Sunday, May 02, 2010

Artpreneurship: Seni untuk Uang

-- Bre Redana

PATUNG-PATUNG berbentuk kepala dari bahan marmer berjajar begitu dari jalan besar kita memasuki kompleks Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta. Kompleks seluas lebih dari lima hektar di kawasan premium Jakarta, yakni di Jalan Prof Dr Satrio atau lebih dikenal dengan nama Casablanca itu sedang menggelar acara besar bertajuk ”Artpreneurship”, 25 April-22 Mei 2010.

Patung-patung di jalan masuk kompleks tadi karya pematung Basrizal Albara, yang memang sering mencipta karya-karya yang terkesan gigantik. Sampai depan gedung utama, menghadang karya S Teddy D berupa galangan besi dengan roda-roda. Gedung utama Ciputra World Marketing Gallery sendiri berupa bangunan cukup mutakhir, seluruhnya berfasad kaca. Karya Edi Prabandono bintang besar terbuat dari baja dan neon di dalam ruangan, tergandakan citranya begitu neon dinyalakan karena pantulan dari dinding-dinding kaca tadi. Di depan bangunan terdapat pohon randu besar. Di situ seniman Yani Maryani menjuntaikan tali-tali putih dari ketinggian pohon membuat pohon itu menjadi sangat liris.

Itulah sebagian karya dari pameran yang melibatkan lebih dari 80 perupa itu. Dikuratori Suwarno Wisetrotomo, tajuk pameran, ”Artpreneurship”, adalah gagasan pengusaha besar Ciputra, pendiri Ciputra Grup. ”Artpreneurship” adalah gabungan ”art” atau seni dengan ”entrepreneurship” alias kewirausahaan.

Sejumlah seniman diminta secara khusus merespons ruang urban itu. Hasilnya lebih kurang termanifestasi pada karya-karya seperti disebut di atas. Karya-karya yang lain, beberapa di antaranya, adalah karya-karya yang pernah ditampilkan perupanya pada kesempatan-kesempatan lain sebelumnya.

Dari segi perwujudan karya, kalau mau dihubungkan antara seniman dengan ruang urban, yang muncul sebagian besar adalah suatu penyiasatan rupa, bentuk, untuk mengaksentuasi ruang khas urban yang wah dan gemebyar. Ratusan pengunjung bertepuk tangan ketika pada hari pertama pameran didemonstrasikan efek iluminasi karya Galam Zulkifli. Deretan gambar potret wajah berukuran tinggi 2 meter memanjang sampai 14 meter dari Obama sampai Mao Zedong berubah menjadi simbol-simbol yang memancar dari fosfor begitu lampu ruang dipadamkan.

Untuk yang senang sensasi indrawi acara ini memang wah. Organisator pameran, Heri Pemad, cukup berpengalaman menggarap pameran seperti ini. Karya seni berlimpah-limpah, seperti halnya berlimpah-limpahnya makanan di malam pembukaan. Pada malam pembukaan itu pula seniman Entang Wiharso menampilkan seni lakon (performance art) yang mengagetkan. Dia menampilkan adegan makan malam yang formal dengan pemeran, antara lain, yang punya hajat, Rina Ciputra, dan kolektor terkemuka Oei Hong Djien. Seusai adegan makan malam lengkap dengan anggur merah itu, muncul mesin penggilas jalan mengobrak-abrik seluruh meja dan kursi. Sebuah satir, untuk satu ritual, sama seperti ditampilkan oleh Farhansiki, yang pada dinding kaca gedung utama menggambar ledakan bom.

Nilai tambah

”Artpreneurship” dimaksudkan untuk menciptakan nilai tambah (baca: uang) pada karya seni. Seminar pada hari pertama pameran menampilkan pembicara, selain Ciputra sendiri, juga para ahli marketing. Para ahli marketing itu dengan gaya bicara seperti pengkhotbah di Gereja Baptis menekankan perlunya seniman menjadi seperti wirausahawan. Peserta diminta menuliskan nama dan alamat surat elektronik untuk tahun depan dicek setelah mendengar pencerahan mengenai kewirausahaan itu, siapa di antara mereka bakal berhasil jadi pengusaha.

Mendengar itu jadi ingat anekdot. Kalau diibaratkan pawai, masyarakat terdiri sedikitnya dari empat kelompok. Kelompok pertama, di barisan paling depan, adalah seniman. Tugasnya membikin terobosan. Urutan kedua, pengusaha, wirausahawan. Kerjanya mengonsolidasi terobosan tadi, menjadikannya uang. Urutan ketiga adalah para rohaniwan. Mereka mengurapi apa yang telah menjadi nilai ekonomi tadi sehingga kemakmuran memiliki dimensi kudus. Urutan terakhir adalah para politikus. Meskipun paling buntut, mereka paling gaduh, mengklaim bahwa semua itu terjadi karena usaha mereka.

Kalau hanya ada para pengusaha, terobosan tidak terjadi. Perkembangan macet, kebudayaan mandek, manusia seperti monyet tak mengalami perkembangan peradaban. Uang juga tidak terurapi sehingga dia semata-mata menjadi tujuan, bukan sarana untuk mencapai kemuliaan jiwa. Politikus juga dibutuhkan, sebagai badut. Biarlah manusia dengan darma masing-masing.

Sumber: Kompas, Minggu, 2 Mei 2010

No comments: