Thursday, October 01, 2009

[Sosok] Djohan Effendi, Merayakan Perbedaan

-- St Sularto*

IKUT merasa sakit dengan mereka yang tidak punya kebebasan, Djohan Effendi—1 Oktober 2009 genap 70 tahun—lebih dari 40 tahun menjadi penggiat dialog agama. ”Agama itu bukan penjara,” tegasnya.

Djohan Effendi (KOMPAS/ AGUS SUSANTO)

Djohan Effendi tidak sedang bicara politis atau upaya membangun citra. Dia bicara hal yang substansial tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak eksistensial manusia. Bukan basa-basi, melainkan aktif mempraktikkan teologi toleransi dengan tujuan memperkuat fondasi dan wawasan kebangsaan. Baginya, Indonesia dengan berbagai keragaman dan perbedaan merupakan berkah yang perlu disyukuri dan dikembangkan.

Terbentang panjang rekam jejaknya. Sejak tahun 1967, bersama Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo, Djohan mengembangkan teologi toleransi dalam diskusi kelompok Limited Group di Yogyakarta. ”Inisiatif kegiatan digagas Wahib. Nama Limited Group berasal dari Dawam,” kata Djohan merendah.

Bersama Mukti Ali, dosen mereka di IAIN Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga), Yogyakarta, awalnya kegiatan ini hanya melibatkan empat orang. Lama-lama bergabung pula sejumlah tokoh agama lain, seperti Dick Hartoko SJ, JWM Bakker SJ, dan Purbowinoto. Buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, refleksi pembaruan kelompok diskusi mingguan itu, sempat menghebohkan. Kontroversi merebak menyangkut gugatan anak-anak muda terhadap berbagai hal yang tabu dalam Islam.

Kegiatan Limited Group ibarat pembuka kunci pembaruan. ”Padahal sebelumnya istilah pembaruan di kalangan Islam masih tabu.” Otokritik yang mereka lakukan ibarat bola salju menggelindingkan pembaruan dalam Islam.

Memang, inklinasi merayakan perbedaan Djohan terbentuk semakin liat di Yogyakarta, semasa kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (1963-1970). Dia memperoleh lahan subur yang dipupuk oleh kehadiran Mukti Ali, yang waktu itu masih sebagai dosen. Lingkungan intelektual yang terbiasa diskusi bebas membentuk intelektualitas Djohan yang dari sono-nya pluralis dan moderat. Limited Group menyemarakkan diskursus keislaman.

Menurut Djohan, para pendiri negara ini sudah menaruhkan fondasi visi kebangsaan Indonesia. Pancasila merupakan warisan amat berharga, bekal mengembangkan visi kebangsaan. Mereka pun merumuskan teologi yang diterima semua kalangan. Kaum Muslim rela menghapuskan tujuh kata dalam klausul Piagam Jakarta dan menghentikan hasrat mendirikan negara Islam. Kebebasan beragama merupakan pertaruhan kelestarian Indonesia yang dibangun atas kemajemukan. Indonesia merupakan melting pot yang menyatukan berbagai unsur agama.

Kedudukan sebagai pejabat Departemen Agama dan penulis pidato-pidato Soeharto yang berkaitan dengan masalah keagamaan membuka ruang bagi kesempatan mewujudkan ide-ide kemajemukan dalam keputusan politis, termasuk meletakkan dasar-dasar toleransi dan kehidupan umat beragama.

Ketika Mukti Ali sebagai Menteri Agama—Djohan begitu lulus IAIN tahun 1970 ditarik ke Departemen Agama dan kemudian staf pribadi menteri—hidup subur upaya dialog antaragama. Pada masa itu berkembang berbagai bentuk terobosan, mulai dari dialog antaragama, dialog antarumat beragama, sampai dialog karya sebagai awal dari dialog iman.

Dalam pidato penganugerahan gelar ahli peneliti utama (profesor riset) tahun 1992, Djohan menyinggung keberadaan kelompok minoritas seperti Konghucu. Pernyataan ini diminta agar dicoret. ”Saya tak mau. Dalam pidato, kalimat itu saya ucapkan.”

Bukan penjara

”Pada setiap agama mengandung kebenaran,” kata Djohan Effendi, di kantornya Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Cempaka Putih, Jakarta. Agama bukanlah penjara, tetapi sarana evolusi diri mencapai pencerahan tanpa batas. Adanya berbagai agama adalah anugerah. Itulah pencarian spiritual yang tulus. Sebuah penziarahan bersama. Djohan merasa sedih ketika terjadi pertikaian yang berlatar belakang agama di Indonesia. Agama tak bisa dilihat hitam putih. Semua dikembalikan kepada humanisme dengan kemanusiaan yang mempersatukan.

Mengutip pernyataan salah satu temannya, teolog Katolik, Hans Kung, Djohan berkata, mempelajari bermacam-macam agama berarti memperoleh perdamaian. Dalam setiap agama ditemukan perdamaian. Tak salah kalau dia kemudian terlibat dalam berbagai lembaga yang mempertemukan agama-agama, seperti di Majelis Budhayana Indonesia, DIAN/Interfidei, Madia, dan ICRP—lembaga yang dia bersama-sama ikut dirikan—kantor yang kini menjadi salah satu terminal kegiatan Djohan sehari-hari.

Begitu lulus sarjana tahun 1970, bersama Mukti Ali, ia lagi-lagi memperoleh lahan subur mengembangkan dialog agama. Setelah lima tahun sebagai staf pribadi Menteri Agama, Djohan dikaryakan di Sekretariat Negara. Karier sebagai penulis pidato Soeharto selesai ketika Djohan mendampingi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, tahun 1984, kunjungan yang memperoleh banyak tentangan di Indonesia.

Ketika Malik Fadjar sebagai Menteri Agama, Djohan diangkat sebagai Kepala Litbang Departemen Agama. Dia berkantor selama 24 jam. ”Rumah”-nya berupa kamar istirahat, satu pintu masuk dengan ruang tamunya di Lantai II Kantor Balitbang Departemen Agama, Jalan MH Thamrin. Setiap tiga bulan sekali pergi ke Geelong, di Victoria, Australia, sebab selain istri dan ketiga anaknya tinggal di sana, Djohan tengah menempuh kandidat doktor di Universitas Deakin, Geelong. Dia memperoleh gelar doktor (2005) dengan disertasi tentang pemikiran progresif kalangan muda NU, kiai muda NU, dan wanita NU.

Tidak selantang Gus Dur atau Nurcholish Madjid (Cak Nur), inklusivitas Djohan Effendi termasuk liberal yang rajin mengampanyekan dialog antaragama, membangun jaringan di antara mereka, serta punya perhatian besar kepada kelompok minoritas.

Dalam rangka perayaan 70 tahun usianya, terbit dua buku: Sang Pelintas Batas. Biografi Djohan Effendi yang ditulis Ahmad Gaus AF serta Merayakan Kebebasan Beragama—bunga rampai tulisan koleganya tentang persoalan yang selama ini digeluti Djohan Effendi. Peluncuran kedua buku itu akan dilaksanakan 6 Oktober.

Persisnya ulang tahun tanggal 1 Oktober, mengapa baru 5 Oktober (diskusi terbatas) dan 6 Oktober dirayakan? ”Habis Lebaran. Teman-teman masih mudik, belum kumpul semua,” sergah Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Pengurus Yayasan ICRP.

Sumber: Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009

No comments: