan wilayah kepulauan terpisah satu sama lain.

Kegiatan yang berlangsung hingga 25 April ini merupakan kerja bersama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Departemen Pendidikan Nasional.

Sebanyak 94 mahasiswa dari 40 perguruan tinggi lolos seleksi sehingga bisa mengikuti kegiatan ini. Kriteria seleksi antara lain memiliki indeks prestasi kumulatif 3 atau lebih, mengajukan makalah yang relevan dengan tema kegiatan, dan menguasai salah satu seni tradisi.

Sebelum melakukan pelayaran, Senin (21/4) malam di Ternate dilakukan diskusi bertema ”Membangun Kembali Peradaban Bahari dengan Menjelajah Pusat Perdagangan Rempah-rempah Nusantara”.

Bambang Budi Utomo, peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, mengatakan, Ternate awalnya dikenal sebagai penghasil rempah- rempah dunia sehingga mendorong terjadinya eksploitasi dan penjajahan. Namun, kini pamor daerah rempah-rempah itu mulai memudar.

Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Maluku Utara Syahril Muhammad dan dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Alex Soselisa, mengatakan, kawasan timur Indonesia seperti Ternate kini lebih cocok mengembangkan potensi perikanan dan kelautan. (NAW)

Sumber: Kompas, Rabu, 23 April 2008

Festival Pantun: Sejumlah Negara Ikut Serta

JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah negara menyatakan ikut serta dalam Festival Pantun Serumpun Se-Asia Tenggara, 25-29 April di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain Malaysia dan Brunei Darussalam, Singapura juga ikut serta dalam festival itu.

Pemimpin Yayasan Panggung Melayu, Asrizal Nur, selaku penyelenggara, Selasa (22/4) di Jakarta, mengatakan, sejumlah daerah ikut serta dalam festival itu, seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta.

Asrizal menjelaskan, selain lomba berbalas (peraduan) pantun, cerdas cermat pantun, dan berpantun terlama, juga ada belajar pantun cepat dan gratis bersama Tusiran Suseno bagi guru dan siswa SLTP/SLTA.

Dalam festival ini akan ditampilkan pula kesenian bernuansa pantun, seperti Madihin dari Banjarmasin, Tundang (Pantun dan Gendang) dari Pontianak, Tarsul dari Samarinda, Seni Berpantun dari Kota Tanjungpinang, Pantun dan Lagu dari Brunei Darussalam, serta Gambang Kromong dari DKI Jakarta. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 23 April 2008