Sunday, October 04, 2009

Sanggar Bambu: Tahun Ke-50 yang Menentukan

-- FX Harsono*

UNTUK menjadi seniman ternyata tidak hanya dibutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga semangat dan lingkungan agar orang tersebut selalu berada di dalam atmosfer kesenian, hal itu sangat diperlukan. Semua ini bisa ditemukan di sanggar. Di mana praktik secara langsung dipelajari tanpa ada beban penilaian formal. Seniman senior yang menciptakan visi kesenimanan, pemikiran seni rupa, proses kreatif, dan kecenderungan berkarya yang menjadi panutan dan nutrisi yang diperlukan bagi seorang seniman muda untuk tumbuh kokoh.

Sanggar Bambu yang tahun 2009 ini berusia 50 tahun telah menghasilkan banyak seniman yang punya peran besar dalam dunia seni rupa Indonesia. Pendiri Gerakan Seni Rupa Baru dari kelompok Jogya, yaitu Muryoto Hartoyo, Bonyong Munni Ardhi, FX Harsono, Siti Adiati, Nanik Mirna, Ris Purwono, semua adalah anggota Sanggar Bambu, kecuali Hardi. Kemudian Danarto, Dadang Christanto, Edi Hara adalah perupa-perupa yang mempunyai prestasi besar dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia saat ini, juga berasal dari Sanggar Bambu.

Masih banyak seniman yang lahir di Sanggar Bambu, seperti Mulyadi W, Hardiyono, Isnaeni MH, Indros, Wardoyo, Sunarto PR, dan masih banyak lagi. Bahkan banyak seniman terkenal saat ini yang pernah aktif di sana, misalnya Adi Kurdi, Putu Wijaya, Aswar AN, dan masih banyak lagi.

Depolitisasi

Depolitisasi yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru dan peristiwa pembantaian dan pelarangan PKI pada tahun 1965 bukan hanya menciptakan trauma politik, tetapi secara sistematis juga menghancurkan kesenian rakyat dan sanggar-sanggar. Sanggar Bambu yang tidak bernaung di bawah partai politik ternyata bisa bertahan dan menjadi semakin kuat pada tahun 60-an hingga 70-an.

Sanggar Bambu telah menghasilkan corak dan gaya seni lukis yang bercirikan kesederhanaan, ornamen serta kehalusan tarikan garis dengan pena dalam sketsa yang khas Sanggar Bambu. Hal ini bisa dilihat dalam sketsa dan drawing Isnaeni MH, lukisan Mulyadi W dengan ornamen yang ritmis dan artistik.

Kekhasan ini bukan hanya berkembang di Sanggar Bambu, tetapi juga telah memengaruhi pelukis-pelukis muda yang belajar di STSRI ASRI pada waktu itu. Bisa dibilang pengaruh Sanggar Bambu di STSRI ASRI sangat kuat.

Vakum

Pada satu sisi sanggar melahirkan seniman yang tangguh, pada sisi lain mereka menghadapi permasalahan ekonomi. Hal ini mendorong para senior Sanggar Bambu hijrah ke Jakarta. Handogo, Sunarto PR, Mulyadi W, Indros, bahkan yang muda pada tahun 70-an seperti Isnaeni MH, Danarto, dan Muryoto Hartoyo ikut hijrah ke Jakarta. Ini kemudian menyebabkan kevakuman aktivitas sanggar di Jogya.

Kondisi ini diperparah dengan terjadinya perubahan kebudayaan di dunia. Sikap individualistis semakin kuat yang berlawanan dengan kehidupan komunal. Gemerlapan dunia modern di mana pada tahun 70-an akhir mulai menampakkan daya sihirnya. Sanggar oleh orang muda dianggap sebagai komunitas yang kuno.

Sistem pendidikan sanggar yang bersifat cantrikisme, yaitu para pelukis muda harus mengikuti serta meniru apa yang dilakukan oleh para senior, baru setelah dianggap matang mereka diperbolehkan mencari identitasnya sendiri. Hal ini tidak lagi diminati, bahkan mulai ditentang oleh orang-orang muda.

Perubahan

Dunia seni rupa telah berubah, ditandai dengan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1975. Gerakan ini menandai perubahan besar dalam praktik seni rupa di Indonesia yang menolak seni rupa modern dengan kredo, seni yang otonom, seni diciptakan oleh tangan seniman sendiri, tunggal, orisinal, dan unik. Vakumnya kegiatan Sanggar Bambu dan perubahan praktik seni rupa menyebabkan terjadinya paceklik besar dalam melahirkan perupa-perupa muda yang potensial sejak tahun 80-an.

Maraknya pasar seni rupa di Indonesia beberapa tahun terakhir ini ikut memberikan angin segar dan harapan bagi Sanggar Bambu. Generasi muda sanggar, yang lebih banyak menimba ilmu di lembaga pendidik formal, mulai aktif kembali di sanggar. Dari para perupa generasi muda, di antaranya Dadang Christanto, Totok Buchori, Ivan Sagita, dan Nasirun, saat ini yang paling aktif hanyalah Totok Buchori. Saat ini ia menjabat ketua sanggar. Kemudian menyusul Ipong Purnamasidhi, Galuh Tajimalela, Klowor, dan sebagainya tampaknya bakal menjadi penggerak mesin organisasi yang telah vakum sekian lama.

Dari karya yang saat ini sedang dipamerkan di Galeri Rumah Rakuji di Jalan Bunga Mawar menghadirkan pertanyaan besar, mampukah mereka bersaing dengan perupa-perupa yang saat ini telah berkiprah secara profesional di luar sanggar? Mampukah generasi baru ini merumuskan visi sanggar menghadapi perubahan zaman yang didominasi oleh budaya kosmopolitan yang konsumtif dan bergerak cepat serta sangat beragam ini? Saat ini adalah saat yang menentukan, apakah sanggar akan bisa bertahan dan berkembang atau tertelan zaman. Sanggar Bambu telah meletakkan tanggung jawab ini ke pundak generasi yang baru untuk melanjutkan perjuangan para sesepuh yang telah meletakkan fondasi yang kuat pada masa lalu. Selamat ulang tahun yang ke-50, perjuangan masih panjang.

* FX Harsono, Perupa

Sumber: Kompas, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: