-- Lie Charlie
DENGAR-DENGAR nilai pelajaran Bahasa Indonesia dalam ujian nasional 2010 baru-baru ini termasuk jelek. Siswa-siswi juga mengeluh bahwa soal ujian Bahasa Indonesia sulit. Tentu dapat dimengerti bahwa pelajaran Bahasa Indonesia disebut sulit apabila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam ujian lebih banyak yang kagak-kagak, seperti: ”Terdiri atas berapa morfemkah kata mempertanggungjawabkan?”
Pertanyaan di atas penting dan prinsipiil, tetapi membuat siswa- siswi yang salah menjawab menjadi tertekan. Penting dan prinsipiil belum tentu berguna!
Karena merasa pertanyaan itu tidak berguna, siswa-siswi akhirnya meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia dan tidak mau belajar. Nilai ujian mereka pun jeblok.
Pertanyaan mengenai pemahaman wacana juga membuat bingung dan frustrasi. Biasanya disajikan sebuah wacana, lantas ditanya tema atau tokoh utamanya. Siswa-siswi digiring kepada satu jawaban dan mereka yang menjawab berbeda dianggap salah. Jika isi wacana bercerita tentang dua masalah dan dua tokoh saja, jawaban terhadap pertanyaan apa dan siapa paling sedikit ada dua dan dua-duanya bisa benar.
Bahasa Indonesia yang tidak mengenal perubahan kata kerja berbeda dengan bahasa infleksi lain sehingga ujian memilih bentuk kata kerja yang benar dalam kalimat juga tidak terlalu relevan. Guru bahasa Inggris dapat menguji mana yang benar She make a dress atau She makes a dress. Hanya ada satu jawaban yang benar.
Guru Bahasa Indonesia sebetulnya tidak perlu ikut-ikutan menyajikan pertanyaan berpola serupa. Itu sebabnya, dalam ujian berbentuk ”pilih satu jawaban yang benar”, nilai pelajaran Bahasa Inggris siswa-siswi bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pelajaran Bahasa Indonesia.
Berbicara dan mengarang
Sudah sejak 20 tahun lalu para pendidik, teristimewa guru bahasa, menyadari bahwa pelajaran bahasa harus mementingkan pengembangan kemampuan berbicara dan mengarang. Namun, sampai sekarang hampir tidak ada realisasinya dalam kurikulum.
Tak heran apabila siswa-siswi kelas XII (SMA) pada umumnya belum dapat berbahasa Inggris secara fasih meskipun sudah belajar Bahasa Inggris selama rata-rata lima tahun sejak kelas VII!
Pelajaran Bahasa Indonesia pun tetap bertitik berat pada pengajaran dan pembelajaran teori-teori. Maka, muncul pengujian yang juga lebih mementingkan pemahaman teori.
Bagi siswa-siswi, jalan keluarnya sebetulnya gampang saja. Kalau materi yang diujikan adalah teori-teori, mereka tinggal menghafal agar lulus.
Mengenai jenis-jenis dan nama-nama kata ulang, umpamanya, sudah diketahui pasti bahwa nanti yang akan ditanya adalah kata ulang tertentu bernama dwandawa atau tatpurusa. Maka, silakan banyak membaca kumpulan soal-soal dan menghafalkannya.
Pertanyaan bertitik berat teori bisa menyusahkan siswa-siswi. Jenis dan nama gaya bahasa, misalnya, cukup banyak untuk dihafal dan dipahami.
Pembaca yang merasa fasih berbahasa Indonesia sekalipun mungkin sulit menjawab pertanyaan dan memberi contoh tentang majas litotes, metonimia, atau polisindeton, bukan? Padahal, hampir semua pembaca niscaya lulus SMA dan pernah belajar tentang hal itu.
Ke mana pelajaran dan ujian mengarang? Jika guru berinisiatif mendorong pengajaran mengarang, siswa-siswinya bisa tidak lulus ujian nasional semua!
Mana pula pelajaran berbicara dalam Bahasa Indonesia? Lebay deh, tidak ada! Maka, siswa-siswi biasa bertutur, ”Santai aja geto lo”, atau bila mau bertanya dengan memakai bahasa SMS yang berbunyi: ”Monanya.”
Subyektif vs obyektif
Ujian pelajaran Bahasa Indonesia yang dipaksakan berpola obyektif mendorong kita menyusun soal-soal berjawaban satu. Dalam pelajaran lain, apalagi untuk pelajaran ilmu pasti, pertanyaan yang mengharapkan satu jawaban obyektif relatif mudah dirancang.
Soal 2x+3>15, misalnya, hanya punya satu jawaban benar: x>6. Pertanyaan tentang nama ibu kota Zimbabwe juga tidak bisa dijawab dengan kata lain kecuali Harrare.
Tidak perlu lagi berdebat. Kiranya lebih baik segera saja kita mengubah orientasi pengajaran bahasa menjadi bertitik berat pada kecakapan berbicara dan mengarang.
Ujiannya tidak usah direkayasa menjadi berpola obyektif, melainkan biarkan saja berbentuk subyektif. Siswa-siswi tinggal diminta menulis sebuah artikel atau mengarang cerita pendek dengan suatu tema dalam batasan waktu tertentu.
Berkorban waktu
Guru perlu berkorban waktu meneliti semua hasil percakapan dan karangan siswa-siswi untuk memberi nilai. Penilaian memang menjadi subyektif, tetapi guru bisa meluluskan semua sis- wa-siswi, kecuali yang terlalu ngawur bicaranya (Elotaugaksih alih-alih Tahukah kau?”) atau menulis tanpa titik-koma (Hari cerah matahari galak gue bangun dengan mata masih ngantuk menuju toilet untuk pipis lalu membuka kulkas mengambil segelas susu).
Karena ujian bersifat subyektif, guru eksentrik juga bisa meluluskan siswa-siswi yang bicara ngawur dan menulis tanpa titik-koma. Siswa pertama dalam contoh soal di atas, misalnya, dianggap menggunakan aksen anak muda, maka dia berhak lulus. Siswa kedua dinilai menulis sastra, padanya diberlakukan licentia poetica, dan berhak lulus. Tidak ada lagi siswa-siswi yang boleh disebut tidak lulus dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
* Lie Charlie, Sarjana Tata Bahasa Indonesia, Universitas Padjadjaran; Tinggal di Bandung
Sumber: Kompas, Selasa, 4 Mei 2010
No comments:
Post a Comment