Monday, October 05, 2009

[Sosok] Sri Widiyantoro, Membedah Lempeng Bumi

-- Yulvianus Harjono dan Cornelius Helmy

DI mata Sri Widiyantoro, lapisan kerak dan lempeng Bumi tidak ubahnya organ-organ tubuh manusia. Berbekal geotomografi, ia bisa membedah-bedah isi perut Bumi dan mendiagnosis pergerakan lempeng Bumi layaknya seorang dokter bedah.

Sri Widiyantoro (KOMPAS/ YULVIANUS HARJONO)

Gempa Padang dan Bengkulu beberapa hari pun sudah dia perkirakan. Berdasarkan pencitraan geotomografi, lempengan wilayah di Sumatera, khususnya di sepanjang pesisir pantai barat, telah tersobek-sobek.

”Tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak miring telah merobek-robek Pulau Sumatera. Akibatnya, banyak muncul patahan-patahan besar di sepanjang pulau yang dapat mengakibatkan gempa besar,” ujar Sri di Kampus Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/10). Dia mengingatkan, wilayah di sepanjang Sumatera sangat rawan gempa besar.

Bukan kali ini saja Sri Widiyantoro membukakan mata masyarakat. Ketua Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika ITB ini jauh sebelumnya telah membuka mata dunia berkat teknologi pemindaian tomografi yang dikembangkannya.

Tahun 1997 namanya mencuat di dalam jajaran peneliti dunia berkat publikasi ilmiahnya berjudul ”The Evidence for Deep Mantle Circulation from Global Tomography” yang dirilis jurnal sains termasyhur, Nature. Untuk pertama kalinya dalam sejarah perkembangan sains dunia, ia membuktikan bahwa tunjaman subduksi litosfer samudra dapat mencapai batas mantel dan inti Bumi.

”Kedalamannya mencapai 3.000 kilometer. Ini adalah pemetaan di Amerika Tengah. Di bawah Pulau Jawa kedalaman penunjaman bisa mencapai 1.500 kilometer. Berkat tomografi, kita bisa tahu bahwa gempa bisa terjadi hingga kedalaman ini. Bukan hanya di batas 700 kilometer, seperti yang kita duga selama ini,” tutur peraih Habibie Awards tahun 2007 bidang Ilmu Dasar ini.

Hasil penelitiannya mengenai geotomografi dan gempa banyak dijadikan rujukan ilmuwan-ilmuwan mancanegara. Sri pun mencatatkan namanya sebagai peneliti ITB yang karyanya paling banyak disitat (dirujuk). Scopus mencatat jumlah indeks sitasi atas namanya sebanyak 1.472 buah. Angka ini tertinggi yang bisa dicapai seorang dosen di tingkat ASEAN.

Teknik tomografi memungkinkan isi kerak dan lempeng, bahkan perut Bumi, bisa dilihat dengan tampilan tiga dimensi. Dalam kegempaan, hal ini sangat bermanfaat untuk melengkapi ilmu seismik.

Lebih dari materi

Uniknya, Sri mengaku, karier yang cemerlang sebagai seorang ilmuwan yang menekuni masalah gempa bumi adalah sebuah ”kecelakaan takdir”. Setelah lulus sarjana Geofisika ITB dia melanjutkan program magister ke Kyoto University di Jepang (1989). Dia tidak pernah terpikir akan berprofesi sebagai dosen ataupun ilmuwan.

”Di Jepang saya mengambil konsentrasi ilmu tentang eksplorasi minyak. Karena, seperti yang lainnya, begitu lulus inginnya mencari kerja di bidang perminyakan,” kenangnya. Namun, takdir pun berbicara lain.

Perjumpaannya dengan Prof Y Kobayashi dari Kyoto University saat berkonsultasi mengambil program doktor mengubah pandangan hidupnya mengenai arti penting keilmuan bagi masyarakat. Ada hal yang lebih penting dan berharga daripada materi atau uang.

