Friday, July 03, 2009

Mengapa Perlu SBI?

-- Sutopo Ghani Nugroho*

PERSYARATAN pimpinan salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Provinsi Lampung, pekan lalu, di harian ini, mengenai sekolah berstandar internasional (SBI) perlu mendapatkan klarifikasi yang proporsional. Klarifikasi itu diperlukan agar tidak terjadi mis-perception atau bahkan distorsi pemahaman konsep SBI dan tidak mis-leading pada keragu-raguan dan goyahnya semangat para pihak yang kini sedang merintis penyelenggaraan SBI di Provinsi Lampung.

Penyelenggaraan SBI merupakan salah satu program nasional yang penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, seperti yang diamanatkan Undang-undang No. 20/Tahun 2003 Pasal 50 Ayat (2) dan Ayat (3), serta PP No. 19/2005 Pasal 61 Ayat (1). Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional.

Pengategorian sekolah berdasarkan peringkat kualitas adalah: (1) sekolah formal standar dalam pembinaan atau disebut sekolah potensial; (2) sekolah formal mandiri dalam pembinaan atau sekolah standar nasional (SSN); dan (3) sekolah bertaraf internasional (SBI). Jadi, SBI adalah sekolah nasional bertaraf internasional atau kualitasnya setara dengan kualitas sekolah unggul/bermutu terakreditasi di negara lain.

Untuk dapat menjadi SBI, suatu sekolah harus menempuh perjalanan yang panjang, persiapan yang matang, usaha yang keras, dan komitmen yang kuat, tidak hanya dari pihak sekolah, tetapi juga dari pihak pembina (Dinas Pendidikan), komite sekolah bersama orang tua siswa, pihak yayasan untuk sekolah swasta, dan seluruh stakeholders pendidikan di daerah. Upaya tersebut dimulai dari tahapan rintisan menuju SBI atau RSBI. Pada tahap ini, sekolah standar nasional (SSN) yang telah terakreditasi A mengajukan proposal ke Direktorat Pembinaan Sekolah/Madrasah Depdiknas.

Persyaratan utama agar SSN menjadi RSBI adalah dipenuhinya 8 (delapan) unsur indikator kinerja kunci minimal (IKKM) sesuai standar nasional dan nilai rapor minimal Baik dari hasil monitoring evaluasi SSN tahun terakhir. Kedelapan unsur IKKM tersebut meliputi: standar kompetensi lulusan, standar isi, proses pembelajaran, penilaian pendidikan, pengelolaan, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, dan pembiayaan. Di samping syarat IKKM, RSBI harus memenuhi indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) yang berupa dimensi keinternasionalan dari delapan unsur IKKM tersebut.

Dimensi keinternasionalan inilah persyaratan yang mungkin relatif sulit dipenuhi oleh SSN untuk menjadi RSBI. Sebagai contoh, selain SSN terakreditasi A oleh BAN-S/M juga harus terakreditasi oleh Badan Akreditasi Internasional yang diakui. Pada kurikulum, content mata pelajaran sains, matematika, dan bahasa Inggris harus setara dengan content mata pelajaran yang sama di sekolah unggul di negara maju. Harus menerapkan pembelajaran berbasis ICT pada semua mata pelajaran.

Kemudian, menggunakan dua bahasa (bilingual) sebagai bahasa pengantar, yaitu pada kelompok mata pelajaran sains, matematika, dan bahasa Inggris menggunakan bahasa Inggris; sedangkan pada mata pelajaran lainnya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Guru berpendidikan S-2/S-3 minimal 10% untuk SD/MI, 20% untuk SMP/MTS, dan 30% SMA/SMK/MA/MAK. Menerapkan standar kelulusan yang lebih tinggi daripada standar nasional pendidikan. RSBI harus menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.

SBI adalah Sekolah Unggul

SBI memang dikonsepsikan sebagai sekolah unggul, yang diharapkan dapat menjadi faktor penggerak peningkatan kualitas pendidikan nasional yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing bangsa. Dalam strategi implementasinya, penyelenggaraan SBI disebar ke seluruh pelosok Tanah Air, yaitu sekurang-kurangnya satu sekolah pada setiap jenjang pendidikan di setiap kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan agar terjadi multiplier effect pada pemerataan pendidikan berkualitas, guna menghindarkan konsentrasi sekolah-sekolah bermutu hanya di kota-kota besar atau di Pulau Jawa saja.

Penyelenggaraan SBI yang tersebar ke seluruh pelosok Tanah Air ini juga dimaksudkan untuk menjawab tantangan global akan kebutuhan knowledge dan skills yang memadai dari lulusan setiap satuan pendidikan dan jenjang pendidikan di Tanah Air untuk dapat bersaing secara global. Para peserta didik generasi abad 21 memang memerlukan pengetahuan yang lebih banyak dan keterampilan yang lebih tinggi agar dapat survive dan mampu bersaing, dibandingkan dengan generasi sebelumnya (need to gain more knowledge and master more skills than any generation before), di antaranya: basic skills (science, math, reading), technology skills, communication skills, problem solving skills, information/digital literacy, multicultural/multilanguage literacy, creative and critical thinking skills, inguiry/reasoning skills, and interpersonal skills.

Para siswa SBI juga akan diberi pembekalan yang lebih dalam tentang pengembangan kepribadian yang universal dan rasa nasionalisme yang tinggi, yaitu akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa wirausaha, jiwa patriot dan nasionalisme, dan jiwa inovator.

Mengapa Bilingual di SBI

Multilingual literacy (melek berbagai bahasa) merupakan skills yang mutlak harus dimiliki generasi di abad ini dalam kaitannya dengan pencaturan global. Kemampuan berbahasa asing, utamanya bahasa Inggris, diyakini akan meningkatkan daya saing bangsa di berbagai bidang. Di bidang iptek, kemampuan berbahasa Inggris sangat diperlukan baik dalam mengakses dan menggali sumber-sumber iptek yang umumnya ditulis dalam bahasa Inggris, maupun dalam mengekspresikan temuan-temuan iptek nasional ke dunia internasional.

Di bidang bisnis, kemampuan berbahasa Inggris merupakan modal penting dalam bertransaksi bisnis secara global. Di bidang diplomasi, para diplomat Indonesia sering terpinggirkan karena ketidakmampuannya berbahasa Inggris. Dalam bidang advoksi hukum di tingkat internasional, sering terkalahkan karena argumentasi hukum dalam bahasa Inggris lemah. Pendek kata, ibarat pemeo yang populer saat ini: "Hari gini ga bisa bahasa Inggris, apa kata dunia?"

Tradisi pembelajaran multilingual di sekolah-sekolah di Indonesia telah lama berlangsung. Sebagai contoh: pendidikan di berbagai pondok pesantren modern seperti Gontor dan Alzaitun telah lama menerapkan pembelajaran bilingual bahkan trilingual. Para santri dibekali dengan sangat intensif untuk kemampuan berbahasa Inggris, Arab, dan bahasa Indonesia yang aktif. Beberapa mata pelajaran diberikan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa Arab.

Sudah terbukti bahwa lulusan dari pondok-pondok pesantren tersebut mempunyai kualitas yang tinggi, baik di bidang keilmuan maupun kemampuan dalam berbahasa asing. Hal inilah yang mengantarkan mereka mampu bersaing dan berkiprah di berbagai bidang, baik skala nasional maupun global.

Cegah Penyimpangan Penyelenggara SBI

SBI memang sekolah unggul berbiaya tinggi karena tuntutan proses pembelajarannya memerlukan dukungan sarpras (sarana-prasarana) yang memadai. Karena SBI adalah program nasional, pembiayaan yang utama harus bersumber dari pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Dalam petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan SBI, sharing anggaran pembiayaan SBI dari pusat 50%, provinsi 30%, dan kabupaten/kota 20%.

Namun demikian, para orang tua/wali siswa masih diminta partisipasinya secara signifikan dalam pembiayaan penyelenggaraan SBI karena anggaran dari pemerintah belum dapat mencukupi kebutuhan pembiayaan yang ideal. Tentu saja pihak penyelenggara SBI tidak boleh sewenang-wenang menetapkan besarnya pungutan dari orang tua/wali siswa. Besarnya pungutan pun harus disetujui oleh pihak komite sekolah.

Hal lain yang harus diwaspadai dari sejak awal adalah kecenderungan bahwa kesempatan bersekolah di SBI hanya dimiliki oleh anak-anak pintar dari keluarga/orang kaya; sedangkan anak-anak pintar dari keluarga/orang tua miskin terpinggirkan. Diskriminasi seperti ini harus dicegah. Anak-anak pintar dari keluarga/orang tua miskin harus mempunyai kesempatan yang sama untuk memasuki SBI, antara lain melalui berbagai kebijakan pemerintah daerah berupa program beasiswa prestasi.

Bagaimanapun seluruh stakeholders pendidikan di Provinsi Lampung diharapkan terus mendukung pelaksanaan program nasional penyelenggaraan SBI ini. Antara lain dengan ikut mengawasi pengelolaan dan proses pembelajarannya apakah memenuhi standar-standar yang ditetapkan, termasuk praktek-praktek penyimpangan oleh penyelenggara SBI. Kita berharap penyelenggaraan SBI di Provinsi Lampung sukses. Semoga!

* Sutopo Ghani Nugroho, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 Juli 2009

No comments: