-- Beni Setia
BERBEDA dengan Binhad Nurrohmat yang menyatakan telah ada karya sastra dengan tema uang, dan berbeda dengan Edy A Effendi yang menyatakan bahwa tema uang itu tak pernah menjadi tema utama karena insting sastra selalu bergerak dalam keserentakan aneka tema paralogi; saya merasa bila titik terjauh dari tulisan Bandung Mawardi itu justru pertanyaan mendasar: kenapa uang tak pernah jadi obsesi manusia Indonesia dan direfleksikan dalam karya sastra.
Padahal, dalam kenyataannya uang menjadi tema utama dalam percaturan hidup manusia Indonesia, bahkan isu politik terbesar di awal masa jabatan kedua Presiden SBY justru uang, seperti yang terlihat dalam kasus Bank Century. Meski itu di aspek gugatan pada penyelewengan yang bermula dari kesadaran etik, seperti yang terlihat dalam isu markus dan pembunuh bayaran yang menjerat Antasari. Kenapa orientasi kapitalistik yang berikon uang, dan diterjemahkan pada dagang dan monopoli dagang tak pernah disinggung dan dijadikan tema utama sastra Indonesia, sementara itu fakta keterjajahan Indonesia selama tiga setengah abad oleh Belanda bermula dari semangat eksplorasi dan eksploitasi sumber alam demi monopoli rempah-rempah, gula, dan teh?
Dan kalaupun ada karya sastra dengan tema uang, maka uang itu ditempatkan bukan sebagai keutamaan mengada, tapi penyelewengan perilaku yang tidak etis dan memalukan seperti yang diungkapkan oleh Ramadhan KH dalam Ladang Perminus, misalnya. Seakan-akan mengada dan eksis secara sosial di Indonesia itu hanya jadi manusia mulia yang selalu beramal, etik dan altruis mengamalkan kepemilikan uang sebagai dermawan. Sesuatu yang tak sesuai dengan kenyataan riil manusia Indonesia yang serba ingin dibayar untuk kegiatan apa pun—yang ajaibnya itu hanya dilirik oleh novel hiburan dekade 70-an, dan diidentifikasi sebagai Om Senang dan Tante Girang.
Kenyataan sosial
Ada kenyataan sosial yang tidak pernah ditampilkan dalam sastra, atau hanya ditampilkan sebagai ekses mengada semata. Sekaligus juga ada orientasi yang selalu mengejar dan menghadirkan manusia sufistik yang tidak tergoda uang dan kekayaan, bahkan yang mendapat wangsit jadi penguasa pun harus mengamalkan pemeo lengser keprabon mandeg pandita. Yang bila memedulikan uang maka itu bermakna sebuah kejatuhan dan terperangkap ekses, terkait dengan korupsi serta gaya hidup hedonistik konsumtif khas Barat seperti yang telah disinggung. Bahkan ada anggapan bahwa jadi kaya dengan terlalu konsentrasi mengejar keuntungan, sehingga punya uang berlebih dianggap tanda tak beriman pada Allah—mengamalkan cara hidup yang tak agamawi.
Dengan menempatkan sang pelaku ekonomi kapitalistik itu sebagai lintah darat yang terkutuk secara agamawi, atau penganut keimanan Dajjal dengan mengamalkan satu agama iblis sebagai pedoman lelaku pesugihan yang selalu tega mengorbankan orang lain sebagai tumbal. Dan dari titik ini sindroma Cinaphobia (akut) diluncurkan, sebagai ketidaksepakatan pada cara hidup yang melulu aktif dalam dunia dagang retil yang menggurita menguasai distribusi serta retil. Ada asumsi dasar yang sifatnya etik archaik: harus mengabaikan dagang, tak berkenan suntuk dan menguasai seni dagang, yang memuncak pada monopoli distribusi dan retil. Ketaksukaan etik tradisional pada orang yang mendadak kaya karena berdagang, dengan selalu diasumsikan pasti punya pesugihan—sehingga harus dikutuk.
Phobia yang bersifat etik tradisional agraris yang diperparah oleh kecemburuan karena distribusi dan retil tiba-tiba telah dikuasai—meski penguasaan itu karena sikap mpriyayeni yang tidak suka dengan pekerjaan kasar berkeringat. Kondisi yang penset manusia Indonesia harus selalu ada dalam jalur idealistik agamawi, tuntutan reflektif yang menempatkan manusia Indonesia harus menjauhi segala hal yang terlalu duniawi bermahkotakan ikon modern kapitalistik: uang—dan kekuasaan di latar belakang, yang menyebabkan bisa diperolehnya monopoli demi keleluasaan berbisnis. Tuntunan etik tradisional agraris yang mengondisikan manusia Indonesia bekerja keras melulu agar diperoleh cadangan pangan agar bisa nyaman hidup subsistensi.
Dan ketika gaya hidup modern mendadak melimpahkan banyak tuntutan untuk hedonis dan konsumtif, dengan beraneka produk teknologi yang menyamankan hidup, maka manusia Indonesia hanya jadi konsumen di satu sisi. Sekaligus hanya jadi si over estimate berhak memanipulasi kondisi demi keuntungan pribadi c.q korupsi, suap, dan sebangsanya.
Sufi
Itu yang membedakan manusia Indonesia dari manusia Barat. Seorang sufi nan malu-malu menjejakkan kaki di dunia dan secepatnya menghindar dari godaan dunia. Tidak peduli banyak pihak yang memilih tergoda hawa duniawi dan menguasai dunia ini secara menyimpang dengan KKN, mungkin karena terlihat menguntungkan semua penyimpangan etik tradisional agraris itu kini ditoleransi, jadi budaya di mana-mana. Sementara Barat tak hanya melahirkan ilmuwan dalam tradisi beriman Dajjal dalam diri fiktif Dr Faust, tapi juga seorang Max Weber yang membolehkan suntuk berbisnis asalkan total beramal dalam termin etika protestan yang memacu gairah kapitalistik.
Secara post kolonialisme, meskipun selama tiga setengah abad telah menjadi korban eksploitasi kapitalistik yang mengeksplorasi kekayaan dunia ketiga, sastrawan Indonesia tak pernah tertarik untuk mendewakan kapitalisme dan uang dalam rangka menunjukkan lebih kapitalis dan beruang dari Belanda. Cuma menyindirnya sebagai godaan Dajjal. Dan sampai saat ini, memang: tak ada karya filsafat yang reflektif atau ekonomi yang faktual yang mengeksplorasi orientasi uang manusia Indonesia. Dengan kelangkaan basis teks macam itu sastrawan tak bisa beranjak ke mana-mana—melulu hanya memungut remah ekses orientasi uang secara etik tradisional agraris.
Bandung Mawardi menyinggung hal itu, yang saya jadi mengerti kenapa Arthur Miller dan Death of a Salesman itu lahir di Amerika yang jantungnya kapitalisme dan bukan di Indonesia yang etik tradisional agraris. Meski tema itu kontekstual terlahir di Indonesia, sayang tidak ada sastrawan yang bisa sampai ke filosofi inti kesadaran etik bisnis yang bertanggung jawab. Itu inti persoalan sastra kita.***
* Beni Setia, Pengarang
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Mei 2010
No comments:
Post a Comment