KARUT-MARUT dunia pendidikan rupanya belum selesai. Setelah kontroversi masalah Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT) yang dianggap sebagai bentuk dari komersialisasi pendidikan, kini muncul pula sebuah program bernama sekolah berstandar internasional (SBI).
Sepintas kilas program ini kelihatan bagus karena akan mendongkrak kualitas peserta didik. Berbagai argumen pun muncul sebagai pembelaan terhadap keberadaan SBI, seperti ujaran, "Hari gini nggak bisa bahasa Inggris", penting untuk menghadapi globalisasi, dan perlunya penguasaan sains dan teknologi.
Karena itu berlomba-lombalah sekolah negeri di Lampung, mulai dari sekolah dasar, SMP hingga SMA mengajukan diri menjadi rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Tapi, apa yang terjadi? Keluhan pertama pun muncul karena sekolah-sekolah RSBI memungut uang dari orang tua siswa yang tidak kecil bagi penyelenggaraan pendidikan di kelas-kelas RSBI.
Keluhan lain, betapa bahasa Inggris menjadi kerumitan tersendiri dalam proses belajar-mengajar. Semisal, kemampuan bahasa Inggris guru yang mengajar di kelas minim, bahkan terkadang lebih mahir siswanya. Belum mengenai content (materi pelajaran) cenderung terabaikan karena pengajar dan peserta didik justru disibukkan dengan "belajar berbahasa Inggris".
Jika yang diharap dari SBI adalah murid yang mengerti isi mata pelajaran sekaligus terampil menggunakan bahasa Inggris, SBI harus mencari guru yang selain mampu menguasai materi, juga mampu berbahasa Inggris. Inilah bagian yang tersulit. Guru bahasa Inggris saja masih banyak yang mengajar dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. SBI diduga merupakan program gagal yang hanya menghamburkan uang.
Sesuai amanat Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah dan pemda menyelenggarakan minimal satu satuan pendidikan di semua jenjang untuk dikembangkan menjadi bertaraf internasional. Syaratnya minimal satu di setiap daerah. Sekarang makin banyak RSBI di Lampung. Parahnya, fasilitas RSBI-RSBI tersebut masih jauh dari memadai.
Dengan fasilitas seadanya dan sumber daya manusia (SDM) yang belum memenuhi kualifikasi, RSBI itu justru sulit meningkatkan mutu layanan pendidikannya. Yang terjadi adalah kekurangan fasilitas ini menjadi alasan bagi sekolah untuk mengeruk uang dari wali siswa. Sebab, pemda tidak memiliki dana untuk mendukung keberadaan SBI.
Yang segera tampak adalah betapa mahalnya pendidikan di sekolah negeri RSBI. Jutaan rupiah harus disetor calon siswa untuk bisa menikmati pendidikan sekolah ala SBI. Tak terhindari, inilah praktek liberalisasi dan komersialisasi pendidikan nasional. Langkah ini merupakan cerminan konsep pendidikan nasional yang tidak percaya diri dan ketidakmampuan bersaing dengan bangsa lain.
Mengutip Ketua Dewan Pembina The Centre for the Betterment of Education (CBE) Ahmad Rizali, meskipun SBI diamanatkan oleh UU 20/2003 tentang Sisdiknas yang mewajibkan setiap kabupaten/kota mengembangkan sedikitnya satu SBI, di setiap jenjang pendidikan, di tataran kebijakan tidak jelas arahnya.
Penggunaan standar negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada SBI menunjukkan indikasi kebenaran dugaan bahwa impor pendidikan semakin memantapkan kecurigaan terjadinya liberalisasi pendidikan dan pendidikan sudah menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan.
Pertanyaannya, masihkah kebijakan yang justru melebarkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya, diskriminatif, dan tidak jelas arahnya ini akan diteruskan? n
Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 Juli 2009
No comments:
Post a Comment