”Kata beliau, untuk sekadar jadi pekerja perminyakan, bergelar S-2 dari Jepang sudah cukup. Tetapi, ia menyarankan saya menekuni bidang kegempaan karena di Indonesia ilmu ini sangat dibutuhkan,” tuturnya. Sementara masalah itu dalam perenungan, kebetulan pula dia bertemu dengan Prof B Kennett dari Australian National University. ”Saya lalu memutuskan untuk mendalami geotomografi di sana,” tuturnya.

Selama menempuh studi di Australia, ia mendapatkan penghargaan internasional, The Doornbos Memorial Prize yang diberikan International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) atas riset doktoralnya mengenai tomografi beresolusi tinggi untuk zona subduksi.

Dia meninggalkan cita-cita menjadi ahli perminyakan yang bisa membuat dia lebih kaya. ”Saya tidak pernah menyesal. Ilmu itu bukanlah sekadar mencari uang, kalau itu bisa lebih bermanfaat bagi banyak orang, itu jauh lebih baik,” tuturnya.

Peta zonasi seismik

Kini bersama-sama dengan sejumlah ilmuwan lainnya dari ITB dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sri menyiapkan sebuah perangkat mitigasi bencana gempa yang disebut Peta Percepatan Pergerakan Tanah atau Peta Zonasi Seismik yang berskala nasional.

Peta ini akan menjadi rujukan nasional bagi para ahli sipil dan arsitek ketika mendirikan bangunan. ”Rencananya ini akan dijadikan Standar Nasional Indonesia (SNI),” ucapnya.

Peta ini merupakan upaya besar untuk mengurangi risiko akibat gempa. ”Bagaimanapun, gempa tidak bisa diketahui kapan terjadi, tidak bisa dicegah atau dihentikan. Yang bisa kita lakukan hanya mengantisipasinya,” tutur pengagum Albert Einstein ini.

Dia mengingatkan agar masyarakat senantiasa waspada terhadap kemungkinan gempa. Sebagai contoh, di wilayah pesisir barat Sumatera, kemungkinan masih akan terjadi gempa berskala sangat besar.

”Potensi gempa selanjutnya ada di zona di Kepulauan Mentawai. Baru-baru ini zona ini melepaskan energi sebesar 5,1 skala Richter. Diperkirakan masih ada 300 kilometer lagi jalur di zona ini yang belum melepaskan energinya. Apabila bergerak bersamaan, kekuatannya bisa mencapai 8 skala Richter,” kata Sri.

Dia mengharapkan agar pemerintah meningkatkan mitigasi dan pendidikan kebencanaan di daerah rawan gempa. Misalnya, membuat jalur evakuasi bencana dan perbaikan sistem peringatan dini.

Hingga kini belum ada satu pun alat yang bisa mendeteksi kejadian gempa di suatu tempat. Hal yang bisa dilakukan hanya memprediksi dan memantau aktivitas kebumian untuk meminimalkan dampak gempa, seperti riset geotomografi yang dilakukannya.

Akan tetapi, sayangnya, penelitian Sri ini terkendala dana yang belum memadai. Para pengambil kebijakan belum meliriknya untuk mengoptimalkan pemanfaatan hasil penelitian tersebut.

• Nama: Prof Dr Sri Widiyantoro • Lahir: Karanganyar, 5 Desember 1962 • Istri: Lika Nindhyani (45) • Anak: Adrian Widiyantoro (17), Renata Widiyantoro (13) • Pendidikan:- S-1 pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB (1981-1986)- S-2 di Kyoto University, Jepang (1989 - 1992)- S-3 di Australian National University (1994-1997) • Jabatan antara lain:- Ketua International Working Group on Subduction Zones (2001-saat ini) - Perwakilan International Union of Geodesy and Geophysics untuk urusan International Council of Scientific Unions (ICSU) Asia Pasifik (2007-saat ini) - Editor ”International Journal of Tomography and Statistics” (2004-saat ini) - Ketua Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika ITB - Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB - Guru Besar Pertama di ITB dan Indonesia dalam bidang Seismologi (2007)

Sumber: Kompas, Senin, 5 Oktober 2009

No comments: