Sunday, October 04, 2009

[Oase Budaya] Subjektivitas Sastra Perjalanan

-- Sjifa Amori

Karya sastra perjalanan lebih nyata dari fiksi dan lebih orisinil dari fakta.

DALAM sebuah literatur mengenai traveling atau perjalanan muncul perdebatan tentang unsur fiksi dan fakta dalam sebuah penulisan perjalanan. Tulisan di situs guardian.co.uk ini mengungkapkan bagaimana di awal abad ke-17, orang cenderung menjadi skeptis terhadap penulisan perjalanan.

Salah satu penyebab sikap skeptis ini adalah karena banyak pihak yakin Marco Polo yang menyebut-nyebut mengenai Great Wall China dalam tulisan perjalanannya ternyata tak pernah menginjakkan kaki di negeri tersebut. Dia dianggap menulis tentang situs bersejarah tersebut karena mendengar cerita dari orang lain.

“Kebohongan dalam sebuah buku perjalanan bersifat intrinsik. Kini pengetahuan orang tentang negeri lain di luar negaranya semakin meningkat, maka semakin sulitlah menuliskannya dalam sebuah buku,” kata Stefano Malatesta yang pernah meraih penghargaan penulisan perjalanan Chatwin Prize berkat bukunya A Life of Travel and Literary Passion.

Penghargaan yang dikenal dengan sebutan Camminando per il mondo (berjalan keliling dunia) di Italia ini memang dianugerahi kepada para penulis yang mengangkat kisah perjalanannya.

Meski begitu, Malatesta tidak percaya bahwa kebohongan dan penulisan yang melebih-lebihkan tentang sebuah perjalanan memainkan peranan penting dalam menstimulasi imajinasi pembaca dan keinginan mereka untuk latah melakukan perjalanan.

Entah sejauh mana ukuran kebohongan hingga ia digolongkan sebagai sebuah unsur yang intrinsik dalam penceritaan, yang pasti novelis Inggris yang dianugerahi The Observer Young Travel Writer of The Year, Hari Kunzru, merasa bahwa tulisan perjalanan hanyalah berisi fakta.

“Saya mungkin tidak menuliskan fakta seperti banyak jurnalis menulis nama hotel dan deskripsi tempat dengan tujuan promosi turisme. Mungkin juga tulisan perjalanan saya sangat subjektif, tapi itu tetap sebuah karya non-fiksi dengan gaya sastra. Narasi seperti itu pastilah sangat subjektif,” kata Kunzru dalam diskusi Travel Writing yang diselenggarakan Forum Indonesia Membaca, The British Council Indonesia, dan TB Aksara, di Museum Bank Mandiri, Selasa (30/9).

Bersama Kunzru, penulis serta editor Mula Harahap juga mengungkapkan beberapa pemikiran yang menjadi dasar pemahaman tulisan atau sastra perjalanan.

Berangkat dari pengantar buku V.S. Naipul berjudul Beyond Belief, Mula setuju bahwa hal penting dari sebuah perjalanan, di mata seorang penulis, justru adalah orang-orang yang dijumpainya di sekitarnya;

Jadi di dalam buku kisah perjalanan atau eksplorasi kebudayaan yang saya lakukan ini, penulis –sebagai pengelana- harus mundur beberapa langkah ke belakang. Orang-orang di negeri yang saya kunjungi itulah yang harus berada di depan. Dan dalam situasi seperti ini, maka sebenarnya saya telah kembali ke fungsi yang dulu saya lakukan sebagai penulis fiksi, yaitu sebagai manajer narasi. Tapi cerita itu tentu saja tidak boleh lagi direka-reka atau dipaksakan, sebab dia bisa membuyarkan poin yang ingin saya sampaikan dalam sebuah buku. (V.S. Naipul)

“Ada travel writing membahas hal permukaan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan penulis; lezatnya keju Prancis, dinginnya Pegunungan Alpen, atau riuh-rendahnya orang berseliweran di Fifth Avenue,New York. Bagi saya, sastra perjalanan seyogianya menawarkan lebih dari sekadar deretan kesan. Kita juga harus bisa menemukan cerita yang dilakoni penulis dan orang yang dijumpainya, pikiran dan perasaan tokoh tersebut, serta gagasan besar tentang kehidupan yang ingin disampaikan penulis,” kata Mula.

Sulitnya menceritakan perjalanan dalam sebuah kisah bisa jadi karena penulis kisah perjalanan sendiri sudah kehilangan tujuan berhubung semua orang bisa dengan mudah mengunjungi tempat yang diinginkannya. Seolah hanya perjalanan yang spektakular yang dianggap layak dituangkan dalam sebuah buku sastra perjalanan.

Anggapan inilah yang didobrak para penulis sastra perjalanan. Tak mesti petualangan hidup-mati saja yang bisa dikisahkan. Juga bukan melulu berupa catatan kronologis kesan penulis dalam bentuk jurnal perjalanan, melainkan semacam rekaman pengalaman rasa yang dalam penulisannya bisa saja menyertakan percintaan, misteri, atau tragedi.

Misalnya ketika Kunzru hampir tertusuk pisau saat menyaksikan upacara adat di Benin, Afrika, yang memuat sesi pemanggilan roh untuk merasuki seorang perempuan. Alih-alih bercerita soal suasana atau proses upacara, Kunzru mengungkapkan bagaimana perempuan kerasukan tersebut terus memperhatikannya dan bagaimana peserta upacara pada akhirnya menari dengan gerakan yang meniru gerak tubuh penari. Tentu saja di sela-sela narasinya, Kunzru penyertakan data, fakta, dan latar belakang sejarah upacara tersebut sebagai kelengkapan informasi.

”Saya juga mendapatkan informasi dari obrolan santai dengan masyarakat lokal. Saya menghindari wawancara formal dan bentuk perjalanan yang menjadikan saya turis dengan kamera. Ini akan membuat jarak antara saya dengan orang-orang di tempat yang saya datangi. Saya ingin berada dekat mereka, mengobrol dengan supir taksi dan membuat hubungan yang berharga untuk penceritaan saya,” kata Kunzru, usai diskusi.

Sejalan dengan pendapat Mula yang melihat bahwa sebagaimana halnya karya sastra yang baik, maka sastra perjalanan selayaknya juga penuh dengan narasi dan percakapan. Pendekatan Kunzru yang personal dan subjektif inilah yang kemudian menjadi sumber penulisan sastra perjalanan yang orisinil. Ini pula yang menjadikan sebuah sastra perjalanan berbeda dengan laporan ilmiah antropologi.

Penulis Jan Morris, yang sudah menulis sekitar 40 buku mengenai sejarah dan perjalanan, dalam tulisannya di situs Smithsonian Magazine, mengatakan bahwa eksplorasi kreativitas bernarasi tak mesti menempatkan penulis dalam ide yang fiksi. Menurutnya, subjektivitas narasi dalam sastra perjalanan adalah gabungan antara ilmu pengetahuan dan sensasi, kealamiahan dan intelektualitas, pandangan dan interpretasi, insting dan logika. “Ini lebih nyata dari fiksi dan juga lebih otentik dari fakta yang umum,” tulis Morris.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: