-- Damhuri Muhammad
BILA watak kepengarangan ditinjau berdasarkan ranah tematik yang dijelajahi seorang sastrawan, maka luka dan nestapa para eks tapol pasca-1965 begitu identik dengan prosa-prosa karya Martin Aleida. Sukar disanggah jika dikatakan bahwa rupa-rupa peristiwa tragis-traumatis yang ditanggung para pewaris ”dosa turunan”—lantaran stigma PKI—adalah ”kampung halaman” kepengarangan mantan aktivis termuda LEKRA itu, sejak dari kumpulan cerpen Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (1998), novelet Layang-Layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (2000), hingga kumpulan cerpen Leontin Dewangga (2003). Sastrawan yang dijuluki sebagai penggerak ”sastra kesaksian” itu tampak sukar untuk beranjak dari medan tempuh yang itu-itu juga. Disingkapnya setiap pintu, disiginya setiap ruang, disibaknya setiap tabir.
Demikian pula dengan konstruksi realitas yang terbangun dalam kumpulan cerpen, Mati Baik-Baik, Kawan (2009). Meski dimaksudkan sebagai antologi baru, tetapi dari segi materi cerpen, mungkin lebih patut disambut sebagai ”barang lama stok baru”. Dari sembilan cerpen dalam buku itu, masih ada Leontin Dewangga, Ode Untuk Selembar KTP, dan Malam Kelabu yang sudah pernah terbit sebelumnya. Begitu pun Dendang Perempuan Pendendam—pernah terbit tahun 2007—dan Bertungkus Lumus, yang masuk dalam antologi cerpen TITIAN (2008). Kalaupun ada kebaruan, mungkin bukan pada aspek kandungan cerpen, tapi dari payung tematik yang dengan ketat membuhul semua cerpen, yakni serba-serbi pengalaman traumatik pasca-1965.
Asvi Warman Adam (2004) pernah menimbang cerpen-cerpen Martin sebagai upaya mengejek dan menertawakan nasib orang-orang yang tergetahi stigma PKI. Bila bagi orang-orang beriman, jodoh, rezeki, dan mati, ada di tangan Tuhan, bagi mereka yang diduga terlibat G30S/PKI, ada yang jauh lebih berkuasa. Peruntungan mereka lebih ditentukan oleh stigma PKI itu. Perjodohan bisa batal bila seseorang ketahuan berasal dari keturunan keluarga PKI—meski ia tidak tahu-menahu soal komunisme dan tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai anak PKI. Bagi Asvi, di titik inilah upaya perlawanan cerpen-cerpen Martin Aleida dapat ditandai. Lebih jauh, Katrin Bandel (2009)—sebagaimana tertera pada catatan penutup buku itu—menegaskan, ”tampak jelas Martin bukan sekadar ingin menceritakan peristiwa 65 dari perspektif yang berbeda, ia juga punya misi untuk melawan pemalsuan sejarah.” Cara menimbang yang agak berlebihan dalam konteks pembacaan teks sastra. Sekadar geliat perlawanan tentu tak disangsikan, tapi cukup berdayakah teks sastra disetarakan dengan konsep historiografi tertentu? Sejarah dipancangkan atas dasar kepastian epistemologis (benar-salah, terjadi atau tak-terjadi), sementara teks sastra digubah atas dasar pencapaian estetika sastrawi. Sejarah adalah ”dunia sesungguhnya”, sebaliknya sastra adalah ”dunia seandainya”. Lalu, di titik manakah napas perlawanan itu bisa tertandai?
Maka, sudah waktunya semesta cerita dalam cerpen-cerpen Martin Aleida diselami lebih dalam agar pembaca tidak buru-buru pada fakta yang memang sengaja dimunculkan, dan tidak lupa bahwa cerpen adalah sebuah karya seni yang dibangun dengan keterampilan artistik, yang tentu tidak hanya berdiri sebagai juru bicara ”sejarah versi baru” sebagaimana diharapkan. Salah satu sisi yang kerap terabaikan—bila tidak bisa disebut ’sengaja dilupakan’—adalah bahwa kerja pembacaan tidak pernah lepas dari konteks ruang-waktu yang menyertainya, sehingga pengulangan demi pengulangan tidak menjadi sebuah kesalahan. Akan selalu ada yang ”baharu” di setiap fase pembacaan, lantaran ruang-waktu yang terlibat di dalamnya.
