Friday, October 02, 2009

Diskusi: Banyak Persoalan Pendidikan

Jakarta, Kompas - Setumpuk masalah pendidikan di Indonesia, mulai dari pengangguran terdidik, birokrasi yang mempersulit kerja sama bidang pendidikan, hingga lembaga-lembaga penelitian yang kurang perhatian, menjadi pertanda bahwa strategi kebijakan pendidikan Indonesia sampai saat ini belum jelas. Akibatnya, penetapan prioritas pendidikan yang harus dilakukan pada masa depan pun menjadi tidak jelas.

Persoalan ini mengemuka dalam diskusi Strategic Asia Policy Interchange, ”Education and the Knowledge Sector”, Kamis (1/10) di Jakarta. ”Masalah sesungguhnya, seperti akses masyarakat tidak mampu terhadap pendidikan yang berkualitas, tidak ditangani dengan baik. Begitu pula dengan masalah kebutuhan industri pada tenaga siap pakai,” kata Decentralization Senior Advisor Governance Unit di Program Pembangunan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNDP) Sofian Effendi.

Mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djojonegoro menambahkan, filosofi pemerintah saat ini berbeda karena tidak fokus menciptakan tenaga siap pakai atau peneliti di sektor industri. ”Harus ada link and match antara dunia pendidikan dan pasar kerja” ujarnya.

Penasihat Senior Pembangunan Sosial di AusAID Jakarta, Scott Guggenheim, yang menjadi salah seorang pembicara, menduga berbagai masalah pendidikan itu muncul karena ada persoalan pada regulasi. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah lebih memusatkan perhatian kepada reformasi regulasi.

Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Nizam menegaskan, arah kebijakan pendidikan saat ini justru sangat jelas dan konkret, yakni membangun semangat kompetisi dan kewirausahaan di kalangan mahasiswa. Perguruan tinggi didorong untuk berkreasi dan memunculkan inovasi baru dengan berbagai insentif. ”Banyak inovasi, seperti membuat robot, roket, dan industri kecil. Kami sedang berusaha membuat pusat-pusat kewirausahaan di kampus-kampus,” ujarnya.

Upaya ini dinilai penting karena, lanjut Nizam, selama ini orientasi sebagian besar mahasiswa adalah menjadi pekerja di sektor industri. Tak banyak mahasiswa yang memiliki keinginan mengembangkan usaha sendiri atau membuka lapangan pekerjaan. Pandangan seperti itu yang berusaha diubah oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui program kewirausahaan.

”Bagaimana kita menciptakan perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan pengetahuan. Memang butuh waktu. Tidak seperti membalikkan tangan. Kita sadari itu sebagai permasalahan yang besar dan kita coba untuk mengatasi,” kata Nizam. (LUK)

Sumber: Kompas, Jumat, 2 Oktober 2009

No comments: