-- Jauhari Zailani
Satu abad Muhammadiyah. Melalui film Sang Pencerah, pemahaman terhadap organisasi ini tercerahkan.
MUMPUNG Lebaran, sekeluarga kami menonton. Ada dua isu penting, menurut anak-anak saya, yang aktual. Pertama, film ini diluncurkan ketika umat Islam dihebohkan dalam menentukan arah kiblat salat. Kedua, sepanjang dekade terakhir, kita disibukkan isu pluralisme.
Dalam film berdurasi 120 menit ini, sutradara Hanung Bramantyo menceritakan kisah perjuangan Ahmad Dahlan yang diperankan Lukman Sardi. Setting cerita di Kelurahan Kauman, Keraton Yogyakarta, 100 tahun lalu. Sebagai latar sosial yang kemudian menjadi basis perjuangan Sang Pencerah adalah praktek agama Islam yang cenderung melenceng, penuh ritual mistik, dan memberatkan pemeluknya.
Dahlan muda bernama Darwis, menjadi istimewa karena gerakannya terjadi satu abad yang lalu ketika orang-orang di sekitarnya sedang menikmati fasilitas kekuasaan Raja Yogyakarta dan kekuasaan Belanda. Dalam usia belia (15 tahun) ia sudah naik haji, pada usia 21 tahun ia mendirikan Muhammadiyah yang gerakanya searah dengan Boedi Oetomo. Sebab itu, ada yang berpendapat Bapak Pendidikan mestinya Ahmad Dahlan, karena Ki. Hajar Dewantara jauh setelah Ahmad Dahlan mendirikan sekolah bagi kaum pribumi dan miskin.
Dalam usia muda, ia melakukan perubahan di lingkungannya. Meskipun untuk itu ia harus berbenturan dengan kiai-kiai sepuh di bawah pimpinan Kiai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo). Melalui sebuah gerakan yang represif kaum yang terusik dengan gerakan Ahmad Dahlan merobohkan langgar/surau Ahmad Dahlan karena dianggap mengajarkan aliran sesat dan kafir. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya diintimidasi dan mengalami �pengusiran�, di tuduh sebagai kiai kafir karena mengajar di sekolah Belanda, dan membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.
Perubahan Cara Beragama
Pandangan Ahmad Dahlan terjadi sebagai hasil dialektika intelektual ketika itu, misalnya gerakan Wahidin Sudiro Husodo dengan Boedi Oetomonya. Oleh Hanung Bramantyo, sang sutradara, tokoh intelektual di sekitar Ahmad Dahlan direpresentasikan melalui pikiran dan sikap M. Fadil Aman (Sujiwo Tejo) yang mengatakan pada Dahlan dengan sinisnya "..kamu hendak ke Mekah? Ha ha ha, sudah berapa orang dari Kauman ini yang pergi ke Mekah. Pulangnya bukan tambah pinter tetapi malah keblinger. Setelah pulang dari Mekah, malah tunduk dan menjadi cecunguk penguasa; majenun! Semestinya seseorang di Mekah mengalami pencerahan karena bergaul dengan tokoh dari berbagai negara, Mekah adalah internasional. Bukan malah majenun! Ha ha ha..."
Sepulang dari Mekah, Dahlan mengajarkan hal-hal yang aneh bagi elite Islam di seputar Masjid Keraton. Dahlan mungkin dianggap majenun oleh kiai di lingkungannya, tetapi tidak oleh orang yang sejalan dengan pikiran Kiai Fadhil Aman. Karena bagi Dahlan agama bukan membingungkan dan memberatkan bagi pemeluknya, melainkan harus mendatangkan kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan kecerdasan bagi pemeluk dan lingkunganya. Untuk itu, agama harus dijauhkan dari tradisi yang cenderung membebani umatnya.
Cara Berdakwah
Dahlan ditampilkan sebagai sosok yang nyleneh dalam mengajarkan agama. Untuk keanehannya itu ia memperoleh julukan kiai kafir dari masyarakat di sekitarnya. Para tetangga dan saudaranya mengucilkan dan mengusirnya setelah membakar musalanya.
Pertama, kepada seorang murid yang hendak mengaji kepadanya, ia sodorkan biola. "Mainkan!" perintahnya. Setelah biola mengeluarkan ngak ngek ngok tak beraturan, kepada murid-muridnya ia bertanya.."Apa yang kamu rasakan?" Jawabannya beragam: kacau, campur aduk, damai, indah. Itulah agama. Kata dahlan menlajutkan "Jika agama dipahami tidak benar, akan campur aduk dan menimbulkan kekacauan. Semestinya agama seperti bermusik, akan menimbulkan kesejukan, keindahan, dan kedamaian bagi pemeluk dan masyarakatnya."
Kedua, pada kali lain, ia mengajarkan surat Al Ma'un dengan mengulang dan mengulang. Kepada Dahlan seorang murid protes "Maaf kiai, kok diulang terus. Kapan surat yang lain..? Kepada Suja, diperankan oleh Giring Niji, Dahlan bertanya... "Sudah berapa anak yatim yang kau santuni..? Ngaji dan beragama itu belajar memahami dan kemudian mengamalkan perintah Allah, bukan hanya menghafalkan."
Ketiga, ia mendirikan madrasah (pendidikan agama Islam) di rumahnya. Pendidikan ini mengadopsi sekolah model Belanda. Murid-murid duduk di bangku-meja belajar mempergunakan buku dan papan tulis, dan Dahlan berpakaian modern (beskap) ala pegawai Belanda, kiai yang lainnya memakai gamis dan sorban. Oleh kiai lainya, ia di cap telah kafir. Sebagai kiai kafir, ia dan pengikutnya diejek dan diintimadasi.
Keempat, sekolah umum (Belanda) tidak mengajarkan agama Islam. Dahlan membujuk otoritas sekolah Belanda agar diberikan kesempatan kepadanya untuk memperkenalkan pendidikan agama kepada anak-anak di kelas sekolah tersebut.
Islam Harus Pintar dan Kaya
Melalui film ini Hanung (dan tentu Dahlan) ingin mengatakan bahwa menjadi orang Islam itu harus berdaya secara ilmu maupun harta.
Pertama, sebab itu, sosok Dahlan ditampilkan sebagai seorang pedagang yang sibuk dan sukses. Beberapa adegan: ia sibuk berjualan batik di Pasar Beringharjo. Dan ini diperkuat oleh kemampuan Dahlan pergi haji yang kedua kalinya dan kemudian tinggal beberapa lama di Mekah untuk belajar agama. Selama perjuanganya ia menggunakan uang pribadinya untuk membangun musala, membuat sekolah, dan perabotnya.
Kedua, beragama harus berilmu agar memiliki pegangan dan tidak mudah terombang-ambing. Melalui film ini, penonton disuguhi Dahlan yang intelek dan berani menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam praktek ibadahnya. Dalam menentukan arah kiblat salat, sebagai contoh, ia menggunakan peta bumi dan kompas. Meskipun karena itu ia dicap sebagai orang dan kiai kafir.
Ketiga, Dahlan mengajarkan kepada pengikutnya prinsip pluralisme dalam masyarakat. Untuk mewadahi kegiatan dakwahnya, Dahlan mendirikan organisasi, melalui diskusi dengan murid-muridnya akhirnya disepakati dan berdirilah Muhammadiyah (pengikut ajaran Nabi Muhammad). Dari wadah ini Dahlan tampaknya sadar bahwa dakwah, apalagi dakwah bilhal (dengan tindakan nyata) harus melibatkan banyak orang.
Penutup
Film ini sejak awal sarat konflik. Konflik utama adalah antara Kiai Penghulu (Slamet Raharjo) dan Ahmad Dahlan. Konflik dua pusat agama, Masjid Agung di utara dan Langgar Kidoel (selatan). Akibat perubahan yang dibawa Dahlan telah menimbulkan goncangan. Konflik terjadi antara kakak dan adik, antara orang tua dan anak, antara generasi tua dan generasi muda, antara ulama tua dan ulama muda. Dengan berbagai intimidasi, pengucilan, pengusiran, hingga pembakaran musala.
Namun, film ini diakhiri dengan dialog manis antara dua tokoh utama yang berkonflik. Penghulu sadar telah terjadi kesalahpahaman, dan setelah perenungan yang mendalam, akhirnya mereka berdamai.
Jauhari Zailani, dosen FISIP Universitas Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment