-- Yopi Setia Umbara
SETELAH sukses dengan seri puisi Jerman I-V, Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono, kin kembali meluncurkan projek penerbitan buku puisi Jerman-Indonesia pada Senin, 27 September 2010. Kali ini, antologi seri puisi Jerman VI Syahwat Keabadian (Komodo Books, September 2010) karya Friedrich Nietzsche diluncurkan di Goethe Institut Bandung Jalan L.L.R.E. Martadinata.
Pada malam itu, selain membahas antologi seri puisi Jerman VI Syahwat Keabadian, Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono, yang merupakan penerjemah dan editor seri puisi Jerman itu, juga tampil membacakan beberapa puisi karya Nietzsche. Berthold membacakan karya Nietzsche yang di antaranya dengan bahasa aslinya Jerman. Sementara Agus R. Sardjono membacakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Berthold tampil cukup prima di hadapan tamu undangan terbuka, yang menghadiri launching buku tersebut. Puisi yang dibacakannya antara lain Nur Narr! Nur Dichter! atau Cuma Pandir! Cuma Penyair!, Die Sieben Siegel atau Tujuh Meterai, dan Die Sonne Sinkt atau Matahari Sedang Tenggelam. Pembacaan karya Nietzsche dalam bahasa aslinya merupakan salah satu rangkaian acara launching paling menarik bagi saya. Meskipun saya tidak menguasai bahasa Jerman, tetapi dengan pembacaan Berthold yang teliti dan sangat hati-hati menjadikan puisi Nietzsche nikmat untuk disimak.
Karya Nietzsche yang dibacakan Berthold menjadi tidak sekadar dibacakan, tetapi ia juga mampu menghadirkan unsur musikalitas dan irama dari puisi-puisi Nietzsche yang disajikan pada malam tersebut. Walau bagaimanapun, unsur musikalitas dan irama merupakan suatu bagian penting dalam puisi, selain tema dan pesan yang diusung dalam puisi.
Selain penerjemah dan editor yang membacakan puisi-puisi karya Nietzsche, malam itu tampil pula Wawan Sofwan, aktor sekaligus dedengkot Mainteater Bandung. Plus Ari Kpin yang mengapresiasi karya Nietzsche dengan bentuk musikalisasi puisi.
Seperti juga Agus R. Sarjono, Wawan Sofwan membacakan puisi Nietzsche yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ketika itu Wawan Sofwan tampil membacakan "Nur Narr! Nur Dichter! atau Cuma Pandir! Cuma Penyair! di podium di atas panggung. Satu penampilan sederhana tentu saja, bagi seorang aktor yang sangat dikenal dengan karya-karya monolognya. Meskipun demikian, kesederhanaan penampilan Wawan Sofwan tidak mengurangi kekhusyukan hadirin yang menyimak pembacaannya.
Namun, terasa suatu perbedaan antara pembacaan puisi karya Nietzsche oleh Berthold dan Wawan Sofwan. Meskipub kedua orang tersebut sama-sama membacakan puisi Nietzsche di podium panggung. Perbedaan itu terasa sekali terutama pada bunyi musik dan irama dari puisi Nietzsche, ketika mereka membacakannya. Selain faktor bahasa, barangkali kedalaman pemahaman atas puisi Nietzsche berpengaruh kepada penampilan kedua orang tersebut.
Pembacaan puisi Nietzsche dalam bahasa aslinya yang dilakukan oleh Berthold terasa lebih dinamis. Penampilan Berthold didukung juga oleh kualitas vokalnya yang prima, sehingga karya Nietzsche menjadi lebih bergema di taman Goethe Institut Bandung kala itu. Sementara pembacaan Wawan Sofwan pada terjemahannya terasa kurang menggigit. Ditambah lagi ada satu atau dua kali Wawan Sofwan kacaletot, ketika membacakan puisi Nietzsche dari kumpulan Syahwat Keabadian tersebut.
Sementara itu, Ari Kpin menyajikan puisi Nietzsche yang berjudul Das trunken Lied atau Nyanyian Mabuk dan Vereinsamt atau Kesendirian dalam nuansa pop-balada. Ari menafsirkan puisi Nietzsche dengan bantuan gitar elektrik malam itu. Mengekspresikan satu puisi dalam satu genre musik, secara tidak langsung mempersempit penafsiran atas puisi. Sebab, puisi kemudian mesti berurusan dengan genre musik, demikian Agus R. Sardjono menanggapi. Namun, hal ini juga membuktikan bahwa puisi dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk. Meskipun tidak terlalu istimewa, penampilan Ari Kpin cukup menghibur.
Penerjemahan
Menurut Berthold Damshäuser, penerjemahan karya-karya sastra Jerman terhadap bahasa asing ini membuat bahasa Jerman lebih berkembang. Oleh karena itu, penerjemahan puisi-puisi Nietzsche ke bahasa Indonesia ini juga merupakan upaya komunikasi di antara kedua bahasa tersebut, selain yang paling utama adalah mengenalkan puisi-puisi Nietzsche kepada publik. Apalagi, selama ini Nietzsche lebih dikenal sebagai pemikir bukan penyair.
Sementara mengenai adanya jarak bahasa ketika suatu karya sastra diterjemahkan, Berthold membenarkan hal tersebut. Bagaimanapun, dalam satu bahasa di dalamnya hidup kebudayaan satu bangsa. Ketika diterjemahkan ada hal-hal yang secara kontekstual tidak akan terdapat pada bahasa terjemahannya. Apalagi, dalam suatu karya sastra. Setiap bahasa memiliki idiom yang tidak mungkin diterjemahkan secara harfiah ke bahasa terjemahannya.
Hal tersebut diamini oleh Agus R. Sarjono. Ketika terjadi perbedaan secara musikalitas antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia dalam puisi Nietzsche itu wajar saja. Dengan demikian, penerjemahan adalah strategi menyajikan pesan dari karya sastra kepada publik, yang tidak menggunakan bahasa asli karya tersebut.***
Yopi Setia Umbara, penyair.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Okttober 2010
No comments:
Post a Comment