JIKA semua ditulis, ada ketua partai ditangkap.” Demikian komentar Sri Edi Swasono, mantan Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia, menanggapi buku Memoar Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto, Sabtu (1/5) di Jakarta. Hari itu, Sri Edi menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran buku Probosutedjo yang ditulis Alberthiene Endah.
Sejumlah informasi baru diungkap dalam buku setebal 681 halaman yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, ini. Misalnya tentang Probosutedjo yang satu ibu dengan mantan Presiden Soeharto. ”Saya lahir dari pernikahan ayah saya dengan ibunya Mas Harto. Namun, sebelum menikah dengan ayah saya, ibu sudah punya anak, yaitu Mas Harto,” kata Probosutedjo.
Ia melanjutkan, ”Sejak umur 15 tahun, saya panggil Mas Harto. Demikian juga dengan Bu Harto, kalau dalam keluarga saya memanggil Mbakyu.” Probo berbeda umur sembilan tahun dengan Soeharto.
Sebagai saudara, Probo punya banyak informasi tentang Soeharto yang ditulis dalam buku itu. Misalnya, peristiwa seputar 1965 dan 1966 yang dalam buku dengan 17 bab ini ditulis di bab tujuh dan delapan. Satu hal yang ditulis adalah pertemuan Soeharto dengan Bung Karno di Istana Negara pada Februari 1966.
Saat itu, Bung Karno kesal dan menegur Mas Harto yang tiada henti memintanya membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia menatap Mas Harto dan berucap, ”Har, aku iki arep kok kapake tho, Har? Yang bermakna, Har, saya ini akan kamu apakan?” (Hal 299).
Soeharto menjawab, sejak kecil diminta orangtuanya menghayati petuah mikul dhuwur mendem jero. ”Itu artinya, semua rahasia orangtua ditutup rapat. Namun, ajarannya yang baik tetap dilaksanakan, seperti tentang Pancasila,” ujar Probo.
Dalam situasi kritis pada 1966, kata Probo, Soeharto pernah bertemu Ali Sastroamidjojo, Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI). Soeharto bertanya hakikat marhaenisme. Ali berpikir sebentar. ”Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia” (hal 301). Pertimbangan itu membuat Soeharto mengganti PNI dengan PDI.
Namun, di buku itu tidak ada tulisan tentang perlakuan terhadap Soekarno setelah tidak menjadi presiden hingga akhirnya meninggal pada Juni 1970 di Wisma Yaso dengan kondisi tidak terawat. Juga tidak ada informasi mengapa pada 1999 Probo memimpin PNI-Front Marhaenis.
Selain tentang Soeharto, Probo juga banyak bercerita tentang bisnis dan pengalamannya dipenjara pada November 2005 karena perkara hutan tanaman industri. Kasus ini menarik karena melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangkap Harini Wiyoso, pengacara Probo yang juga mantan hakim tinggi di Yogyakarta. Turut juga ditangkap Pono Waluyo yang dikenalkan kepada Probo sebagai orang kepercayaan Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung saat itu. Di halaman 626-634 ditulis, penangkapan itu bermula dari Probo yang dijanjikan divonis bebas asal membayar Rp 6 miliar.
Akhirnya, buku Probo ini memang berpotensi mengundang banyak komentar. Langkah terbaik bagi mereka yang keberatan dengan sejumlah keterangan di buku itu adalah membuat buku pembanding. Dengan demikian, iklim demokrasi tetap terjaga dan masyarakat dapat menilai. (M Hernowo)
Sumber: Kompas, Selasa, 4 Mei 2010
No comments:
Post a Comment