Dipastikan ada perbedaan persepsi yang signifikan antara pengalaman baca terhadap cerpen Malam Kelabu lima tahun lalu dan pengalaman baca terhadap cerpen yang sama di tahun ini. Boleh jadi, mainstream-nya bukan lagi peristiwa amuk massa yang membakar rumah Partini lantaran keluarga itu menyembunyikan gembong PKI—hingga Partini, ibu, dan adik-adiknya tewas dalam kebakaran itu—tapi beralih pada gejolak asmara Kamaluddin Armada yang jauh-jauh datang dari Jakarta ke Desa Soroyudan—seberang sungai Bengawan Solo—guna melamar Partini, kekasih pujaannya. Sejak mula, tiada sesuatu yang disembunyikan Partini. Pada Kamaluddin, ia mengakui bahwa ayahnya (Mulyoraharjo) mantan gembong PKI yang semasa berkuasa sangat ditakuti, ia pembela setia Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam aksi-aksi pencaplokan tanah. Kamaluddin juga tahu bahwa calon mertuanya itu menghilang dan tak pernah kembali setelah Gestapu. Tapi, kejujuran Partini tidak meredupkan gairah cinta Kamaluddin. Dengan segenap rindu yang membuncah ia datang ke Solo, hendak mempersunting anak gadis gembong PKI itu. Sejauh-jauh matamu memandang, yang tampak hanya sawah. Sawah semata. Dan lihatlah ke kanan Mas, inilah desa di mana adikmu menunggu, Soroyudan, begitu bunyi surat Partini yang menjadi petunjuk jalan bagi Kamaluddin. Inilah romantika tak biasa yang digarap Martin guna melawan stigma PKI. Atas nama cinta, diterabasnya segala pantangan, dilangkahinya segala tabu, termasuk tabu menikahi anak PKI. Realitas ini bertolak belakang dengan tinjauan Asvi Warman Adam—karena stigma PKI perjodohan bisa batal. Di cerpen Malam Kelabu ini, jangankan anak PKI, bahkan bila Partini ”anak-jadah” sekalipun, Kamaluddin tiada bakal berpaling ke lain hati. Tengoklah, begitu kematian Partini terpastikan, ia bunuh diri, menyusul kekasihnya. Dan, kematian itu dipastikan tak ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa berdarah pasca-65. Ia mati demi cintanya kepada Partini. Tragedi yang tak kalah lebih menyakitkan dari kematian orang-orang eks PKI yang satu per satu ”dijemput malam” selepas peristiwa Gestapu.
Romantika serupa juga muncul di Leontin Dewangga, khususnya kisah cinta Abdullah Peureulak dan Dewangga, dua sejoli yang justru dipertemukan oleh silang-sengkarut peristiwa 65. Setelah bertahun-tahun hidup sebagai pasangan suami-istri, Abdullah akhirnya mengaku telah mengkhianati Dewangga, bahwa sebelum menikahi perempuan itu, ia bukan ”lelaki baik-baik”, tapi mantan tapol yang dimusuhi banyak orang dan hidup menggelandang demi menghindari kejaran. Dewangga yang saat itu sedang bertarung melawan kanker stadium akhir bukannya kecewa dan berpaling, tapi makin teguh memercayai bahwa Abdullah sungguh-sungguh telah memartabatkan ia sebagai perempuan. Pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya, Dewangga merenggut leontin yang melingkar di lehernya, lalu diberikannya kepada suaminya. Abdullah terperangah melihat simbol bulan sabit merah dari sebuah katup yang ia buka pada leontin itu, lambang gerakan tani yang melancarkan aksi sepihak guna melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria. Dewangga menerima hadiah leontin itu dari ayahnya sewaktu ia berusia 17 tahun. Sejak 1965, ayah Dewangga tak pernah pulang, persisnya setelah seorang algojo datang menjemputnya. Maka, nasib Dewangga tak jauh beda dengan ketakmujuran Abdullah, perempuan itu juga pernah ditahan, ia bebas setelah merelakan tubuhnya ditiduri oleh seorang komandan militer. Setali tiga uang dengan Kamaluddin-Partini, Abdullah-Dewangga, dua sejoli yang sehidup-semati, meski kedua pasangan itu sama-sama tak mampu melarikan diri dari stigma PKI yang telah menelan banyak korban tak berdosa. Tapi, tabu setangguh apa pun, tiada bakal berkutik di hadapan cinta sejati.
Seandainya tabu lantaran stigma PKI sebagaimana tampak pada romantika Malam Kelabu dan Leontin Dewangga dialih-rupa dengan tabu-tabu subversif lainnya, kisah tetap akan berdiri sebagai peristiwa yang mandiri, tanpa harus bergantung pada fakta-fakta yang selalu dimunculkan. Inilah yang disebut Willem G Weststeijn (terj Akhadiati Ikram, 1991) sebagai kisah yang ”memiliki dunianya sendiri”, sehingga pembaca tidak perlu mencari rujukan-rujukan faktualnya. Dengan begitu, cerpen-cerpen Martin Aleida tidak perlu pula dicurigai mengusung tendensi tertentu. ”Kisah yang memiliki dunianya sendiri” pada Malam Kelabu, Leontin Dewangga, Bertungkus Lumus dapat disebut sebagai Romantika Pasca-65….
* Damhuri Muhammad, Cerpenis, bermukim di pinggiran Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment